Sumber daya hutan merupakan aset besar bagi masyarakat sekitar hutan. Begitu pula dengan masyarakat sekitar hutan yang berada di Kabupaten...
Sumber daya hutan merupakan aset besar bagi masyarakat sekitar hutan.
Begitu pula dengan masyarakat sekitar hutan yang berada di Kabupaten
Kaimana. Masyarakat di Kaimana telah mampu mengelola hutan sejak lama.
Umumnya mereka mengambil kayu untuk membangun rumah dan mengumpulkan
kayu bakar sebagai sumber energi. Selain hasil hutan kayu, masyarakat di
Kaimana juga melimpah hasil hutan bukan kayu seperti pala dan cengkeh
untuk rempah-rempah, jamur untuk obat dan lain-lain.
Dilihat dari kondisi yang ada sekarang, diketahui
bahwa sytem pengelolaah sumber daya hutan oleh masyarakat masih berifat
sendiri-sendiri. Di beberapa tempat telah digalakan kelompok usaha
kampung, namun pada kenyataannya tidak berjalan secara efektif. Selain
hasil hutan yang dikelola sendiri-sendiri adapula yang mengelola secara
bersama-sama, atau bergerak pada level keluarga atau marga. Namun sangat
disayangkan karena orientasi keberlanjutan dan pengembangan usaha tidak
menjadi prioritas. Umumnya orientasi yang mendasari pikiran masyarakat
dalam pengelolaan sumber daya hutan mereka adalah kebutuhan akan uang
untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan untuk memenuhi kepuasan
ekonomi.
Sejauh ini secara mandiri masyarakat telah mampu
memanfaatkan hasil hutan yang ada untuk menjamin keberlangsungan
hidupnya. Berdasarkan hasil kegiatan analisis kemiskinan, secara nyata
diperoleh fakta bahwa lebih dari 40% sumber pendapatan uang tunai
masyarakat berasal dari sumber daya hutan. Untuk pertanian umumnya
bersifat subsisten atau hanya untuk menjamin kebutuhan pangen rumah
tangga setiap hari. Sehingga dari uraian diatas hutan memberikan arti
penting bagi keberlanjutan ekonomi keluarga masyarakat di
kampung-kampung di Kaimana.
Dari hasil pengamatan dan diskusi
dengan masyarakat, secara kasar dapat diketahui bahwa secara teknis
pemanfaatan hasil hutan, masyarakat telah memiliki kemampuan. Masyarakat
sudah mampu mengekstrak sumber daya hutan baik hasil hutan kayu maupun
non-kayu. Sebagai contoh di kampung Esania Distrik Buruway. Untuk perahu
besar atau long boat setiap tahun masyarakat mampu menghasilkan minimal
2 buah perahu yang dijual dengan harga berkisar antara 10 – 50 juta
rupiah. Selain itu setiap bulannya masyarakat kampung Esania juga mampu
mensuplay kayu gergajian ke kota Kaimana. Rata-rata setiap bulan
masyarakat mampu mensuplay 5 m3 kayu gergajian ke Kota Kaimana, biasanya
disesuaikan dengan pesanan. Cuma sayangnya kemampuan teknis ini tidak
diimbangan dengan kemampuan manajemen yang baik dalam usaha
berkelanjutan dan perkembangan usaha.
Ketika kami mencoba untuk
bertanya ”seberapa banyak kemampuan masyarakat untuk mensuplay kayu ke
kota kaimana?” masyarakat menjawab ”Kami siap mensuplay kayu olahan ke
kaimana dalam jumlah yang banyak apabila ada pesanan yang banyak”. Dari
jawaban atas pertanyaan tersebut diatas, diketahui bahwa secara teknis
pemanfaatan hasil hutan, masyarakat sudah mampu secara mandiri
melakukannya. Tetapi ketika ditanya ”Bagaimana perhitungan dalam
penentuan harga jual?” Masyarakat sering kebingungan menentukan bahkan
ada beberapa yang sering berpatokan pada harga kayu yang sudah
ditentukan oleh pembeli. Selain itu ada juga proses tawar menawar harga
jual kayu antara masyarakt dengan pembeli. Kasus ini menunjukan bahwa
dari segi manajerial terutama dalam perhitungan untung-rugi
(benefit-cost) bukan menjadi hal yang krusial bagi masyarakat. Kasus ini
kembali pada orientasi bahwa ”yang penting saya dapat uang tunai dan
bisa berbelanja kebutuhan rumah tangga dan memenuhi kepuasan ekonomi”
Kemampuan Memanfaatkan Hasil Hutan Kayu.
