Komoditas kelapa sawit adalah salah satu tumpuan utama perekonomian Kalimantan Barat. Kendati demikian, pengaruh langsungnya terhadap p...
Komoditas
kelapa sawit adalah salah satu tumpuan utama perekonomian Kalimantan
Barat. Kendati demikian, pengaruh langsungnya terhadap pendapatan asli
daerah dari sektor pajak, terutama pajak ekspor jauh panggang dari api.
Moratorium pembukaan lahan baru membuat beberapa investor tertarik
membangun investasi sektor hilir.
PortalHijau - Perkembangan industri hilir sektor kelapa sawit di Kalimantan Barat, bahkan di Indonesia masih berjalan lamban. Data dari Kementerian Perindustrian, dibandingkan dengan Malaysia. Indonesia saat ini baru bisa menghasilkan 47 produk turunan CPO, sedangkan Malaysia sudah mencapai 100 produk turunan. Langkah pemerintah memberlakukan moratorium lahan baru diharapkan mampu menjadi magnet bagi investor untuk membuat pabrik-pabrik baru.
Ketua Kamar Dagang dan Industri Kalimantan Barat, Santyoso Tio mengatakan, pemerintah harus bertindak cepat untuk mendorong percepatan industri hilir di Kalbar, terutama untuk CPO. Industri pengolahan, kata dia, adalah solusi agar nilai komoditas Kalbar menjadi lebih tinggi. Selain itu, pabrik-pabrik manufaktur tersebut juga dapat menyerap tenaga kerja yang lebih banyak. Soal ini, Santyoso sudah berbicara langsung dengan Menko Maritim dan Sumberdaya Rizal Ramli beberapa waktu lalu.
“Kita juga mengingginkan dan itu sebagaimana presiden kita juga bahwa harus ada industri turunan dari CPO. Kita harap di Kalbar dibangun industri turunan atau pabrik dari CPO tersebut. Itu karena banyak wilayah butuh pabrik turunan CPO juga. Kita akan siapkan alasan pentingnya membuat industri turunan di Kalbar,” sebutnya belum lama ini.
Sementara itu, Sekretaris Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Kalbar Zainul Arifin menyebut konsesi sawit sudah terlalu luas di Kalbar, dan tak sebanding dengan hasil yang diterima Pemda dan masyarakat. Dia pun meminta adanya regulasi khusus untuk membatasi ekspor CPO dari Kalbar. Tujuannya untuk menciptakan industri hilir dan turunannya di Kalbar. “Kalau ada industri hilir, maka ekonomi akan hidup. Lapangan pekerjaan akan terbuka lebar,” ucapnya.
Apalagi, kata dia, selama ini ekspor CPO juga tidak dinikmati oleh Kalbar. Pasalnya pengiriman CPO ke luar negeri kerap menggunakan pelabuhan-pelabuhan di luar Kalbar, seperti Tanjung Priok dan Belawan. Akibatnya pajak ekspor CPO tersebut masuk ke kas provinsi yang memiliki pelabuhan itu. Zainul menyebutkan, hilirisasi CPO itu tidak gampang lantaran infrastruktur Kalbar yang masih minim. Tetapi, kata dia hal itu harus diupayakan, seperti yang dipaksakan pemerintah pada komoditas mineral dan batubara.
Ketua Harian Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Kalbar, Idwar Hanis punya saran lain. Dia berharap, sebagian CPO yang biasa dijual ke luar negeri dialihkan ke pasar domestik. Pengendalian ekspor tersebut, kata dia, untuk mengoptimalkan pemakaian dalam negeri terutama dalam rangka kebijakan menggenjot hilirisasi. Hilirisasi diyakini bisa mendongkrak nilai jual CPO di pasar internasional. Pasalnya selama ini ekspor didominasi minyak sawit mentah saja.
Bicara pengolahan CPO saja. Meski berjalan lambat, jumlah pabrik-pabrik CPO yang terintregrasi dengan perkebunan maupun non-kebun sudah membaik ketimbang beberapa tahun belakangan.
