Tidak hanya mencegah kembali terjadinya kebakaran hutan dan lahan, saat ini cukup banyak pihak yang berupaya meningkatkan kesadaran masya...
Tidak hanya mencegah kembali terjadinya kebakaran
hutan dan lahan, saat ini cukup banyak pihak yang berupaya meningkatkan
kesadaran masyarakat dalam melestarikan lingkungan termasuk
memberdayakan dan mengolah hasil alam dengan cara ramah lingkungan.
Misalnya saja Yayasan Titian Lestari, yang sejak beberapa tahun lalu
telah berupaya mengedukasi dan mendorong masyarakat untuk membuka lahan
lahan tanpa bakar dan mengolah lahan pertanian dengan cara yang lebih
ramah lingkungan.
Pria yang akrab disapa Icunk ini menceritakan sejak beberapa waktu
lalu, Yayasan Titian Lestari bersama pihak terkait lainnya memberikan
pendampingan dibeberapa desa di Kecamatan Matan Hilir Selatan Kabupaten
Ketapang. Beberapa Desa tersebut yakni Desa Pematang Gadung, Pelang,
Sungai Besar. Dia mengakui, untuk tahap awal memang cukup berat
mengarahkan masyarakat menggunakan cara ramah lingkungan dalam mengolah
lahan, karena selain memerlukan biaya yang cukup banyak, waktu yang
digunakan untuk membuka lahan secara manual dan ramah lingkungan juga
lebih lama. “Memang awalnya ada sebagian petani yang protes, namun
setelah diarahkan secara bertahap banyak lahan yang diolah dengan
menggunakan pupuk organik, saat ini cukup banyak hasil panen petani
lokal yang mulai memuaskan,” katanya.
Kawasan percontohan yang diarahkan untuk mengembangkan pembukaan
lahan tanpa bakar dan ramah lingkungan adalah kawasan lahan gambut. Agar
upaya yang dilakukan maksimal, maka pihaknya juga mengembangkan
mekanisme restorasi gambut melalui penanaman pohon di sekitar sekat
kanal yang dibangun, dengan jenis pohon yang sesuai dengan karakter
hutan rawa gambut.
Rehabilitasi lahan menggunakan jenis tumbuhan yang secara alami
berada di ekosistem lahan gambut dan dapat memberikan manfaat hasil
hutan bukan kayu jangka panjang kepada masyarakat.
Menurutnya, penerapan sistem pertanian dan perkebunan berbasis lahan
basah (paludiculture) tanpa bakar yang dapat mengurangi oksidasi gambut,
sekaligus menyediakan panen berkelanjutan dalam upaya perbaikan
ekosistem gambut dan peningkatan hasil ekonomi masyarakat desa.
Sistem paludiculture yang benar dan berkelanjutan akan diterapkan
pada lahan-lahan pertanian dan perkebunan masyarakat yang pernah
terbakar di sekitar areal proyek untuk meningkatkan produktivitas dan
perekonomian masyarakat, serta mengurangi pembalakan hutan yang tersisa
di areal proyek. “Pembentukan kelompok petani, pelatihan dan asistensi
dalam implemtasinya akan dilakukan untuk memastikan sistem pertanian ini
diterapkan oleh masyarakat,” terangnya.
Selain mengolah lahan pertanian tanpa bakar, pihaknya juga
meningkatkan kapasitas masyarakat dalam pengembangan hasil hutan bukan
kayu melalui kegiatan agroforestry berbasis gender, kegiatan ini akan
dilakukan dengan membentuk kelompok perempuan. “Kegiatan pelatihan dalam
pengembangan bibit unggul agroforestry, seperti karet dan cara
pengolahannya akan diberikan kepada mereka dengan harapan dalam
implementasinya ini akan menjadi penghasilan keluarga,” terangnya.
Pihaknya juga membentuk beberapa kelompok perempuan yang terdiri dari
10 orang di tiap desa. Kelompok tersebut kemudian dilatih dan didorong
untuk mengembangkan agroforestry (karet dan tanaman hutan lainnya). Pada
kebun-kebun warga dan pada sejumlah areal kritis serta bekas kebakaran
yang ada pada areal kerja hutan desa. Secara umum, kata Icunk,
sebelumnya masih banyak petani dibeberapa desa Matan Hilir Selatan yang
mengunakan cara tradisional dalam bercocok tanam, bahkan sebagian masih
belum paham memilih bibit, pupuk yang sesuai dengan kondisi lahan yang
ada. “Jadi selain mengarahkan untuk membuka lahan tanpa bakar dan
mengembangan sistem pertanian yang lebih ramah lingkungan, bersama pihak
terkait lainnya kami juga memberikan pemahaman bagi petani agar bisa
memilih pupuk, bibit dan sejenisnya sesuai dengan kebutuhan dan kondisi
lahan,” bebernya.
Petani Desa Pelang, Suharna mengakui awalnya cukup sulit menerapkan
membuka lahan tanpa bakar. Apalagi di desanya sudah menjadi kebiasaan
petani setempat membuka lahan dengan cara tradisional, cepat dan
praktis. “Maklumlah, kami di sini orang kampong. Jadi semula memang
masih membuka lahan dengan cara membakar, karena kami pikir lebih
praktis, tapi setelah diberikan pemahaman secara bertahap para petani di
desa kami sudah mulai beralih membuka lahan tanpa membakar dan mengolah
pertanian dengan cara lebih ramah lingkungan,” paparnya.
