Luas kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia pada tahun lalu telah memicu berbagai pihak untuk terus mencari jalan keluar me...
Luas kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia pada tahun lalu
telah memicu berbagai pihak untuk terus mencari jalan keluar memperbaiki
hutan dan lahan yang tepat dan sesuai dengan kondisi masyarakat lokal.
PortalHijau - Upaya tersebut harus didorong kearah peran serta berbagai pihak dengan meningkatkan upaya-upaya pemanfaatan hutan dan lahan yang terkendali untuk kesejahteraan masyarakat. Khususnya masyarakat yang penghidupannya secara langsung tergantung pada sumber daya hutan. Keberadaan sumberdaya hutan di Indonesia harus mampu memadukan ketiga fungsi, yaitu ekologi, ekonomi dan sosial.
Dimana fungsi tersebut mendukung terciptanya upaya untuk memastikan perlindungan tanah, ketersediaan air bersih, dan kenyamanan udara bagi mereka yang masih menggantungkan hidup dengan sumber daya alam.
Di Pulau Borneo khususnya Kalbar masih banyak kelompok masyarakat yang menggantungkan hidup mereka dengan hasil sumber daya alam. Masyarakat tersebut mengolah lahan yang menjadi salah satu cara dari kelompak masyarakat . Dengan mengolah lahan dan berladang masyarakat dapat memenuhi kebutuhan pangan mereka sehari-hari. Aktivitas tersebut sudah diwariskan secara turun temurun dari nenek moyang mereka.
Namun sekarang aktivitas tersebut menjadi sedikit terganggu. Dimana masyarakat yang biasa bertani dan masyarakat adat yang masih mempertahankan cara-cara bercocok tanam dengan ladang berpindah dengan membakar lahan. Sedikit terusik dengan penerapan kebijakan yang ada. Terkadang dalam implementasi kebijakan tersebut menjadi salah tafsir dan merugikan bagi masyarakat lokal. Maraknya kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada tahun lalu membuat mereka sedikit tersisih karena kejadian bencana tersebut. Praktik yang sudah lama mereka lakoni disinyalir menjadi salah satu penyumbang besar saat bencana asap melanda bumi pertiwi ini.
Menurut aktivis Walhi Kalbar Hendrikus Adam, masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah kawasan hutan bila dikaitkan dengan bencana asap, sebenarnya berkontribusi mereka terhadap pemanasan global kecil sekali. Tapi bandingkan dengan pembukaan luas hamparan lahan hutan yang dibuka untuk kawasan perkebunan. Justru aktivitas pembukan perkebunan itu sebenarnya berkontribusi sangat nyata dalam kejadian perubahan iklim sebagai buah dari proses pemanasan global yakni akumulasi dari emisi gas rumah kaca (GRK).
“Tapi sebenarnya komunitas masyarakat ini menjadi pihak yang justru rentan terkena dampak dari isu perubahan iklim. Dimana mereka masih banyak yang bergantung dengan hasil hutan,bergantung pada musim sehingga mereka menjadi kesulitan terhadap kondisi cuaca yang memicu ketidakseimbangan ekosistem ,” ungkapnya.
Adam mengungkapkan,Dia bersama rekannya Hilarinus Tampajara sempat merilisi buku yang berjudul “KEARIFAN LOKAL TIDAK MATI Pembelajaran dari Masyarakat Adat Dayak Bakatik Banua Lumar dalam Menjawab Perubahan Iklim”. Dimana buku tersebut menggambarkan masyarakat adat Dayak Bakatik Banua Lumar yang berada di Kabupaten Bengkayang dalam menjaga alam dan mengelola alam sekitarnya dengan arif dan bijaksana.
“Banyak pembelajaran yang bisa kita ambil dari komunitas masyarakat di sana, mereka memiliki kekhasan tersendiri dalam memaknai dan mengelola alam semesta berlandaskan keseimbangan dan keberlanjutan dengan memikirkan kepentingan generasi selanjutnya,”terangnya.
Masih menurut Adam bahwa aktivitas Masyarakat Adat Dayak Bakatik Banua Lumar dalam mengelola SDA dengan cara berladang, mengelola tembawang, dan mengelola sumber daya hutan di wilayah adatnya. Ada pola penataan ruang yang diatur bersama dalam (hukum) adat dan norma-norma sosial masyarakat Dayak Bakatik. Adam mencontohkan dalam mengolah lahan untuk berladang misalnya. Ada memiliki tahap-tahap kegiatan yang harus dilakukan sebagaimana yang telah dilakukan oleh nenek moyang mereka.
“Kegiatan ini dimaksudkan untuk membicarakan rencana perladangan berikut tahapan-tahapan persiapan yang akan dipersiapkan, termasuk sejumlah kontribusi warga maupun mengenai waktu dan teknis pelaksanaan ritual adat, jadi membuka lahan untuk berladang di masyarakat adat butuh proses ritual yang panjang . Termasuk proses (Nyahung uma) yang merupakan fase pembakaran lahan di ladang yang digarap ,” terangnya.
Dia menambahkan, kehadiran komunitas masyarakat adat dengan kearifannya tentu sebenarnya menjadi sisi sentral dalam isu perubahan iklim. Peran komunitas melalui kearifannya dalam mengelola sumber daya alam harus diakui berkontribusi dalam meredam laju proses maupun dampak perubahan iklim.
