Sekitar 10.000 batang tanaman bakau atau mangrove di kawasan pantai Desa Mangguang, Kecamatan Pariaman Utara, Kota Pariaman, menjadi kerin...
Sekitar 10.000 batang tanaman bakau atau mangrove di kawasan pantai
Desa Mangguang, Kecamatan Pariaman Utara, Kota Pariaman, menjadi kering
dan mati. Diduga penyebabkan adalah tertutupnya pintu muara akibat
banjir rob yang sering terjadi dan membawa sedimentasi.
Hutan bakau atau hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di air
payau,dan dipengaruhi oleh pasang-surut air laut. Hutan ini tumbuh
khususnya di tempat yang terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan organik.
Baik di teluk-teluk yang terlindung dari gempuran ombak, maupun di
sekitar muara sungai di mana air melambat dan mengendapkan lumpur yang
dibawanya dari hulu.
Dikatakan Zainal, tanaman mangrove tersebut ditanam pada tahun 2008
oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumbar, sebanyak 10.000
batang. Mangrove ini ditanam tersebar di atas lahan seluas 10 ribu
hektar, diselingi dengan tanaman nipah dan api-api.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sumbar, Yosmeri yang dikonfirmasi
terpisah, membenarkannya. Menurutnya, hutan mangrove itu selama ini
tumbuh subur memagar pantai setempat. Bahkan ketinggiannya sudah
mencapai 5 meter.
Namun kini semua mati kering, Penyebabnya, diduga akibat banjir rob
sering melanda kawasan tersebut dengan membawa sedimentasi sehingga
menutup pintu muara. Akibatnya air laut tak masuk lagi ke kawasan
mangrove, sehingga kadar garamnya menjadi turun.
“Mangrove itu hidup di air payau. Karena pintu muara tertutup,
otomatis air laut tak bisa masuk ke muara. Akirbatnya, kadar garam air
di muara turun drastis. Mangrove otomatis tak bisa hidup,” katanya.
Ditambahkan Zainal, kejadiannya sudah dua minggu belakangan ini.
Namun gejala awal terlihat usai banjir rob melanda kawasan hutan
mangrove di lokasi tersebut. Mula-mula terjadi penguningan daun hutan
bakau tersebut. Lalu daun itu gugur satu persatu dan batangnya
mengering. Akhirnya hutan mangrove itu benar-benar mati.
“Yang tersisa saat ini, hanya tanaman nipah dan api-api. Kedua jenis pohon laut ini masih bisa bertahan hidup,” katanya.
Namun kini, pintu murao tersebut sudah dibuka dengan bantuan alat berat
dari Dinas PU setempat, sehingga air laut bisa masuk. Dengan masuknya
air laut ke kawasan hutan mangrove, diharapkan mangrove yang tersisa dan
belum terlalu parah mengalami kekeringan, bisa meresponnya dan
hidup kembali.
Menurut Zainal, pihaknya akan mengganti hutan mangrove yang mati ini
dengan menanam bibit baru. Namun yang tersedia saat ini hanya sekitar
1.500 batang. Bibit tanaman mangrove itu dibeli melalui anggaran APBD
Kota Pariaman tahun 2016, melalui kegiatan yang bernama greenbelt atau “program sabuk hijau pantai”.
Program greenbelt ini akan dilaksanakan tak hanya di kawasan
Mangguang, tetapi juga di Sunua. Sedangkan di lingkungan SMK Negeri 3
Kota Pariaman, juga akan ditanam sebanyak 3.500 batang mangrove jenis
Rhizaopora ini. Kegiatan greenbelt ini diskakelolakan melalui kelompok greenbelt yang sudah dibentuk oleh Kementerian KKP tahun 2013.
“Tanaman mangrove ini akan kita ditanam Sabtu depan, dengan perawatan
selama tiga bulan. Bibit dibeli dari Padang seharga Rp6.000,-/batang
dengan daun empat,” terangnya.
Pantuan Haluan di lapangan, mangrove yang mati tingginya
sekitar 4-5 meter dan masih tegak berdiri tanpa daun. Hanya batang dahan
dan ranting saja yang menjulang tinggi ke udara. Bila dicermati batang
atau rantingnya yang mati itu, maka terlihat kering. (h/tri)
Penulis: Trisnaldi