Sumber
daya hutan kayu merupakan kekayaan terbesar yang menjadi primadona di
beberapa kampung di Kaimana. Potensi yang cukup menjanjikan ini
mendorong banyak investor yang sudah dan akan masuk untuk mengekstrak
hasil hutan ini. Sebut saja 2 kampung yang menjadi contoh kegiatan
analisis kemiskinan, yaitu kampung Kensi dan kampung Guriasa. Kampung
ini memiliki hak tanah adat atas areal HPH/IUPHHK yang sedang beroperasi
didaerah sekitarnya. Catatan menarik kami peroleh yaitu bahwa kampung
Guriasa meskipun letaknya yang jauh secara aksesibitas dari kota
Kaimana, namun kampung ini merupakan kampuang yang dapat di kategorikan
sejahtera, karena hampir sebagian besar masyarakatnya mendapat
penerimaan uang tunai dan bentuk lain
dalam jumlah yang besar dari perusahaan yang beroperasi disini.
dalam jumlah yang besar dari perusahaan yang beroperasi disini.
Potensi
kayu di daerah ini cukup besar yaitu sekitar 31 m3/ha untuk pohon layak
tebang. Dari hasil laporan realisasi tebangan tahunan dari beberapa HPH
di Kaimana diperoleh informasi bahwa rata-rata panen tahunan kayu-kayu
komersil di Kaimana mencapai lebih dari 10,000 m3.
Selain
dimanfaatkan/dieksloitasi oleh perusahaan logging besar, kayu juga
dipanen oleh masyarakat dan dijual dalam bentuk kayu gergajian atau kayu
olahan. Jenis-jenis kayu yang sering dimanfaatkan atau dipanen oleh
masyarakat adalah seperti pada daftar di bawah ini.
Daftar nama kayu yang di ambil oleh masyarakat
No Nama Daerah /Nama Dagang /Nama Ilmiah
No Nama Daerah /Nama Dagang /Nama Ilmiah
- Kayu Besi /Merbau /Intsia bijuga
- Kayu Matoa /Matoa /Pometia pinata
- Kayu Susu /Pulai /Alstonia scholaris
- Kayu Kuning /Cendana /Santalum album
- Kayu Linggua /Angsana /Pterocarpus sp
- Kayu Pala /Pala /Myritica fragrans
- Kayu Bunga /Raja Bunga /Adenanthera spp
- Kayu Kunang2
- Dammar /Agatis /Agatis sp
- Gufasa /Gopasa /Vitex spp.
- Sukun Hutan /Terap /Artocarpus spp
- Bintangur /Bintangur /Calophyllum spp
- Durian hutan /Durian /Durio spp
- Kayu Ketapang /Ketapang /Terminalia sp
- Kedondong Hutan /Kedondong Hutan/Spondias spp
- Benuang /Benuang /Octomeles sumatrana Miq
- Kayu Minyak
- Kayu Bawang /Kulim /Scorodocarpus borneensis
- Kayu Bugis /Bugis /Koordersiodendron pinnatum
- Kayu Putih /Eucaliptus /Eucalyptus spp
Kayu-kayu
ini umunya bernilai komersial yang cukup tinggi. Sebagai contoh : kayu
Merbau (Instia bijuga) yang menjadi kayu primadona Papua yang sampai
saat ini masih terus dijarah dan diangkut ke luar negeri untuk keperluan
bahan baku industri flooring.
Dari segi masyarakat secara
sederhana telah memanfatkan kayu untuk keperluan pembangunan di kampung,
seperti pembangunan rumah-rumah penduduk, sekolah, dan sarana umum lain
di kampung. Selain untuk konsumsi dalam kampung sebagian masyarakat
juga telah menjual sebagian kayu ke kota Kaimana untuk keperluan
pembangunan di Kaimana. Namun umumnya masyarakat menjaual kepada para
penadah kayu kota Kaimana. Dan jumlah kayu yang dijual ke Kaimana juga
dalam jumlah yang terbatas tergantung kapasitas perahu dalam mengangkut
kayu ke kota.
Secara teknis, masyarakat telah mampu memanfaatkan hasil hutan kayu dan non kayu.
