Problem terberat dan masif dalam tata kelola kawasan hutan (negara) hingga saat ini adalah persoalan open access dan konflik tenurial. U...
Problem terberat dan masif dalam tata kelola kawasan hutan (negara) hingga saat ini adalah persoalan open access dan
konflik tenurial. UNDP menyatakan kegagalan tata kelola hutan di
Indonesia disebabkan 4 hal yaitu akses sumber daya hutan terbuka (open access),
konflik tenurial, biaya transaksi tinggi dan lemahnya penegakan hukum.
FAO mengungkap bahwa hak kepemilikan adalah landasan dasar dalam
penataan hak kepemilikan yang menyangkut akses terhadap sumberdaya alam (tenure).
PortalHijau - Tenurial merefer pada sistem pengaturan lahan, pengaturan hak atas
lahan, bagi siapa dan dalam waktu tertentu. Juga menyangkut pengaturan
akses dalam pemanfaatan hutan. Tanpa pengaturan hak kepemilikan,
sumberdaya akan terhambur dalam persaingan kontrol serta
kegiatan-kegiatan yang bersifat predatoris berorientasi pada
pemanfaatan jangka pendek.
Pemerintah sebagai pemilik otoritas atas kawasan hutan, dengan
keterbatasan sumberdaya, gagal mengontrol seluruh luasan kawasan hutan,
termasuk dengan penegakan hukum dan pengendalian kejahatan hutan.
Menyikapi tersebut, kebijakan desentralisasi digulirkan, yaitu pembagian
kewenangan Pusat dan Daerah sebagaimana Undang-Undang Nomor 22 tahun
1999 tentang Otonomi Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 2000
tentang Pelimpahan Kewenangan Pusat ke Daerah. Pun pula untuk mengaddress isu open access
maka desain tata kelola tingkat tapak digulirkan yaitu dengan P.06
tahun 2009 tentang Pembentukan Kesatuan Wilayah Pengelolaan Hutan (KPH).
Namun demikian, konflik di kawasan hutan tetap mengemuka terkait
dengan kecenderungan otoriterisme dan egosektorialisme. Konflik kawasan
hutan dibawa ke ranah perdebatan dan pengadilan konstitusi. Dari kasus
tersebut terjadi perubahan paradigma penetapan kawasan hutan, bahwa
dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi atas Perkara 45/PUU-IX/2011
menghapuskan tahap “penunjukkan” kawasan hutan dalam Undang-Undang 41
tahun 1999 tentang Kehutanan, timbul efek domino merubah arah
regulasi-regulasi turunannya. Dalam konteks tata kelola hutan di daerah,
putusan MK Perkara 47 tahun 2013 juga membatalkan RTRW Provinsi
Sumatera Utara, sehingga perlu dilakukan realokasi kawasan hutan
Provinsi Sumatera Utara, yang sampai saat ini belum selesai.
Untuk mengaddress problem tata kelola kawasan hutan
tersebut, Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undng Nomor 2 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
diluncurkan, yang pada prinsipnya adalah mendelegasikan kewenangan Pusat
kepada Daerah, atau membagi kewenangan Pusat kepada Daerah; dengan
harapan dapat mengontrol kawasan hutan. Namun demikian dalam
implementasinya, tidak merubah Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang
otonomi daerah dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 2000 tentang Pelimpahan
Kewenangan Pusat ke Daerah.
Persoalan berikutnya timbul. Ketidakjelasan dan tumpang tindih
kewenangan atara Pusat dan Daerah, antara sektor satu dengan sektor
lain. Masing-masing menggunakan kriteria dan indikator yang dibangun
sendiri. Seperti contoh antara KLHK, Kementerian ESDM, Kementerian Dalam
Negeri, bahkan Kementerian Tata Ruang dan Agraria; dimana lokasi yang
dipersoalkan adalah sama. Implementasi eksekusi KPHpun masih belum jelas
kewenangannya. Hal tersebut terjadi karena kentalnya ragam kepentingan
yang berbeda.
Hutan tidak dapat diisolasi dari isu lahan atau tanah.
