Partisipasi generasi muda dalam menghadapi perubahan iklim akhir-akhir ini seolah di-pertanyakan. Entah karena sudah masanya g...
Partisipasi generasi muda dalam menghadapi perubahan iklim
akhir-akhir ini seolah di-pertanyakan. Entah karena sudah masanya
generasi muda harus tampil menjawab isu-isu lingkungan hidup atau justru
generasi tua yang mulai stagnan bicara soal itu. Tapi yang jelas,
memang banyak tantangan lingkungan hidup, terutama pemanasan global dan
perubahan iklim yang penting diselesaikan bersama, baik oleh generasi
muda maupun generasi tua.
Harian Analisa, Senin (6/6) lalu, melansir berita tentang pertemuan Forum Pemuda Internasional Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan, di Jakarta. Pertemuan yang dihadiri sekitar 100-an pemuda itu bertekad untuk mengampanyekan kepedulian terhadap perubahan iklim melalui media sosial bagi masyarakat luas di Indonesia. Kenapa medsos? Barangkali ini pilihan tren bagi generasi muda Indonesia masa kini yang melek informasi dan mahir berteknologi.
Dua paragraf di awal tulisan ini sebenarnya merupakan pengantar diskusi Bang Lelo, Bonar, Wak Dul, Bang Lokot, serta Wak Aluik. Mereka ini warga Kampung Kenyut yang kadang suka latah memperdebatkan hal-hal yang bukan domain mereka. Seperti lagak ILC, berbagai persoalan di negeri ini selalu saja ingin mereka polemikkan bersama. Kadang ada solusi, tapi lebih sering mengambang kayak “rapat tikus”. Itu pun syukurlah. Pinomat, stamina kesadaran kritis mereka masih stabil terjaga.
Menanggapi topik diskusi, agaknya Wak Dul kurang sependapat kalau hanya pemuda yang dianggap mampu menyelesaikan perkara perubahan iklim. “Setahu saya,” kata Wak Dul sinis, “anak muda sekarang hanya pintar menjiplak, bukan pemikir. Tidak paham bagaimana merawat kekayaan alamnya dengan kearifan lokal yang ada, buang sampah sembarangan, minat baca-tulis kurang. Mestinya mereka minta petunjuk dulu ke generasi tua agar problem lingkungan hidup ini bisa mereka selesaikan secara baik dan benar.”
Bonar berusaha bersikap netral. Katanya,“Bukan mau membelakangkan generasi tua, Wak, tapi menghadapi perubahan iklim ini, generasi muda dituntut untuk mampu bergerak secara kolektif dengan ide-ide inovatifnya. Kami sadar bahwa generasi muda sangat butuh bimbingan dari generasi tua, yang duluan makan asam-garam kehidupan. Tetapi, melihat kelanjutan isu ini kurang begitu diopeni masyarakat, termasuk negara, apa salahnya kalau generasi muda merasa terpanggil, lalu tampil membuka wacana.”
“Wah, berarti Dek Bonar berasumsi generasi tua tidak peduli lagi terhadap persoalan lingkungan hidup? Itu sama saja menuduh generasi tua tidak bertanggung jawab,” sindir Bang Lelo, sambil melirik Wak Dul.
“Maaf, Wak Dul dan Bang Lelo, jangan tersinggung. Saya cuma mau menafsir apa yang pernah disampaikan Prof. Emil Salim, yang dicatat Prisma, April 2010 lalu. Prof. Emil mengatakan, saya percaya pada generasi muda. Mereka hebat dan memiliki idealisme tinggi.
Nah, Prof. Emil saja mengakui bahwa masalah perubahan iklim ini lebih tepatnya diurus oleh generasi muda. Lagian, dari awal kita kan berpendapat generasi tua bukan untuk dibelakangi, melainkan sebagai pengayom. Peran generasi tua intelektual justru untuk mentransfer ilmu pengetahuannya kepada generasi muda. Sementara pemuda sebagai kelompok penggeraknya, istilah Prof. Emil: Motivator Eco-Development. Bahkan imbau Prof. Emil, bila perlu kita perang bersama-sama melawan perubahan iklim.”