Dari
hasil kegiatan di ketahui bahwa masyarakat kampung Esania memiliki
kemampuan dalam mengelola hasil hutan kayu. Berdasarkan hasil wawancara
dengan beberapa masyarakt di Kampung Esania, diketahui bahwa rata-rata 1
keluarga yang memiliki operator chainsaw mampu menebang lebih dari 5 m3
kayu olahan dalam 1 bulan. Bahkan apabila ada pesanan yang lebih dari 5
m3 masyarakt mampu untuk mensuplay/memenuhi pesanan itu. Aksesibilitas
yang cukup mudah dan lebih murah dibandingkan kampung contoh lain
menjadi faktor pendorong potensial dalam pemanfaatan sumber daya hutan
kayu. Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, masyarakt kampung Esania sudah
banyak mensuplay kayu olahan untuk konsumsi pembangunan dalam kota
Kaimana.
Di kampung Kensi, berdasarkan hasil analisis kemiskinan,
diperoleh hasil bahwa hanya 3 laki-laki dewasa yang mampu
mengoperasikan chain-saw. Hampir sebagian besar sumber pendapatan tunai
masyarakat kensi berasal kegiatan mengumpulkan, memanen dan mengolah
dari hasil hutan bukan kayu seerti gaharu, minyak lawang, kulit masohi
pala, dan lain-lain. Secara teknis 3 laki-laki dewasa di kampung Kensi
ini mampu menebang kayu. Hal ini dilihat adri konsumsi kayu dalam
kampung untuk perumahan. Selain untuk konsumsi dalam kampung mereka juga
mensuplay kayu olahan ke kampung-kampung di sekitar kampung Kensi yang
membutuhkan. Dengan alasan aksesibitas yang cukup sulit dan alasan biaya
akomodasi yang cukup tinggi, sehingga mereka tidak menjadi suplier kayu
gergajian untuk kota Kaimana.
Keahlian khusus yang dimiliki
kebanyakan laki-laki dewasa di Kampung Kensi adalah inventarisasi hutan.
Karena hampir sebagian besar laki-laki dewasa merupakan bekas tenaga
surveyor untuk perusahaan yang pernah beroperasi disini.
Untuk
kampung Guriasa, hampir semua laki-laki diusia produktif (>19 tahun)
mampu mengoperasikan chain-saw. Hal ini dibuktikan dengan data
kepemilikan barang-barang masyarakat. Hampir 80 % dari jumlah kepala
keluarga di kampung ini memiliki chain-saw. Kampung ini merupakan
sebagian dari beberapa kampung di Kaimana yang masyarakatnya memiliki
pendapatan diatas rata-rata. Kehadiran 2 perusahan kayu diwilayah
adatnya mendorong perubahan ekonomi yang besar dalam kehidupan
masyarakat. Sebagian dari Chain-saw yang ada di kampung ini merupakan
bantuan dari perusahaan, tetapi hampir sebagian besar chain-saw yang ada
dibeli oleh masyarakat sendiri.
Dari hasil kegiatan diperoleh
fakta bahwa tiap bulannya tiap operator hanya boleh mensuplay kira-kira 1
m3 kayu gergajian. Menurut masyarkat bahwa ada larang dari pihak
tertentu untuk memanfaatkan lebih dari itu, padahal mereka menuturkan
bahwa mereka mampu mensuplay lebih dari itu. Dengan perkiraan diatas
bahwa masyarakat mampu mensuplay 1 m3 dan dari 30 operator chain-saw
hanya 25 operator aktif, maka tiap bulannya masyarakat kampung guriasan
mampu mensuplay 25 m3 kayu gergajian. Pemanfaatan hasil hutan kayu di
Kampung ini menjadi primodona. Kehadiran penada kayu di kampung ini
turut memacu masyarakat untuk terus menebang dan menjual kayu gergajian
demi kebutuhan akan uang.
Catatan:
Secara umum untuk ketiga
kampung ini sistem pengaturan hasil masih bersifat tanpa perencanan
terstruktur. Prinsip yang berkembang dalam pemanfaatan hasil hutan kayu
adalah “siapa yang mampu mengekstrak hasil hutan kayu, silahkan untuk
memanfaatkan. Namun pemanfaatan harus dilakukan pada wilayah hak adapt
masing-masing keluarga atau marga”.