Konflik-konflik yang muncul justru terpicu oleh konflik agraria, bukan
konflik mendapatkan akses hasil hutan. Lahan telah menjadi sesuatu yang
sangat menarik bagi para aktor. Peluso dalam penggalian potret sejarah
kehutanan negara, kenyataan pemanfaatan hutan di Indonesia selalu
terkait dengan kondisi ketegangan dan pertarungan klaim antara negara
dan petani terutama tentang persoalan akses dan kontrol atas kawasan
sumberdaya hutan. Kini persoalannya meluas menjadi ketegangan negara
dengan swasta, swasta dengan masyarakat, sektor dengan sektor dalam
negara, daerah dengan daerah dalam negara, dan pusat dengan daerah dalam
negara.
Komisi Pemberantasan Korupsi melansir, hal tersebut terjadi dari
akumulasi persoalan tata kelola kawasan hutan dan lahan antara lain
dualistik skala peta dalam lokasi sama, dualistik pandangan antara
kehutanan dan agraria, sengketa kewenangan pemerintah pusat dan
pemerintah daerah, egosektoral, legislasi dan kebijakan tata kelola
lahan tidak diformulasi dengan jelas dan tegas, tumpang tindih, bahkan
berkonflik antara kebijakan satu dengan kebijakan lain; kebijakan satu
melemahkan kebijakan lain, kebijakan satu menjadi tandingan kebijakan
lain.
Problem tersebut kemudian menggeser paradigma tata kelola kawasan
hutan dari orientasi tunggal yaitu pemanfaatan tunggal, eksploitasi
swasta, proteksi dan konservasi ke arah pemanfaatan multipihak. Situasi
tersebut membawa azas yang penting diacu dalam meregulasi tata kelola
kawasan hutan antara lain tidak cukup dengan kelestarian; namun juga
keseimbangan dan keserasian, kemanfaatan yang berkelanjutan,
keterpaduan, transparansi dan akuntabilitas, keadilan, partisipatif dan
kearifan lokal.
Merefer pada hal tersebut, Pemerintah gencar mencari solusi dan
mengaplikasikan konsep governisasi kawasan hutan, antara lain merevisi
Peraturan Pemeritah Nomor 6 Tahun 2007 Jo Nomor 3 Tahun 2008 tentang
Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan
Hutan. Demikian juga dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang
Keanekaragaman Hayati sedang dalam proses perumusan dalam kontestasi
perdebatan kepentingan di legislatif.
Dalam konteks tata kelola kawasan hutan, kebijakan-kebijakannya sejak
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kehutanan hingga Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan
perubahannya; telah menggulirkan perubahan-perubahan karakteristik
secara fundamental dalam pengaturan pemanfaatan kawasan hutan dan
hasil hutannya. Mekanisme permohonan menuju mekanisme penawaran.
Mekanisme perijinan menjadi kompetisi. Mekanisme Hak Pengusahaan Hutan
ke Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK), dari “hak” menjadi
“ijin”.
Pencarian keadilan perdata/pidana menjadi pencarian keadilan
konstitusi. Pergeseran kebijakan dari jatah tebang (soft landing policy)
hingga pembatasan penebangan. Eksplorasi hasil hutan hingga moratorium
penebangan. Digulirkannya kebijakan sentralisasi menuju desentralisasi.
Menuju pemberian peluang tidak hanya kepada korporasi, namun juga kepada
perorangan. Persoalan konflik tata batas menuju persoalan hak asasi
manusia.
Evolusi kebijakan tersebut sampai saat ini masih menuai derasnya
kerusakan dan degradasi hutan. Tata kelola dengan skema perizinan
menimbulkan biaya transaksi tinggi dan tidak menimbulkan self-control
oleh pemegang izinnya. Sebagaimana Ibu Menteri tekankan, bahwa
persoalan sudah bermetamorfosa, upaya-upaya legalisasi alih kawasan
berhutan ke kawasan non hutan, seperti alih hutan ke kebun sawit dalam
kawasan hutan atau alih status kawasan hutan menjadi non kawasan hutan
untuk keperluan perluasan kebun sawit, dengan manuver menarasikan
definisi hutan. Derasnya deforestasi membuktikan skema tata kelola perizinan saat ini sudah runtuh (collapse).