Wak Aluik yang sedari tadi manggut-manggut, akhirnya buka suara. “Yang dikatakan Bonar ada benarnya,” ujarnya. “Tapi kita perlu juga mengapresiasi semangat dan kegelisahan generasi tua seperti Wak Dul. Karena itu, marilah kita bersinergi. Apalagi di hiruk-pikuknya wacana posmo ini, masalah lingkungan hidup memang harus didiskusikan secara bijaksana antargenerasi, agar kita tidak asal comot, asal ngekor dan asal-asalan lainnya.”
“Jika sistem pendidikan berbasis lingkungan hidup diterapkan,” lanjut Wak Aluik, “paling tidak benang-kusut perubahan iklim ini bisa diurai satu per satu. Meminjam kosakata Daniel Goleman, generasi muda kita perlu memiliki “kecerdasan ekologis”, agar mampu menghadapi perubahan iklim di masa depan. Makanya, pelajaran di sekolah harusnya juga bermuatan bagaimana cara meruwat, merawat, bukan malah bikin ruwet dan merusak alam.
Harian Analisa, Senin (6/6) lalu, melansir berita tentang pertemuan Forum Pemuda Internasional Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan, di Jakarta. Pertemuan yang dihadiri sekitar 100-an pemuda itu bertekad untuk mengampanyekan kepedulian terhadap perubahan iklim melalui media sosial bagi masyarakat luas di Indonesia. Kenapa medsos? Barangkali ini pilihan tren bagi generasi muda Indonesia masa kini yang melek informasi dan mahir berteknologi.
Dua paragraf di awal tulisan ini sebenarnya merupakan pengantar diskusi Bang Lelo, Bonar, Wak Dul, Bang Lokot, serta Wak Aluik. Mereka ini warga Kampung Kenyut yang kadang suka latah memperdebatkan hal-hal yang bukan domain mereka. Seperti lagak ILC, berbagai persoalan di negeri ini selalu saja ingin mereka polemikkan bersama. Kadang ada solusi, tapi lebih sering mengambang kayak “rapat tikus”. Itu pun syukurlah. Pinomat, stamina kesadaran kritis mereka masih stabil terjaga.
Menanggapi topik diskusi, agaknya Wak Dul kurang sependapat kalau hanya pemuda yang dianggap mampu menyelesaikan perkara perubahan iklim. “Setahu saya,” kata Wak Dul sinis, “anak muda sekarang hanya pintar menjiplak, bukan pemikir. Tidak paham bagaimana merawat kekayaan alamnya dengan kearifan lokal yang ada, buang sampah sembarangan, minat baca-tulis kurang. Mestinya mereka minta petunjuk dulu ke generasi tua agar problem lingkungan hidup ini bisa mereka selesaikan secara baik dan benar.”
Bonar berusaha bersikap netral. Katanya,“Bukan mau membelakangkan generasi tua, Wak, tapi menghadapi perubahan iklim ini, generasi muda dituntut untuk mampu bergerak secara kolektif dengan ide-ide inovatifnya. Kami sadar bahwa generasi muda sangat butuh bimbingan dari generasi tua, yang duluan makan asam-garam kehidupan. Tetapi, melihat kelanjutan isu ini kurang begitu diopeni masyarakat, termasuk negara, apa salahnya kalau generasi muda merasa terpanggil, lalu tampil membuka wacana.”
“Wah, berarti Dek Bonar berasumsi generasi tua tidak peduli lagi terhadap persoalan lingkungan hidup? Itu sama saja menuduh generasi tua tidak bertanggung jawab,” sindir Bang Lelo, sambil melirik Wak Dul.