Menurut masyarakt kegiatan
pemanenan cukup memakan waktu lama. Mulai dari penebangan sampai
pemuatan dan penjualan ke penadah memerlukan waktu ± 1 minggu untuk satu
pohon dengan diameter > 50 cm. Sama seperti masalah pengaturan
hasil, tidak ada perencanaan tersistem dalam kegiatan pemanenan.
Kemampuan mengekstrak Sumber Daya Hutan Non Kayu
Selain
sumber daya hutan kayu yang melimpah, Kabupaten Kaimana juga memiliki
potensi Hasil Hutan Bukan Kayu yang cukup menjanjikan. Banyak
produk-produk hutan bukan kayu yang menjadi primadona masyarakat dan
bernilai komersial cukup tinggi seperti : Gaharu dan Minyak Lawang.
Gaharu sendiri banyak dicari oleh pengusaha-pengusaha besar, karena
memiliki nilai pasar yang cukup tinggi. Masyarakat di kampung-kampung
sekitar Kaimana sebagian menggantungkan hidupnya pada hasil hutan bukan
kayu.
Salah satu kampung dari kegiatan analisis kemiskinan yang
memiliki potensi hasil hutan bukan kayu cukup besar adalah kampung
Kampung Kensi. Meskipun pembangunan dan bantuan sosial sudah berjalan
sejak lama, namun sebagian masyarakat kampung Kensi dalam kondisi dengan
pola hidup berburu, meramu dan mengumpulkan hasil hutan. Berdasarkan
hasil analisis diketahui bahwa sekitar 50 % dari sumber pendapatan tunai
masyarakat kensi berasal dari hutan. Dan dilihat dari proporsi hasil
hutan, hasil hutan bukan kayu seperti gaharu, minyak lawang, kulit
masohi dan pala memberikan pengaruh paling besar bagi kehidupan ekonomi
warga Kensi.
Untuk kampung lain Esania dan Guriasa, sumber hasil
hutan bukan kayu yang potensial adalah pala. Rata-rata setiap keluarga
memiliki pala. Pala umumnya di panen 2 kali setiap tahun, sehingga
menurut beberapa warga pala tidak berpengaruh banyak pada penghidupan
masyarakat dalam satu tahun.
Hasil hutan minyak lawang di
Kampung Kensi cukup potensial, namun tempat untuk memperoleh hasil yang
potensial ini harus dicapai dengan berjalan kaki selama ± 3 hari. Proses
pengolahan minyak lawang ini selanjutnya akan akan memakan waktu ± 1
bulan. Selama satu bulan ini biasanya masyarakat mampu mendapatkan 10 –
15 botol minyak lawang siap jual. Dan biasanya satu botol dijual dengan
harga Rp. 50,000 di kecamatan Arguni dan Rp. 75,000 di Kaimana kota.
Hampir sebagian besar masyarakat Kensi mengolah kulit lawang menjadi
minyak secara musiman dan menunggu sampai pohon kembali produktif adalah
2 kali setahun per pohon.
Pohon lawang yang dimanfaatkan
diperoleh di alam liar. Dan masyarakat akan mengekstraknya di tempat
yang cukup jauh dari kampung. Namun sekarang secara tradisional
masyarakat sudah mencoba untuk menanam pohon lawang di sekitar kampung.
Untuk
gaharu, masyarakat Kensi bisa menghabiskan waktu antara 2 – 3 bulan
untuk berkeliling hutan mengumpulkan gaharu. Masyarakat akan kembali ke
Kampung setelah memperoleh hasil yang cukup banyak dalam jumlah beberapa
kg. Gaharu bisanya dijual ke penadah yang datang ke kampung dengan
kisaran harga antara Rp.500,000 – 700,000.
Terkadang masyarakat harus
menjual dengan harga jauh dibawah harga normal.
Pencarian dan pengumpulan gaharu di hutan biasanya merupakan inisiatif pribadi atau keluarga.
Gaharu
belum banyak diusahakan/dikelola dengan teknik silvikultur tertentu
oleh masyarakat. Selama ini hasil yang diperoleh masing-masing sangat
bergantung pada alam.
Masyarakat masih sepenuhnya mengumpulkan hasil ini
dari apa yang disediakan oleh alam. Frekuensi pengambilan hasil hutan
ini tidak menentu. Umumnya masyarakat menyempatkan maktu 2 kali dalam
setahun untuk masuk berkeliling hutan untuk mencari dan mengumpulkan
gaharu.
Penulis: TapakBatas