Di Indonesia, turunan produk CPO banyak digunakan industri pangan berupa minyak goreng, margarin, shortening, dan vegetable ghee. Turunan produk CPO pada industri oleokimia, antara lain berupa fatty acids, fatty alcohol dan glycerin, dan biodiesel.
Produk yang disebut terakhir, rencananya akan diproduksi massal di Kalimantan Barat. Adalah perusahaan Korea Selatan yang serius untuk membangun pabrik pengolahan biodiesel di provinsi ini. Kepada koran ini, perwakilan Korsel Jeong Woo Yoo mengatakan, saat ini pihaknya tengah menjajaki masalah kemitraan dengan suplier bahan baku dan pembeli biodiesel.
Adapun kapasitas pabrik tersebut mampu menghasilkan 100 ribu ton biodiesel per tahun. Sejauh ini pihaknya tertarik untuk membangunnya di Tayan, Sanggau lantaran lokasinya yang dekat dengan Sungai Kapuas sebagai jalan besar transportasi komoditas di Kalbar. “Hanya saja kita masih menunggu arahan dari pemerintah Indonesia dan Kalbar, bagaimana rencana tata ruang mereka,” kata dia.
Pabrik ini menggunakan teknologi tinggi, yang dapat mengolah minyak asam atau minyak kotor CPO menjadi biodiesel. Teknologi ini berbeda dengan pabrik lainnya yang masih membutuhkan bahan baku berkualitas tinggi dan mahal. Dijelaskan dia, nilai investasi awal Korea dalam proyek tersebut mencapai 40 juta Dolar AS. Investasi tersebut meliputi pembangunan sarana dan prasarana kawasan pabrik , rekrutmen tenaga kerja lokal dan lain-lain.
Kalimantan Barat dipilih lantaran potensi dari limbah sawit yang belum banyak tergarap di provinsi ini. Apabila pabrik ini berhasil, maka pihaknya akan membuat pabrik-pabrik lain di banyak wilayah di Indonesia. “Karena ini hanya pabrik, dan kami mengandalkan mesin, maka kami hanya butuh 2 hektare saja. Maksimal 5 hektare,” pungkasnya. (**)
Penulis: Aristono
PortalHijau - Perkembangan industri hilir sektor kelapa sawit di Kalimantan Barat, bahkan di Indonesia masih berjalan lamban. Data dari Kementerian Perindustrian, dibandingkan dengan Malaysia. Indonesia saat ini baru bisa menghasilkan 47 produk turunan CPO, sedangkan Malaysia sudah mencapai 100 produk turunan. Langkah pemerintah memberlakukan moratorium lahan baru diharapkan mampu menjadi magnet bagi investor untuk membuat pabrik-pabrik baru.
Ketua Kamar Dagang dan Industri Kalimantan Barat, Santyoso Tio mengatakan, pemerintah harus bertindak cepat untuk mendorong percepatan industri hilir di Kalbar, terutama untuk CPO. Industri pengolahan, kata dia, adalah solusi agar nilai komoditas Kalbar menjadi lebih tinggi. Selain itu, pabrik-pabrik manufaktur tersebut juga dapat menyerap tenaga kerja yang lebih banyak. Soal ini, Santyoso sudah berbicara langsung dengan Menko Maritim dan Sumberdaya Rizal Ramli beberapa waktu lalu.
“Kita juga mengingginkan dan itu sebagaimana presiden kita juga bahwa harus ada industri turunan dari CPO. Kita harap di Kalbar dibangun industri turunan atau pabrik dari CPO tersebut. Itu karena banyak wilayah butuh pabrik turunan CPO juga. Kita akan siapkan alasan pentingnya membuat industri turunan di Kalbar,” sebutnya belum lama ini.