Di sisi lain, ada kebutuhan khusus seperti kebutuhan kawasan untuk
penelitian dan pengembangan serta pendidikan dan pelatihan dalam sebuah
skema tata kelola Kawasan dengan Tujuan Khusus (KHDTK). Tata kelola
KHDTK pada prinsipnya adalah tata kelola kawasan hutan yang
dielaborasikan dengan lokus penelitian dan pengembangan atau pendidikan
dan pelatihan. Dalam rangka meningkatkan good governance,
desain kelola KHDTK diharapkan dapat menjadi alternatif solusi mengatasi
persoalan deforestasi dan degradasi hutan, yang masif dihadapi oleh
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Hal tersebut mirip dengan kebijakan Land Grand College (LGC)
di tahun 2000an. Ide dari LGC adalah untuk memberikan kesempatan kepada
lembaga pendidikan dan lembaga penelitian untuk melakukan pendidikan,
pelatihan, penelitian dan pengkajian tentang hutan untuk sebesar-besar
kesejahteraan masyarakat di sekitar dan dalam hutan dengan tetap
memperhatian kelestarian hutan. Lembaga pendidikan dan lembaga
penelitian dapat mengajukan permohonan dan memperoleh Ijin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) pada hutan alam areal eks-HPH atau
di hutan alam. Namun demikian fakta di lapangan memperlihatkan bahwa
pemberian IUPHHK pada hutan alam dalam rangka LGC turut memberikan
kontribusi terhadap kerusakan hutan alam, karena lembaga pendidikan dan
lembaga penelitian yang mengajukan permohonan perijinan tidak memiliki
kompetensi sebagai pengelola kawasan hutan.
Memahami problem tersebut di atas, desain regulasi penetapan dan tata
kelola KHDTK tidak lagi dapat mengorientasikan pada skema perizinan.
Pelaksanaan penelitian dan pengembangan serta pendidikan dan pelatihan
yang dikaitkan dengan KHDTK tidak dapat dipisahkan dengan kemandirian
pengelolaan KHDTK. Pengalaman LGC membuktikan bahwa semakin banyak
pengelola diikat seperti pemegang izin, semakin tidak feasible
mengelola KHDTK. Sekaligus, dalam menerbitkan regulasi tentang tata
kelola KHDTK (kawasan hutan negara), hal krusial yang perlu diantisipasi
selain tata kelola secara mandiri, namun yang lebih penting adalah
menekan perambahan kawasan hutan (negara), serta menghindari
kepentingan-kepentingan penggunaan regulasi KHDTK sebagai alat politik. Selain itu juga menghindari mengejar produksi regulasi yang sudah
menumpuk namun tidak bekerja; atau bekerja namun justru turut
berkontribusi dalam mempercepat deforestasi.
Untuk keluar dari rejim izin, pemilik otoritas kawasan hutan yaitu
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menentukan alokasi kawasan
hutan untuk KHDTK yang dirancang untuk kepentingan publik. Diperlukan
kondisi dan ragam kondisi hutan penelitian (KHDTK Penelitian dan
Pengembangan) dan kondisi hutan pendidikan (KHDTK Pendidikan dan
Pelatihan) yang ada serta kawasan-kawasan hutan lain yang bermasalah.
Beberapa manuver yang harus ditempuh yaitu menyusun rancangan
nasional pengelolaan KHDTK, menentukan dan menetapkan kriteria
pengelolanya, lembaga pengelola KHDTK berciri non profit. Selain itu,
pemanfaatan komoditi hutan sepanjang sebagai akibat penelitian dan
pengembangan atau pendidikan dan pelatihan, serta digunakan untuk
pembangunan KHDTK maka dibebaskan dari pendapatan negara bukan pajak
(PNBP) dan dinyatakan dalam Peraturan Pemerintah mengenai PNBP.
Instrumen pengendalian pelaksanaan KHDTK ditetapkan berdasarkan kriteria
dan indikator tertentu, antara lain manajemen, tegakan/landscape, sosial, dan finansial. Dan untuk evaluasi pelaksanaan pengelolaan KHDTK dilakukan oleh tim independen.
Ucapan terima kasih dan penghargaan kepada Prof. Hariadi Kartodihardjo [1],
atas passion serta tak hentinya aliran inspirasi kepada penulis untuk
keluar dari belenggu cara pikir sepotong. Tentang kegagalan melihat
luasnya kawasan hutan dan kompleksitasnya memakai jendela sepotong.
Tentang kegagalan melihat indahnya hamparan kawasan hutan dengan
sepotong dimensi. Tentang mengukir batu dengan aliran air. Tentang
memanuver mengejar harapan keharmonisan ever green.
[1] Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Institut Pertanian Bogor.
Penulis : Dr.Yayuk Siswiyanti