Sudah 10 tahun lumpur Lapindo menyembur di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Kepulan asap putih yang membubung di udara menandakan semburan ...
Sudah 10 tahun lumpur Lapindo menyembur di Kabupaten Sidoarjo, Jawa
Timur. Kepulan asap putih yang membubung di udara menandakan semburan
masih aktif. Tak ada yang tahu kapan berhenti, tetapi miliaran meter
kubik lumpur yang dikeluarkan telah membuat banyak perubahan dan
mencerminkan sikap masyarakat, negara, dan Lapindo terhadap bencana.
Harwati (40) duduk di dalam gubuk di atas tanggul kolam lumpur
Lapindo titik 21 Desa Siring, Kecamatan Porong, Kamis (26/5/2016).
Seraya menunggu pengunjung, korban lumpur yang bekerja sebagai tukang
ojek sepeda motor di kawasan semburan itu menyantap sebungkus nasi
berlauk mujair asap.
Asap lumpur Lapindo yang berbau menyengat dan tidak sedap tak
mengendurkan selera bersantap Harwati. Berbagi dengan Sudarwati (35),
sesama tukang ojek, dia melalap makanannya hingga tandas. Mujair asap
khas Desa Penatarsewu, tetangga Desa Siring itu, memang terkenal gurih.
"Hari ini sepi pengunjung. Ojekan juga sedikit sehingga tak semua
tukang ojek dapat giliran. Saya sudah dua hari belum dapat uang. Nasi
bungkus ini traktiran teman," ucap janda dua anak itu.
Selain sebagai korban lumpur, Harwati juga dikenal sebagai calo ganti
rugi di desanya.
Tugasnya menekan korban lain agar mau melepas tanah
dan rumahnya dengan harga terendah. Biasanya korban ditakuti dengan
tidak akan dibayar kalau tidak nurut.
Calo-calo seperti Harwati bergerilya dari lingkungan rumah tangga,
RW, desa, kecamatan, kabupaten, hingga pemerintah pusat. Mereka tega
memanfaatkan derita tetangga, orangtua, dan saudara demi memperkaya
diri. "Waktu itu calo-calo diperlakukan istimewa oleh Lapindo," kata
Harwati.
Keistimewaan lain, pembayaran ganti rugi aset para calo ini langsung
dilunasi. Perlakuan itulah yang menggoda Harwati. Dia pun akhirnya
berhenti jadi calo setelah rumah orangtuanya dilunasi dan mereka bisa
membeli tanah di Desa Candi Pari, Porong.
"Lebih baik kerja ngojek, uangnya berkah dimakan anak saya,
meski hasilnya pas-pasan, paling banyak Rp 1,2 juta per bulan," ujar
perempuan yang akhirnya memilih berjuang bersama korban lumpur tersebut.
Bencana selalu mengakibatkan perubahan sosial di masyarakat. Namun,
bencana akibat lupa memasang casing atau selubung bor saat mengebor di
sumur Banjar Panji 1 milik Lapindo Brantas Inc itu menyebabkan perubahan
sosial yang luar biasa.
Krisis identitas
Semburan Lumpur Lapindo 29 Mei 2006 volume 100.000-150.000 meter kubik per hari atau 12.500 truk tangki per hari.
Data BPLS volume sekarang 30.000–50.000 meter kubik per hari. Pusat
semburan 150-200 meter dari sumur pengeboran BJP 1, Kecamatan Porong.
Total korban lumpur di dalam peta (yang rumahnya sudah terkubur) dan
di luar peta (yang belum terkubur) sebanyak 90.000 jiwa. Mereka berasal
dari 19 desa terdampak yang ada di Kecamatan Tanggulangin, Kecamatan
Jabon, dan Kecamatan Porong. Puluhan ribu jiwa itu mengalami krisis
identitas kependudukan sebab mereka hanya memegang KTP lama yang mandul
untuk mengakses pelayanan sosial, kesehatan, dan pendidikan.
Solikah (38), warga Desa Siring, yang kini tinggal di Desa Candi
Pari, ditolak saat berobat di Puskesmas Porong karena desanya sudah
hilang. Petugas puskesmas bilang, pasien akan dilayani setelah punya
identitas baru.
"Pindah kependudukan itu tidak mudah dan tidak murah. Korban lumpur
baru terima pelunasan ganti rugi akhir 2015, bahkan masih ada yang belum
terima sampai sekarang. Untuk mengurus pencairan, masih butuh
surat-surat lama," tuturnya.
Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengakui sengkarutnya data
kependudukan korban lumpur di Sidoarjo. Persoalan inilah yang
menyebabkan korban lumpur tak bisa mengakses jaminan sosial, seperti
Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar, dan Program Keluarga
Harapan.
"Bagaimana Kementerian Sosial bisa menyalurkan bantuan kepada mereka
kalau Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sidoarjo tak pernah mengusulkan,"
ujarnya.
Selain hak sosial, hak politik dan hak ekonomi juga diberangus. Saat
pilkada tahun 2015, korban lumpur tak ikut mencoblos karena desanya
sudah hilang. Pelaku usaha mikro juga tidak bisa mendapatkan pinjaman
modal usaha karena identitas dan tempat tinggal berbeda. Apalagi banyak
yang masih kontrak.
Wisata
Bupati Sidoarjo Saiful Ilah mengatakan, keberadaan korban lumpur
tercerai-berai setelah kehilangan tempat tinggal. Dengan alasan sulit
melacak keberadaan mereka, pemkab pun enggan mengurus. Mereka dianggap
sebagai obyek jual beli tanah yang menerima ganti untung.
"Ke depan, semburan lumpur akan saya jadikan obyek wisata. Sekarang
saja pengunjungnya sudah banyak. Saya yakin lumpur itu akan jadi berkah
bagi Sidoarjo. Hanya sekarang belum tahu caranya," kata bupati dari Partai Kebangkitan Bangsa yang menjabat dua periode itu.
Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), sebagai kepanjangan
tangan pemerintah pusat, juga bersikap sama. Mereka sekarang giat
mengusir warga di 13 desa di luar peta terdampak, dengan alasan tanah
sudah dibeli pemerintah. Nilai beli 10 tahun lalu dan sekarang sama.
"Bukannya tak mau pindah, tapi kehidupan kami di sini. Toko ini napas
ekonomi keluarga. Sementara uang penggantinya tak cukup buat membeli
tanah dan membangun rumah. Per meter persegi tanah dan bangunan dihargai
Rp 1,5 juta, sedangkan harga pasar Rp 3 juta-Rp 4 juta per meter
persegi," ujar Samsul, warga Porong.
Amien Widodo, anggota Pusat Studi Kebumian, Bencana, dan Perubahan
Iklim pada Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, yang juga
mantan Ketua Tim Kajian Teknis dan Sosial Lumpur Lapindo, mengatakan,
harus dilakukan evaluasi dari segala sisi terkait dengan 10 tahun
semburan lumpur Lapindo. Dari segi teknis, misalnya, penanganan semburan
dilakukan dengan mengalirkan luberan lumpur di darat ke Sungai Porong
dan Selat Madura.
"Dampaknya pasti banyak dan kerusakan ekosistem jelas terjadi. Di
darat, tidak ada satu rumput pun yang tumbuh di atas lumpur yang memadat
selama 10 tahun," ucap Amien.
Dari segi geologis, terdapat penurunan permukaan tanah di sekitar
pusat semburan. Itu tampak jika membandingkan tinggi permukaan tanggul
titik 21 Desa Siring dengan tinggi kubah masjid di seberang jalan. Dulu
tanggul berada di atas kubah, sekarang tanggul sejajar dengan genteng
masjid.
Dari segi sosial, negara harus memulihkan hak-hak sosial masyarakat.
Menempatkan warga korban dan masyarakat sekitar sebagai subyek bencana,
dan bukan obyek. Negara harus memberdayakan mereka supaya kelak mampu
mengenali ancaman di sekitarnya dan tangguh menghadapi bencana.
Penolakan keras warga terhadap rencana pengeboran sumur baru Lapindo
di Desa Kedungbendo, Tanggulangin, pada Februari 2016 adalah cermin
ketidakpekaan negara, terutama Pemkab Sidoarjo, terhadap permasalahan
sosial warganya. Trauma semburan lumpur 10 tahun silam yang dialami
warga dianggap selesai dengan bagi-bagi bahan pokok.
Amien menyayangkan sikap pemerintah yang tak menganggap semburan
lumpur sebagai bencana karena berarti mengabaikan pentingnya mitigasi.
Terlepas bencana alam atau industri, mitigasi penting untuk mencegah
korban jiwa dan material serta merumuskan kebijakan yang akan
menyelamatkan masa depan bangsa.
Sebagai gambaran, pakar statistik ITS, Krenayana Yahya, menghitung,
sampai tahun lalu kerugian ekonomi semburan lumpur telah menembus angka
Rp 60 triliun. Nilai itu setara dengan 46 tahun pendapatan asli daerah
Kabupaten Sidoarjo sebesar Rp 1,3 triliun pada 2015. Laksono Hari Wiwoho