PortalHijau.Com - Analisis Bukitbarisan Sumatran Tiger Rangers (BSTR), memperlihatkan kerusakan hutan di Sumatera Utara, makin menyulitk...
PortalHijau.Com - Analisis Bukitbarisan Sumatran Tiger Rangers (BSTR), memperlihatkan
kerusakan hutan di Sumatera Utara, makin menyulitkan hidup sejumlah
satwa langka. Hutan berubah menjadi perkebunan, paling banyak sawit.
Pantauan mereka, antara lain di hutan Labuhan Batu Utara, dan Padang
Lawas Utara.
Kerusakan hutan di lokasi ini karena hutan lindung menjadi alokasi
penggunaan lain (APL). Hutan rusak ini, masuk hak guna usaha sejumlah
perusahaan perkebunan, tertinggi karena perkebunan sawit. Wilayah dengan
kemiringan tertentu juga rusak parah, dan menjadi perkebunan sawit
maupun karet. Terbesar, di Labuhan Batu dan Labuhan Batu Utara, dengan
pemegang HGU lebih 10 perusahaan. Kawasan ini, habitat harimau Sumatera.
Harray Sam Munthe, Pendiri BSTR menjelaskan, keterancaman satwa, selain habitat rusak karena alih fungsi lahan juga perburuan dan di pasaran gelap.
Dari pantauan dengan kamera pengintai, sejak Januari-akhir September
2015, di hutan rusak ditemukan satwa langka dan dilindungi, seperti 12
harimau Sumatera remaja. Satwa ini berada di luar Taman Nasional Gunung
Leuser (TNGL). Ada juga kucing emas, burung kuwaw, agra, dan tapir.
Tapir, katanya, memang tak bernilai komersial tetapi terancam punah.
Penyebabnya, tapir dianggap hama yang merusak tanaman, memakan bibit
tumbuhan, dan merusak kebun hingga diburu dan ditembak mati.
Mereka memberikan edukasi kepada masyarakat soal tapir. Setelah
beberapa kali pertemuan, ada sejumlah pemahaman hingga kini, warga
menyediakan kawat berduri di kebun dan tanaman. Cara ini, katanya,
diharapkan mampu menekan penurunan tapir.
Dia mendesak, harus ada perhatian pemerintah. “Jangan hanya konsep.
Perlindungan dan penindakan wajib. Kalau tak, berbahaya bagi kehidupan
satwa.”
Noviar Andayani, Country Director Wildlife Conservation
Society-Indonesia, mengatakan, selain kampanye perlindungan hutan tak
kalah penting perlindungan makhluk hidup serta satwa.
Dalam perlindungan satwa ini, hal pokok harus dikritisi soal hukuman
rendah hingga tak maksimal. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990, lemah
dalam memberikan perlindungan keragaman hayati di Indonesia.
“Kami mendukung pemerintah merevisi UU ini. Salah satu pasal paling
kritis perlu diubah hukuman maksimun menjadi hukuman minimum.”
Konsistensi penegak hukum juga penting guna memproses hukum pelaku
kejahatan satwa. “Penyebar luasan hukuman berefek jera harus disampaikan
pada masyarakat.
Dari analisis mereka, pelaku terjaring hukum, banyak orang lapangan,
secara ekonomi lemah dan tak mempunyai kesempatan luas mendapatkan
pendapatan. Lembaga ini menyarankan, pemerintah harus memberikan
penyadaran pada masyarakat sekitar kawasan hutan. Juga menciptakan
lapangan kerja atau aktivitas ekonomi yang tak berdampak bagi satwa.