Opini - Konflik sosial yang semakin mengeras dalam dua dekade terakhir dalam perebutan ruang dan hak kepemilikan atas tanah dan sumber...
Opini - Konflik
sosial yang semakin mengeras dalam dua dekade terakhir dalam perebutan
ruang dan hak kepemilikan atas tanah dan sumber daya alam.
Komite
Pembaruan Agraria mencatat, konflik agraria pada 2013-2015 meningkat
27,9 persen. Konflik sosial yang bersifat horizontal sesama rakyat, dan
konflik yang bersifat vertikal antara rakyat dengan aparat, antara
rakyat dengan pihak swasta, atau antara swasta dengan pemerintah yang
kerap disertai korban harta dan jiwa.
Menurunnya daya lingkungan
adalah akibat pola pembangunan yang lebih mengedepankan aspek ekonomi
yang difokuskan untuk peningkatan pertumbuhan ekonomi, namun abai dalam
menunaikan keadilan sosial dan pelestarian lingkungan. Ide dan konsep
pembangunan berkelanjutan (sustainable development) atau ekonomi hijau
(green economy) yang telah digaungkan pemerintah, para peneliti serta
akademisi hanya dijadikan lipstik dan pemanis belaka, namun nihil dalam
tindakan.
Di Riau, nyaris kita tidak dapat menemukan lagi sungai
yang terbebas dari kerusakan. Tidak dijumpai lagi sungai-sungai utama di
Riau (Sungai Indragiri, Rokan, Kampar, dan Siak) yang aman untuk
dikonsumsi, bahkan untuk mandi dan keperluan rumah tangga lainnya sudah
banyak ditinggalkan warga masyarakat. Sungai semakin keruh, kotor,
dipenuhi sampah, limbah industri, genangan minyak, dan beberapa di
antaranya mengalami pendangkalan yang diakibatkan aktivitas penambangan
di hulu sungai, di kiri kanan sungai bahkan penambangan di badan
sungai, seperti aktivitas penambangan emas tanpa izin (PETI) di
Kabupaten Kuantan Singingi.
Pencemaran sungai juga diakibatkan
limbah industri yang kemudian mengalir atau dialirkan ke sungai, seperti
limbah pabrik kelapa sawit (PKS), limbah industri karet, limbah
industri pulp and paper, limbah rumah tangga dan aktivitas perkotaan
lainnya.
Sungai semakin tereksploitasi dan tersiksa, demi untuk mengejar fulus dan keperluan syahawat ekonomi jangka pendek.
Begitu
juga hutan yang semakin meranggas dan menghilang akibat penggundulan
hutan (deforestisasi) untuk perkebunan, pertambangan, permukiman dan
aktivitas kehutanan lainnya. Dengan semakin menyusut dan punahnya hutan,
daya dukung lingkungan ikut tergerus.
Dengan semakin menurunya
daya dukung lingkungan, maka berbagai bencana lingkungan semakin kerap
terjadi dengan tingkat kerusakan dan dampak negatif yang semakin
menyengsarakan terhadap terhadap ekosistem dan kehidupan di jagad raya.
Keserakahan Ekonomi
Diakui
bahwa sebagan besar penurunan daya dukung lingkungan, adalah akibat
perbuatan dan tindakan keserakahan manusia di dalam pemanfaatan
lingkungan dan sumberdaya alam (SDA) , baik yang dilakukan oleh oknum
masyarakat, oknum pejabat, oknum elite politik, atau pihak swasta yang
secara membabi buta membabat hutan dan sumberdaya alam lainnya seenak
perut tanpa memperhatikan dampak negatif jangka panjang.
Untuk
itu, sebelum jauh terlambat, perlu usaha yang sungguh-sungguh untuk
menyelamatkan ekosistem dan sumber daya alam yang melimpah ruah yang
dianugerahkan Tuhan di bumi pertiwi tercinta ini, khususnya di Bumi
Lancang Kuning. Jika tidak, maka krisis ekologi yang sudah berada di
depan mata akan segera menyebarkan virus kerusakan ke saentero negeri
dan anak negeri. Semoga ini terhindar dari negeri kita.
Tanda-tandanya
sudah jelas. Banjir yang semakin kerap terjadi dengan dampak kerusakan
yang semakin meluas. Kekeringan yang menghanguskan tanaman dan kebakaran
hutan. Longsor yang semakin kerap diberitakan.
Berapa kerugian
material akibat banjir misalnya? Kerusakan infrastruktur (jalan,
jembatan, fasilitas sosial dan pendidikan) dan properti lainnya.
Kerugian pertanian akibat kekeringan di musim kemarau yang semakin
ekstrem.
Kita dapat pelajaran pahit dan memilukan dari bencana
asap yang mengepung negeri ini beberapa waktu lalu, yang kemudian
diproklamirkan sebagai bencana nasional. Dampaknya begitu dahsyat, semua
orang di negeri ini merasa terganggu dan tersiksa. Duniapun ikut risau.
Beberapa
tahun lepas saya menyebutnya dengan defisit ekologi, namun kini sudah
defisit kuadrat bahkan pangkat tiga, alias sudah memasuki masa krisis
ekologi.
Krisis ekologi juga dapat berdampak lebih luas dan efek
domino berantai yang menyertainya seperti krisis ekonomi, krisis
sosial, bahkan mungkin krisis politik. Mungkin saya terlalu lebay. Tapi
fakta sudah memperlihatkannya, seperti yang telah diuraikan di atas.
Krisis ekologi berupa menurunnnya daya dukung lingkungan dan sumberdaya
alam, telah menimbulkan kerugian ekonomi, konflik sosial dan kemiskinan
yang memilukan dan menggetirkan, serta mungkin juga krisis politik.
Bukannkah lengsernya Ketua DPR, Setya Novanto dan kegaduhan politik di
Senayan beberapa waktu lalu adalah akibat gonjang-ganjing pembagian
saham PT Freeport —perusahaan pertambangan emas terbesar di Indoensia—
yang dikenal publik dengan sindiran ”Papa Minta Saham”.***
Apriyan D Rakhmat Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik UIR