“Maaf, Wak Dul dan Bang Lelo, jangan tersinggung. Saya cuma mau menafsir apa yang pernah disampaikan Prof. Emil Salim, yang dicatat Prisma, April 2010 lalu. Prof. Emil mengatakan, saya percaya pada generasi muda. Mereka hebat dan memiliki idealisme tinggi.
Nah, Prof. Emil saja mengakui bahwa masalah perubahan iklim ini lebih tepatnya diurus oleh generasi muda. Lagian, dari awal kita kan berpendapat generasi tua bukan untuk dibelakangi, melainkan sebagai pengayom. Peran generasi tua intelektual justru untuk mentransfer ilmu pengetahuannya kepada generasi muda. Sementara pemuda sebagai kelompok penggeraknya, istilah Prof. Emil: Motivator Eco-Development. Bahkan imbau Prof. Emil, bila perlu kita perang bersama-sama melawan perubahan iklim.”
Wak Aluik yang sedari tadi manggut-manggut, akhirnya buka suara. “Yang dikatakan Bonar ada benarnya,” ujarnya. “Tapi kita perlu juga mengapresiasi semangat dan kegelisahan generasi tua seperti Wak Dul. Karena itu, marilah kita bersinergi. Apalagi di hiruk-pikuknya wacana posmo ini, masalah lingkungan hidup memang harus didiskusikan secara bijaksana antargenerasi, agar kita tidak asal comot, asal ngekor dan asal-asalan lainnya.”
“Jika sistem pendidikan berbasis lingkungan hidup diterapkan,” lanjut Wak Aluik, “paling tidak benang-kusut perubahan iklim ini bisa diurai satu per satu. Meminjam kosakata Daniel Goleman, generasi muda kita perlu memiliki “kecerdasan ekologis”, agar mampu menghadapi perubahan iklim di masa depan. Makanya, pelajaran di sekolah harusnya juga bermuatan bagaimana cara meruwat, merawat, bukan malah bikin ruwet dan merusak alam.
Persis usul Jonathon Porritt dengan “kesadaran planet”nya
yang memandang bumi dengan sikap simpati; atau “Hipotesis Gaia”nya James
Lovelock, yang menganalogikan bumi sebagai makhluk yang punya jiwa atau
spirit.”
“Kemudian, buat mereka yang diberi amanah mengurus negara ini atau yang duduk di kursi parlemen sana, bikinlah kebijakan perubahan iklim. Dulu, kita bahas Protokol Kyoto, sayangnya asal bicara dana, bekoyok juga kepala itu. Lalu REDD+ (plus), tapi yang diaplaus justru plus fulus-nya saja. Biaya merawat lingkungan hidup itu memang mahal, namun paling tidak mulailah dengan transparansi kebijakan dan anggaran yang berfokus pada kelestarian bumi sebagai rumah global kita.”
“Bah! Kalau tak silaf, mungkin ini juga jawaban dari teka-teki dibubarkannya Dewan Nasional Perubahan Iklim dan BP-REDD+ itu ya?” cetus Bang Lokot.
“Sssttt, sabar, Tulang,” sahut Bonar, “mungkin DNPI atau REDD+ tidak relevan lagi untuk saat ini. Atau mungkin kinerjanya belum signifikan dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Atau mungkin masih terjebak dalam liku-liku diplomatis antarnegara, baik dari negara yang rentan terkena dampak perubahan iklim maupun dari negara penyumbang 70 persen sumber petaka tersebut. Dan ada banyak “mungkin” lainnya, termasuk intervensi politis.”
“Jadi, Bere,” ujar Bang Lokot lagi, “apa saja rupanya dampak perubahan iklim ini terhadap bumi kita?”
“Dampak nyatanya tentulah sangat mengganggu sistem pertanian (ketahanan pangan). Efek gas rumah kaca (GRK) dan emisi CO2 menjadikan bumi makin panas. Malah disinyalir akan banyak pulau kecil di Samudera Hindia, Pasifik, dan Atlantik yang tenggelam akibat pemanasan global yang mencairkan gunung es di kutub sana.”
