PortalHijau - Persoalan perubahan iklim selalu menjadi masalah global yang sulit dipecahkan. Padahal, perubahan iklim akibat pemanasan g...
PortalHijau - Persoalan perubahan iklim selalu menjadi masalah global yang sulit
dipecahkan. Padahal, perubahan iklim akibat pemanasan global terjadi
karena banyaknya aktivitas kecil yang disumbang setiap individu. Salah
satu tanda perubahan iklim adalah meningkatnya suhu global yang
disebabkan tingginya emisi gas rumah kaca (GRK).
Untuk
menumbuhkan kesadaran tentang perubahan iklim yang semakin
mengkawatirkan, Institut Pertanian Bogor (IPB) bekerja sama dengan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), serta Kementerian
Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) melaksanakan
lokakarya nasional dengan dengan tema 'Pengarusutamaan Isu Perubahan
Iklim ke Dalam Pengembangan Pendidikan Tinggi dan Kebijakan Riset
Nasional' di Bogor, belum lama ini.
Acara itu juga didukung
Universitas Gajah Mada (UGM), Universitas Indonesia (UI), Institut
Teknlogi Bandung (ITB), Perhimpunan Meteorologi Pertanian Indonesia
(Perhimpi), serta Asosiasi Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia
(Apiki).
Rektor IPB Herry Suhardiyanto menyatakan, perubahan
iklim diyakini sebagai akibat dari tingginya emisi GRK yang dilepas ke
atmosfer dari berbagai aktivitas manusia. Menurut dia, pada Juni 2013,
untuk pertama kalinya selama periode 800 ribu tahun, konsentrasi
karbondioksida di atmosfer melewati 400 bagian per juta (ppm).
Dia menyatakan, upaya yang dilakukan masyarakat beberapa dekade ke
depan, akan memberikan dampak besar terhadap sistem iklim beberapa abad
mendatang. "Untuk menghindari dampak buruk dari perubahan iklim, emisi
GRK harus segera diturunkan. Karena, umur hidup GRK seperti
karbondioksida di atmsofer sangat lama," kata Herry.
Dalam
pertemuan Konvensi Perubahan Iklim pada 12 Desember 2015, telah
dihasilkan Kesepakatan Paris (Paris Agreement). Setelah pertemuan
tersebut, Herry menjelaskan, semua pihak sepakat untuk melakukan upaya
bersama sebagai target global, yaitu mempertahankan kenaikan suhu global
tidak melebihi 1,5 hingga 2,0 derajat Celcius.
Sebagai
akademisi, Herry juga menyatakan IPB berkomitmen untuk mengawal berbagai
kebijakan dan keputusan pemerintah terhadap pengendalian perubahan
iklim. Hal itu sesuai dengan pernyataan Presiden Joko Widodo dalam
pertemuan tersebut, bahwa Indonesia berupaya terus berkomitmen untuk
berkontribusi dalam aksi global menurunkan emisi.
"Tentunya
pengendalian perubahan iklim ini melalui kajian dan penelitian yang
berbasis scientific sehingga hasilnya benar-benar dapat
diimplementasikan dan dipertanggungjawabkan oleh setiap lapisan
masyarakat," jelas Herry.
Dia menilai, dukungan sains dan
teknologi sangat diperlukan. Tak hanya itu, ketersediaan alat atau
metode untuk membantu mengembangkan sistem pembangunan rendah emisi dan
tangguh iklim juga dibutuhkan. "Karena itu, sistem pendidikan tinggi dan
kebijakan riset yang dikembangan ke depan, mau tidak mau harus
memasukkan isu perubahan iklim," ucap Herry.
Utusan Khusus
Presiden untuk Pengendalian Perubahan Iklim Rachmat Witoelar menyatakan,
pemerintah memiliki target jangka panjang untuk bisa menurunkan
kenaikan emisi GRK. "Terutama emisi gas rumah kaca akibat dari
pelaksanaan pembangunan harus dapat terus diturunkan," katanya.
Menurut dia, kondisi persoalan perubahan iklim yang merenggut bumi
bukan persoalan besar yang tidak bisa dipecahkan oleh setiap lapisan
masyarakat. Dia menjelaskan, upaya yang dilakukan setiap lima tahun oleh
setiap lapisan masyarakat akan dievaluasi pencapaiannya.
"Sehingga pada pertengahan abad 21 nanti telah tercapai keseimbangan
antara emisi dan serapan GRK, tingkat emisi sudah mendekati nol
harapannya," ungkap Rachmat.
Dia mencontohkan, kehidupan
sehari-hari hingga efek rumah kaca di sepanjang Jalan Sudirman, Jakarta
juga sangat memengaruhi perubahan iklim. Dalam mengontrol dan mengurangi
perubahan iklim, kata Rachmat, syaratnya membutuhkan dukungan dari
akademisi serta riset teknologi.
"Mulai dari tingkat akademis
yang bisa diharapkan menularkan kepada masyarakat sehingga jangkauan
secara global yang terkesan sulit, maka setiap lapisan masyarakat bisa
mendukung dengan aksi nyata dalam mengurangi pemanasan global."
Setelah Kesepakatan Paris dan komitmen Indonesia bisa menurunkan emisi
gas rumah kaca, riset dan pendidikan tinggi bisa mendukung implementasi
kebijakan perubahan iklim. Tak hanya itu, langkah-langkah
pengarusutamaan isu perubahan iklim ke dalam pengembangan pendidikan
tinggi dan kebijakan riset nasional juga perlu diterapkan.
Rachmat menjelaskan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)
juga sudah mengeluarkan Rencana Aksi Nasional (RAN) untuk mengurangi GRK
yang menyebabkan perubahan iklim. "RAN untuk mitigasi dan adaptasi
perubahan iklim sebagai acuan dan arahan bagi semua pihak baik
kementerian atau lembaga dan pemerintah daerah," katanya. Rahayu
Subekti, ed: Erik Purnama Putra