Selain menanam padi di sawah, Surhana mengaku banyak warga di desanya
yang menanam sayur-sayuran di sekitar pekarangan rumah masing-masing.
Beberapa jenis sayur-sayuran tersebut cabai, tomat, ganbas, golden mama.
“Di samping menanam sayur-sayuran sebagian dari warga juga ada yang
beternak sapi. Jadi, kotorannya juga bisa digunakan sebagai pupuk untuk
tanaman pekarangannya,” jelasnya.
Jika dibandingkan dengan sistem sebelumnya, Suharna mengakui,
meskipun awalnya memerlukan waktu dan biaya yang cukup besar, namun
membuka lahan tanpa bakar hasilnya juga tak kalah produktif dibanding
membuka lahan dengan membakar.
Sementara itu petani Desa Sungai Besar, Mariana mengakui hal serupa
yang mengakui banyak manfaat yang didapat dengan membuka lahan tanpa
bakar. “Lahan yang diberikan pupuk organik dan diolah dengan cara ramah
lingkungan secara tak langsung bisa memberikan hasil panen yang cukup
baik. Agar kedepan hasil panen kami lebih baik memang sepertinya kami
harus lebih intensif mendapatkan pendampingan dari berbagai pihak
terkait,” terangnya.
Sebelumnya, Titian juga mengembangkan beberapa kegiatan dalam
mendukung program kerja UNDP REDD+ Partnership seperti melaksanakan
restorasi pada lahan yang kritis baik gambut ataupun bukan gambut, bekas
kebakaran seluas 15 hektar di areal kerja hutan desa oleh tiga kelompok
restorasi yang merupakan anggota Lembaga Pengelola Hutan Desa dengan
total bibit yang ditanam adalah bibit jengkol, petai, mahoni dan
cempedak.
Melaksanakan pertanian tanpa bakar pada lahan gambut bekas terbakar
berbasis gender (perempuan) untuk mengurangi oksidasi, sekaligus
menyediakan panen berkelanjutan dalam upaya perbaikan ekosistem gambut
dan peningkatan hasil ekonomi masyarakat desa seluas 3 hektare yang
dilaksanakan oleh 9 kelompok. Mengembangkan agroforestry berbasis karet,
jengkol dan cempedak yang ditanam pada lahan bekas terbakar seluas 10
hektare yang dilaksanakan oleh 3 kelompok.
Untuk melanjutkan kegiatan tersebut di atas, kata Icunk, Yayasan
Titian juga akan melaksanakan beberapa kegiatan tambahan untuk mendukung
dan memperkuat inisiatif yang sudah dilakukan sebelumnya seperti
memperluas areal restorasi pada lahan gambut kritis di Areal Kerja Hutan
Desa Pelang seluas 10 hektare. “Kegiatan restorasi akan difokuskan pada
lahan gambut kritis di Areal Hutan Desa Pelang yang akan ditanami
dengan bibit-bibit tanaman hutan yaitu pulai, gelam dan bibit tanaman
jengkol. Kegiatan restorasi ini akan dilakukan oleh kelompok yang sama
yang sebelumnya sudah melakukan restorasi,” paparnya.
Sementara itu, Koordinator Pengurangan Kebakaran Hutan dan Lahan UNDP
REDD+ Partnership, Heracles menyatakan, pihaknya sangat mendorong upaya
pembukaan lahan tanpa bakar, karena hal tersebut dinilai dapat mencegah
potensi terjadinya kebakaran hutan dan lahan dalam jumlah yang lebih
besar. “Dengan membuka lahan menggunakan cara tanpa bakar dan ramah
lingkungan secara tak langsung, juga memberikan manfaat bagi masyarakat
karena kelestarian alamnya bisa lebih terjaga,” terangnya.
Menurutnya, UNDP REDD+ Partnership bersama Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan gencar melakukan berbagai program, termasuk
membagikan bibit pohon bagi sejumlah kawasan yang dinilai banyak
memiliki lahan gambut dan kerap terjadi kebakaran hutan dan lahan.
“Salah satu usaha yang kami gencarkan saat ini yakni mengoptimalkan
tindakan preventif untuk menekan kasus kebakaran hutan dan lahan. Salah
satunya dengan menggencarkan program pembagian bibit pohon termasuk
mengedukasi masyarakat untuk membuka lahan tanpa bakar dan ramah
lingkungan,” ucapnya.
Disinggung soal upaya lain yang bisa dilakukan dalam menekan laju
emisi, kata Heracles, pada dasarnya setiap pemerintah daerah mulai saat
ini bisa memuat kebijakan dengan mengarahkan atau membuat iklim
investasi menjadi investasi yang jauh lebih sehat. “Membuat iklim
investasi yang lebih sehat. Artinya bisa dengan cara membuat peraturan
investasi yang pro kepada masyarakat luas dan berusaha keras menumbuhkan
perekonomian masyarakat dari bawah,” ungkapnya.
Heracles juga menambahkan saat ini UNDP REDD+ Partnership juga telah
melakukan koordinasi dengan sejumlah pemerintah daerah untuk menyamakan
persepsi dalam hal menjaga pelestarian lingkungan dan sama-sama menekan
laju emisi, salah satunya dengan melakukan penanaman bibit pohon. “Kami
berharap program penghijauan dengan melakukan penanaman pohon agar iklim
investasi menjadi lebih sehat dan berpihak pada kepentingan masyarakat
luas. Kedepannya program ini juga menjadi salah satu prioritas setiap
pemerintah daerah,” pungkasnya. (ash)
Penulis: Pontianak Post