“Dari masa industrialisasi di Eropa, pencemaran lingkungan sebenarnya sudah terjadi, tapi belum menjadi isu hangat. Barulah pada 1972, sejak Rachel Carson menerbitkan Silent Spring (1962), dunia mulai tertarik dengan isu pencemaran lingkungan. Mulailah di PBB ada UNEP, lalu muncullah istilah sustainable development, teknologi added value, IPPC, REDD, dan lainnya. Di Indonesia, berdasarkan PP No. 46/2008, ada DNPI tadi. Hanya saja, persis yang dikatakan Mark Twain, orang-orang bicara cuaca, namun tidak satu pun yang perduli tentang cuaca,” papar Bonar.
“Oleh sebab itu, mengenai media sosial sebagai alat kampanye tadi,” kata Bonar lagi, “bolehlah kita pakai terminologinya Marshall McLuhan, dunia ibarat global village. Melalui internet (seperti media sosial) kita bisa terhubung dengan orang banyak di dunia ini seakan satu desa.”
“Internet? Tak usahlah! bikin rusak otak anak muda saja itu,” protes Wak Dul. Dia teringat cucunya yang malas belajar gara-gara asyik main internet di warnet.
“Ambil sisi positifnya, Wak. Mungkin analisis Prof. Nicholas A. Christakis dan Prof. James H. Flower bisa jadi rujukan. Dalam buku mereka Connected disebutkan, ada sifat dan fungsi kekuatan jejaring sosial yang sangat luar biasa, yaitu “hubungan” dan “penularan”.
Berdasarkan cara jejaring sosial alami terstruktur, sebagian besar dari kita terhubung dengan ribuan orang. Bayangkan, di Indonesia ada sekitar 159 juta pengguna internet. Nah, bukankah ini peluang besar untuk mengampanyekan peduli perubahan iklim tersebut.
Pendeknya, lewat media sosial (sebagai jejaring sosial), seperti facebook, twitter dan medsos lainnya, dukungan atau kepedulian masyarakat terhadap perubahan iklim ini bisa lebih diperluas.”
“Mantap!” sambut Wak Aluik, “bicara lingkungan hidup di Era Konseptual ini, kita memang mesti bijak mengawinkan antara kecerdasan ekologis, atau nama lainnya itu, dengan teknologi informasi masa kini secara berjejaring. Menyitir filsuf Martin Heidegger, teknologi adalah mediator antara manusia dan alam. Mirip istilah jejaring ini yang mengingatkan aku pada lezatnya jariang.”
Alahmak, kata-kata Wak Aluik barusan sontak memancing tawa peserta diskusi. Ya, jariang (jengkol) juga cocok dilestarikan sebagai tanaman yang dapat mengurangi dampak perubahan iklim. Akhirul kalam, diskusi ditutup usai Wak Dul minta tolong dibuatkan akun facebook-nya. ***
Penulis, peminat sosial budaya
Oleh: Juhendri Chaniago
“Kemudian, buat mereka yang diberi amanah mengurus negara ini atau yang duduk di kursi parlemen sana, bikinlah kebijakan perubahan iklim. Dulu, kita bahas Protokol Kyoto, sayangnya asal bicara dana, bekoyok juga kepala itu. Lalu REDD+ (plus), tapi yang diaplaus justru plus fulus-nya saja. Biaya merawat lingkungan hidup itu memang mahal, namun paling tidak mulailah dengan transparansi kebijakan dan anggaran yang berfokus pada kelestarian bumi sebagai rumah global kita.”
“Bah! Kalau tak silaf, mungkin ini juga jawaban dari teka-teki dibubarkannya Dewan Nasional Perubahan Iklim dan BP-REDD+ itu ya?” cetus Bang Lokot.
