Oleh : Yos Hasrul* Saat perkebunan dan tambang menyerbu . Bentang hutan alam di negeri-negeri ini sebagian besar telah hilang. Cob...
Oleh : Yos Hasrul*
Saat perkebunan dan tambang menyerbu . Bentang hutan alam di
negeri-negeri ini sebagian besar telah hilang. Coba lihat, gunung-gunung
telah gundul. Pohon-pohon tercerabut dari tanah. Tanah desa berubah
jadi kubangan raksasa. Jalan raya sebagian besar rusak parah. Kata
kesejahteraan masih sangat jauh dari rakyat.
Nasib rakyat tetap sama, meski investor berlomba-lomba mengkavling tanah. Tak ada perubahan.
Dua hari lalu, saya sempat mampir di bumi konawe utara. Menjejal
jalan-jalan di ujung desa. Melewati rumah-rumah yang berdebu dan jauh
dari sebutan sejahtera. Sepanjang mata memandang hanya terlihat pohon
sawit berjejal hingga ke puncak bukit. Seluruh hutan alam telah berganti
pohon sawit. Di belakang desa, gunung-gunung mulai bolong-bolong.
Saya mampir di salah satu perkampungan eksodus ambon di Desa Tobi
Meita. Nama desa Tobi Meita dalam bahasa setempat berarti gunung tinggi.
Nama ini diambil karena di belakang desa gugus pengunung menjulang
berderet dengan pepohonan yang rapat.
Di desa itu Saya bertemu seorang kawan, yang juga tokoh pemuda di
sana. Ia kemudian mengantar berkeliling kampung memperlihatkan kondisi
terkini di desanya. Kami melewati jalan tanah padat berwarna kemerahan.
Jalan desa ini beralih menjadi jalan produksi tambang, dimana
mobil-mobil raksasa lalulalang mengangkut ore nikel menuju pelabuhan di
ujung desa.
Dari kejauhan koloni pohon di puncak gunung mengecil merapat di
sebelah utara desa. Tersisa itu saja. Sebagian hutan telah beralih
fungsi. Di bawah gunung puluhan alat berat ‘mengamuk’, meraung-raung
menggali perut gunung, mengambil material tanah ore (nikel)-nya.
Keliatannya, sebentar lagi, ‘kaki langit’ desa tobi meita itu akan
rontok.
Tak hanya gunung diterabas. Sebagian besar tanah datar di desa telah
digali dan berubah menjadi kubangan raksasa. Warga hanya bisa meratap
dan menatap nanar. Warga setempat sempat marah besar pada perusahaan
yang hanya datang mengambil tanah, kemudian pergi meninggalkan kubangan
danau sedalam lima belas meter. Meninggalkan rasa takut bagi warga. Saya
membayangkan warga desa akan kehilangan anak-anak mereka dikubangan
itu. Warga telah pula berkali-kali menagih janji perusahaan mereklamasi
ulang kubangan itu, tapi hingga kini belum direalisasi.
Di Kendari, tak ada lagi yang mendiskusikan nasib lingkungan dan
rakyat di pelosok sana. Gerakan pro lingkungan kian tumpul. Tak seperti
dua atau tiga tahun lalu, selalu ada rasa prihatin, selalu ada amarah
setiap kali berdiskusi di kantor dan di hotel-hotel mewah. Prihatin
benar-benar prihatin.
*Penulis adalah jurnalis lingkungan dan juga Koordinator Greenpress Kendari.