Sementara itu, Sekretaris Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Kalbar Zainul Arifin menyebut konsesi sawit sudah terlalu luas di Kalbar, dan tak sebanding dengan hasil yang diterima Pemda dan masyarakat. Dia pun meminta adanya regulasi khusus untuk membatasi ekspor CPO dari Kalbar. Tujuannya untuk menciptakan industri hilir dan turunannya di Kalbar. “Kalau ada industri hilir, maka ekonomi akan hidup. Lapangan pekerjaan akan terbuka lebar,” ucapnya.
Apalagi, kata dia, selama ini ekspor CPO juga tidak dinikmati oleh Kalbar. Pasalnya pengiriman CPO ke luar negeri kerap menggunakan pelabuhan-pelabuhan di luar Kalbar, seperti Tanjung Priok dan Belawan. Akibatnya pajak ekspor CPO tersebut masuk ke kas provinsi yang memiliki pelabuhan itu. Zainul menyebutkan, hilirisasi CPO itu tidak gampang lantaran infrastruktur Kalbar yang masih minim. Tetapi, kata dia hal itu harus diupayakan, seperti yang dipaksakan pemerintah pada komoditas mineral dan batubara.
Ketua Harian Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Kalbar, Idwar Hanis punya saran lain. Dia berharap, sebagian CPO yang biasa dijual ke luar negeri dialihkan ke pasar domestik. Pengendalian ekspor tersebut, kata dia, untuk mengoptimalkan pemakaian dalam negeri terutama dalam rangka kebijakan menggenjot hilirisasi. Hilirisasi diyakini bisa mendongkrak nilai jual CPO di pasar internasional. Pasalnya selama ini ekspor didominasi minyak sawit mentah saja.
Bicara pengolahan CPO saja. Meski berjalan lambat, jumlah pabrik-pabrik CPO yang terintregrasi dengan perkebunan maupun non-kebun sudah membaik ketimbang beberapa tahun belakangan.
Di Indonesia, turunan produk CPO banyak digunakan industri pangan berupa minyak goreng, margarin, shortening, dan vegetable ghee. Turunan produk CPO pada industri oleokimia, antara lain berupa fatty acids, fatty alcohol dan glycerin, dan biodiesel.
Produk yang disebut terakhir, rencananya akan diproduksi massal di Kalimantan Barat. Adalah perusahaan Korea Selatan yang serius untuk membangun pabrik pengolahan biodiesel di provinsi ini. Kepada koran ini, perwakilan Korsel Jeong Woo Yoo mengatakan, saat ini pihaknya tengah menjajaki masalah kemitraan dengan suplier bahan baku dan pembeli biodiesel.
Adapun kapasitas pabrik tersebut mampu menghasilkan 100 ribu ton biodiesel per tahun. Sejauh ini pihaknya tertarik untuk membangunnya di Tayan, Sanggau lantaran lokasinya yang dekat dengan Sungai Kapuas sebagai jalan besar transportasi komoditas di Kalbar. “Hanya saja kita masih menunggu arahan dari pemerintah Indonesia dan Kalbar, bagaimana rencana tata ruang mereka,” kata dia.
Pabrik ini menggunakan teknologi tinggi, yang dapat mengolah minyak asam atau minyak kotor CPO menjadi biodiesel. Teknologi ini berbeda dengan pabrik lainnya yang masih membutuhkan bahan baku berkualitas tinggi dan mahal. Dijelaskan dia, nilai investasi awal Korea dalam proyek tersebut mencapai 40 juta Dolar AS. Investasi tersebut meliputi pembangunan sarana dan prasarana kawasan pabrik , rekrutmen tenaga kerja lokal dan lain-lain.
Kalimantan Barat dipilih lantaran potensi dari limbah sawit yang belum banyak tergarap di provinsi ini. Apabila pabrik ini berhasil, maka pihaknya akan membuat pabrik-pabrik lain di banyak wilayah di Indonesia. “Karena ini hanya pabrik, dan kami mengandalkan mesin, maka kami hanya butuh 2 hektare saja. Maksimal 5 hektare,” pungkasnya. (**)
Penulis: Aristono