“Sssttt, sabar, Tulang,” sahut Bonar, “mungkin DNPI atau REDD+ tidak relevan lagi untuk saat ini. Atau mungkin kinerjanya belum signifikan dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Atau mungkin masih terjebak dalam liku-liku diplomatis antarnegara, baik dari negara yang rentan terkena dampak perubahan iklim maupun dari negara penyumbang 70 persen sumber petaka tersebut. Dan ada banyak “mungkin” lainnya, termasuk intervensi politis.”
“Jadi, Bere,” ujar Bang Lokot lagi, “apa saja rupanya dampak perubahan iklim ini terhadap bumi kita?”
“Dampak nyatanya tentulah sangat mengganggu sistem pertanian (ketahanan pangan). Efek gas rumah kaca (GRK) dan emisi CO2 menjadikan bumi makin panas. Malah disinyalir akan banyak pulau kecil di Samudera Hindia, Pasifik, dan Atlantik yang tenggelam akibat pemanasan global yang mencairkan gunung es di kutub sana.”
“Dari masa industrialisasi di Eropa, pencemaran lingkungan sebenarnya sudah terjadi, tapi belum menjadi isu hangat. Barulah pada 1972, sejak Rachel Carson menerbitkan Silent Spring (1962), dunia mulai tertarik dengan isu pencemaran lingkungan. Mulailah di PBB ada UNEP, lalu muncullah istilah sustainable development, teknologi added value, IPPC, REDD, dan lainnya. Di Indonesia, berdasarkan PP No. 46/2008, ada DNPI tadi. Hanya saja, persis yang dikatakan Mark Twain, orang-orang bicara cuaca, namun tidak satu pun yang perduli tentang cuaca,” papar Bonar.
“Oleh sebab itu, mengenai media sosial sebagai alat kampanye tadi,” kata Bonar lagi, “bolehlah kita pakai terminologinya Marshall McLuhan, dunia ibarat global village. Melalui internet (seperti media sosial) kita bisa terhubung dengan orang banyak di dunia ini seakan satu desa.”
“Internet? Tak usahlah! bikin rusak otak anak muda saja itu,” protes Wak Dul. Dia teringat cucunya yang malas belajar gara-gara asyik main internet di warnet.
“Ambil sisi positifnya, Wak. Mungkin analisis Prof. Nicholas A. Christakis dan Prof. James H. Flower bisa jadi rujukan. Dalam buku mereka Connected disebutkan, ada sifat dan fungsi kekuatan jejaring sosial yang sangat luar biasa, yaitu “hubungan” dan “penularan”.
Berdasarkan cara jejaring sosial alami terstruktur, sebagian besar dari kita terhubung dengan ribuan orang. Bayangkan, di Indonesia ada sekitar 159 juta pengguna internet. Nah, bukankah ini peluang besar untuk mengampanyekan peduli perubahan iklim tersebut.
Pendeknya, lewat media sosial (sebagai jejaring sosial), seperti facebook, twitter dan medsos lainnya, dukungan atau kepedulian masyarakat terhadap perubahan iklim ini bisa lebih diperluas.”
“Mantap!” sambut Wak Aluik, “bicara lingkungan hidup di Era Konseptual ini, kita memang mesti bijak mengawinkan antara kecerdasan ekologis, atau nama lainnya itu, dengan teknologi informasi masa kini secara berjejaring. Menyitir filsuf Martin Heidegger, teknologi adalah mediator antara manusia dan alam. Mirip istilah jejaring ini yang mengingatkan aku pada lezatnya jariang.”
Alahmak, kata-kata Wak Aluik barusan sontak memancing tawa peserta diskusi. Ya, jariang (jengkol) juga cocok dilestarikan sebagai tanaman yang dapat mengurangi dampak perubahan iklim. Akhirul kalam, diskusi ditutup usai Wak Dul minta tolong dibuatkan akun facebook-nya. ***
Penulis, peminat sosial budaya
Oleh: Juhendri Chaniago