Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), AMAN Sumatera Utara, AMAN Tanoh Batak, HaRI, KSPPM, Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkung...
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), AMAN Sumatera Utara, AMAN Tanoh Batak, HaRI, KSPPM, Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Wilayah Sumatera menyelenggarakan seminar nasional bertema 'Implikasi dan Pembelajaran Penetapan Hutan Adat di Indonesia' di Medan.
PortalHijau - Saurlin Siagian dari HaRI menyatakan, dikeluarkannya 8 wilayah masyarakat adat sebagai hutan adat dan 1 wilayah sebagai hutan adat dari konsesi TPL tanggal 30 Desember 2016, merupakan terobosan administrasi baru yang dilakukan oleh Pemerintahan Jokowi.
"Tentu saja hal ini memberikan energi baru bagi masyarakat adat maupun pegiat yang mendukung gerakan sosial masyarakat adat setelah berjuang puluhan tahun," kata Saurlin, dalam rilisnya, Jumat (17/2).
Sementara Harun Noeh sari AMAN Sumut menyatakan, hal penting pasca dikeluarkannya kebijakan tersebut berada di level pemerintah untuk segera melakukan administrasi, mengakselerasi dan membuat percepatan dalam mendorong penetapan hutan adat di Indonesia dalam skala lebih luas.
"Level kedua berada di komunitas terkait merapikan tata distribusi dan tata konsumsi komunitas, setelah tata kuasa diakui oleh pemerintah. Penting agar menemu kenali serta memprediksi implikasi sosiologis, ekonomi maupun ekologis yang sangat mungkin akan terjadi di masa depan dari proses pengakuan masyarakat adat di Indonesia. Untuk itu, seminar ini menjadi penting sebagai kolaborasi elemen sipil melibatkan pemerintah, masyarakat adat dan media akan berdiskusi bersama terkait implikasi keluarnya hutan adat di Indonesia, khususnya di Sumatera Utara," ujar Harun.
Hal senada disampaikan Ketua PW AMAN Sulawesi Selatan, Sardi Razak. Menurutnya, pengakuan hutan masyarakat adat Kajang Kabupaten Bulukumba membuat keberadaan masyarakat adat lebih nyaman dan lebih berdaulat.
Sementara Ketua PW AMAN Tanoh Batak, Roganda Simanjuntak menjelaskan, SK enclave wilayah adat Pandumaan Sipituhuta dari konsesi PT. TPL sudah keluar. Namun 500 Ha yang masih ditanami ecalyptus oleh PT TPL masih menjadi ancaman.
"Pengaduan oleh masyarakat membuat masyarakat lebih berdaulat, sejak adanya SK enclave, pihak-pihak yang lain yang berupaya melakukan perusakan terhadap wilayah adatnya. Saat ini kita masih mendorong Pemda Humbahas untuk mengeluarkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di Humbahas," imbaunya.
Ranto Sibarani, Staf Ahli Komisi A DPRD Sumut menyampaikan bahwa atas desakan dari masyarakat adat dan pegiat masyarakat adat, Ranperda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Sumatera Utara sudah masuk ke Prolegda 2017.
"Ini adalah terobosan baru. DPRD sudah mulai berperan sebagai salah satu aktor pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. Dukungan masyarakat sipil dalam mendorong dan mendesakkan agar Ranperda tersebut menjadi Perda sangat penting untuk dilakukan," papar Ranto.
Penulis: Harian Analisa
PortalHijau - Saurlin Siagian dari HaRI menyatakan, dikeluarkannya 8 wilayah masyarakat adat sebagai hutan adat dan 1 wilayah sebagai hutan adat dari konsesi TPL tanggal 30 Desember 2016, merupakan terobosan administrasi baru yang dilakukan oleh Pemerintahan Jokowi.
"Tentu saja hal ini memberikan energi baru bagi masyarakat adat maupun pegiat yang mendukung gerakan sosial masyarakat adat setelah berjuang puluhan tahun," kata Saurlin, dalam rilisnya, Jumat (17/2).
Sementara Harun Noeh sari AMAN Sumut menyatakan, hal penting pasca dikeluarkannya kebijakan tersebut berada di level pemerintah untuk segera melakukan administrasi, mengakselerasi dan membuat percepatan dalam mendorong penetapan hutan adat di Indonesia dalam skala lebih luas.
"Level kedua berada di komunitas terkait merapikan tata distribusi dan tata konsumsi komunitas, setelah tata kuasa diakui oleh pemerintah. Penting agar menemu kenali serta memprediksi implikasi sosiologis, ekonomi maupun ekologis yang sangat mungkin akan terjadi di masa depan dari proses pengakuan masyarakat adat di Indonesia. Untuk itu, seminar ini menjadi penting sebagai kolaborasi elemen sipil melibatkan pemerintah, masyarakat adat dan media akan berdiskusi bersama terkait implikasi keluarnya hutan adat di Indonesia, khususnya di Sumatera Utara," ujar Harun.
Hal senada disampaikan Ketua PW AMAN Sulawesi Selatan, Sardi Razak. Menurutnya, pengakuan hutan masyarakat adat Kajang Kabupaten Bulukumba membuat keberadaan masyarakat adat lebih nyaman dan lebih berdaulat.
Sementara Ketua PW AMAN Tanoh Batak, Roganda Simanjuntak menjelaskan, SK enclave wilayah adat Pandumaan Sipituhuta dari konsesi PT. TPL sudah keluar. Namun 500 Ha yang masih ditanami ecalyptus oleh PT TPL masih menjadi ancaman.
"Pengaduan oleh masyarakat membuat masyarakat lebih berdaulat, sejak adanya SK enclave, pihak-pihak yang lain yang berupaya melakukan perusakan terhadap wilayah adatnya. Saat ini kita masih mendorong Pemda Humbahas untuk mengeluarkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di Humbahas," imbaunya.
Ranto Sibarani, Staf Ahli Komisi A DPRD Sumut menyampaikan bahwa atas desakan dari masyarakat adat dan pegiat masyarakat adat, Ranperda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Sumatera Utara sudah masuk ke Prolegda 2017.
"Ini adalah terobosan baru. DPRD sudah mulai berperan sebagai salah satu aktor pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. Dukungan masyarakat sipil dalam mendorong dan mendesakkan agar Ranperda tersebut menjadi Perda sangat penting untuk dilakukan," papar Ranto.
Penulis: Harian Analisa