Riset yang dipublikasikan di jurnal Science pada 13 Februari 2015 lalu mengungkap bahwa Indonesia merupakan penyumbang terbesar kedua sam...
Riset yang dipublikasikan di jurnal Science pada 13 Februari 2015 lalu mengungkap bahwa Indonesia merupakan penyumbang terbesar kedua sampah plastik di lautan.
PortalHijau - Data
tersebut diperoleh lewat pemodelan dengan memasukkan faktor skala
pembangunan ekonomi negara, jumlah rata-rata sampah yang diproduksi,
cara pengolahan sampah, serta jumlah populasi yang bermukim di radius 50
km dari garis pantai.
Lewat Ekspedisi Widya Nusantara (EWIN)
2016, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) akan membuktikan
kebenaran hasil pemodelan tersebut lewat pengambilan sampel langsung di
lapangan.
"Kita akan meneliti mikroplastik di perairan Sumba,"
kata Muhammad Reza Cordova, periset Pusat Penelitian Oseanografi dalam
konferensi pers Pelepasan EWIN 2016 di Jakarta, Selasa (2/8/2016).
Perairan
Sumba dipilih karena merupakan pintu keluar dari Arus Lintas Indonesia,
arus dari Pasifik ke Hindia yang melewati Indonesia.
Pergerakan
arus bukan hanya membawa nutrien dan sejumlah satwa, tetapi juga sampah.
Sampah yang keluar dari perairan Sumba mungkin tak berasal dari
Indonesia, tetapi dibawa dari Pasifik.
Untuk
meneliti, Reza akan mengambil sampel air dari perairan Sumba. Sampel
itu kemudian disaring dengan penyaring khusus dan diamati dengan bantuan
sinar UV. Keberadaan mikroplastik dari beragam polimer akan dideteksi.
Riset di perairan Sumba ini adalah tahap pertama. "Ke depan kita berharap bisa melakukan di wilayah utara Indonesia," ungkapnya.
Dari
rangkaian penelitian, LIPI berharap bisa mengetahui sampai yang masuk
dan keluar dari Indonesia. Data yang diperoleh akan digunakan untuk
mengonfirmasi riset yang menyatakan bahwa Indonesia penghasil plastik
terbesar kedua.
Dalam jangka panjang, Reza akan meneliti
perbandingan mikroplastik yang masuk dab keluar dari wilayah Indonesia
untuk mencari tahu peran arus dalam perpindahan sampah sekaligus jumlah
sampah yang terbuang ke laut.
"Bisa
saja sampah yang keluar (dari perairan Indonesia) justru lebih sedikit,
yang berarti bahwa perairan kita jadi trap. Kalau yang terjadi seperti
itu justru lebih berbahaya," katanya.
Penulis: Yunanto Wiji Utomo