“Komunitas Dayak Bakatik Banua Lumar di kabupaten Bengkayang menjadi salah satu komunitas yang menggambarkan dan menjelaskan bagaimana hubungan baik komunitas dengan alam sekitarnya. Selain itu, komunitas di daerah tersebut memiliki kearifan mengelola sumber daya alam dengan tetap menjaganya agar tetap lestari.” Pungkasnya. (yad)
Penulis: Hendrikus Adam
PortalHijau - Upaya tersebut harus didorong kearah peran serta berbagai pihak dengan meningkatkan upaya-upaya pemanfaatan hutan dan lahan yang terkendali untuk kesejahteraan masyarakat. Khususnya masyarakat yang penghidupannya secara langsung tergantung pada sumber daya hutan. Keberadaan sumberdaya hutan di Indonesia harus mampu memadukan ketiga fungsi, yaitu ekologi, ekonomi dan sosial.
Dimana fungsi tersebut mendukung terciptanya upaya untuk memastikan perlindungan tanah, ketersediaan air bersih, dan kenyamanan udara bagi mereka yang masih menggantungkan hidup dengan sumber daya alam.
Di Pulau Borneo khususnya Kalbar masih banyak kelompok masyarakat yang menggantungkan hidup mereka dengan hasil sumber daya alam. Masyarakat tersebut mengolah lahan yang menjadi salah satu cara dari kelompak masyarakat . Dengan mengolah lahan dan berladang masyarakat dapat memenuhi kebutuhan pangan mereka sehari-hari. Aktivitas tersebut sudah diwariskan secara turun temurun dari nenek moyang mereka.
Namun sekarang aktivitas tersebut menjadi sedikit terganggu. Dimana masyarakat yang biasa bertani dan masyarakat adat yang masih mempertahankan cara-cara bercocok tanam dengan ladang berpindah dengan membakar lahan. Sedikit terusik dengan penerapan kebijakan yang ada. Terkadang dalam implementasi kebijakan tersebut menjadi salah tafsir dan merugikan bagi masyarakat lokal. Maraknya kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada tahun lalu membuat mereka sedikit tersisih karena kejadian bencana tersebut. Praktik yang sudah lama mereka lakoni disinyalir menjadi salah satu penyumbang besar saat bencana asap melanda bumi pertiwi ini.
Menurut aktivis Walhi Kalbar Hendrikus Adam, masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah kawasan hutan bila dikaitkan dengan bencana asap, sebenarnya berkontribusi mereka terhadap pemanasan global kecil sekali. Tapi bandingkan dengan pembukaan luas hamparan lahan hutan yang dibuka untuk kawasan perkebunan. Justru aktivitas pembukan perkebunan itu sebenarnya berkontribusi sangat nyata dalam kejadian perubahan iklim sebagai buah dari proses pemanasan global yakni akumulasi dari emisi gas rumah kaca (GRK).
“Tapi sebenarnya komunitas masyarakat ini menjadi pihak yang justru rentan terkena dampak dari isu perubahan iklim. Dimana mereka masih banyak yang bergantung dengan hasil hutan,bergantung pada musim sehingga mereka menjadi kesulitan terhadap kondisi cuaca yang memicu ketidakseimbangan ekosistem ,” ungkapnya.
Adam mengungkapkan,Dia bersama rekannya Hilarinus Tampajara sempat merilisi buku yang berjudul “KEARIFAN LOKAL TIDAK MATI Pembelajaran dari Masyarakat Adat Dayak Bakatik Banua Lumar dalam Menjawab Perubahan Iklim”. Dimana buku tersebut menggambarkan masyarakat adat Dayak Bakatik Banua Lumar yang berada di Kabupaten Bengkayang dalam menjaga alam dan mengelola alam sekitarnya dengan arif dan bijaksana.
“Banyak pembelajaran yang bisa kita ambil dari komunitas masyarakat di sana, mereka memiliki kekhasan tersendiri dalam memaknai dan mengelola alam semesta berlandaskan keseimbangan dan keberlanjutan dengan memikirkan kepentingan generasi selanjutnya,”terangnya.
Masih menurut Adam bahwa aktivitas Masyarakat Adat Dayak Bakatik Banua Lumar dalam mengelola SDA dengan cara berladang, mengelola tembawang, dan mengelola sumber daya hutan di wilayah adatnya. Ada pola penataan ruang yang diatur bersama dalam (hukum) adat dan norma-norma sosial masyarakat Dayak Bakatik. Adam mencontohkan dalam mengolah lahan untuk berladang misalnya. Ada memiliki tahap-tahap kegiatan yang harus dilakukan sebagaimana yang telah dilakukan oleh nenek moyang mereka.
“Kegiatan ini dimaksudkan untuk membicarakan rencana perladangan berikut tahapan-tahapan persiapan yang akan dipersiapkan, termasuk sejumlah kontribusi warga maupun mengenai waktu dan teknis pelaksanaan ritual adat, jadi membuka lahan untuk berladang di masyarakat adat butuh proses ritual yang panjang . Termasuk proses (Nyahung uma) yang merupakan fase pembakaran lahan di ladang yang digarap ,” terangnya.
Dia menambahkan, kehadiran komunitas masyarakat adat dengan kearifannya tentu sebenarnya menjadi sisi sentral dalam isu perubahan iklim. Peran komunitas melalui kearifannya dalam mengelola sumber daya alam harus diakui berkontribusi dalam meredam laju proses maupun dampak perubahan iklim.
“Komunitas Dayak Bakatik Banua Lumar di kabupaten Bengkayang menjadi salah satu komunitas yang menggambarkan dan menjelaskan bagaimana hubungan baik komunitas dengan alam sekitarnya. Selain itu, komunitas di daerah tersebut memiliki kearifan mengelola sumber daya alam dengan tetap menjaganya agar tetap lestari.” Pungkasnya. (yad)
Penulis: Hendrikus Adam