Ruang Terbuka Hijau - Undang Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang mewajibkan adanya ruang terbuka hijau (RTH) pada wil...
Ruang Terbuka Hijau - Undang Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang
mewajibkan adanya ruang terbuka hijau (RTH) pada wilayah kota paling
sedikit 30% dari keseluruhan luas wilayah, tetapi banyak pemerintah
daerah yang salah mengartikannya.
Ketua Ikatan
Arsitek Indonesia Steve J. Manahampi mengatakan pemerintah perlu
mengkaji ulang aturan peraturan tersebut. Ada dua hal yang membuat UU
berjalan tidak sesuai dengan esensinya.
Pertama,
selama ini pemerintah terlalu banyak mengandalkan lahan privat yang
berakibat tidak bisa dikendalikan peruntukannya. Kedua, RTH harus
dilihat secara kualitas bukan kuantitas maupun data angka.
"Pemerintah
tidak dapat sepenuhnya mengawasi pengembang yang sudah memiliki izin
pengembangan lahan, kalau privatkan porsinya cuman 20% bisa saja hari
ini dibangun taman tapi tahun depan hunian," katanya di Jakarta, Selasa
(1/3).
Selain itu RTH, juga harus didukung regulasi
sarana transportasi. Kewajiban penyediaan lahan parkir yang terjadi di
Jakarta, kata Steve tidak sejalan dengan kampanye pemerintah dalam
pembangunan RTH dan pengurangan kemacetan.
"Seharusnya buat saja insentif untuk pengembang yang mau membangun gedung tanpa menyediakan lahan parkir," katanya.
Pengamat
Pembangunan Kota Syahrial Loetan juga pernah mengatakan
regulasi-regulasi untuk pembangunan kota banyak yang perlu dibenahi.
Menurutnya, kota cerdas layak huni selaras dengan ruang hijau yang
alami.
Sementara itu, berdasarkan data yang dihimpun
Dirjen Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
(PUPR), sekitar 68% penduduk dunia pada 2025 akan tinggal di perkotaan.
Namun, kapasitas kota dari segi sumber daya manusia, infrastruktur, dan
fasilitas sosial masih sangat terbatas.
Ditjen Cipta
Karya Kementerian PUPR juga sudah mencanangkan program 100-0-100 dalam
RPJMN 2015 – 2019 Kementerian PUPR. Artinya, pemerintah akan menyediakan
fasilitas air minum layak 100%, penuntasan kawasan kumuh sampai 0%, dan
memberikan sarana akses sanitasi yang ideal 100%.
Upaya
penanganan kawasan kumuh perkotaan di Indonesia menyisakan luasan 12%
atau sekitar 38.431 ha dengan kebutuhan dana berkisar Rp750 triliun.
Ditjen Cipta Karya hanya memiliki alokasi Rp128 triliun untuk program
lima tahun tersebut. Sumber pembiayaan potensial lain yang bisa
digunakan berasal dari APBD, dana hibah, dan program corporate social
responsibility (CSR) perusahaan. Ipak Ayu H Nurcaya