HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Akibat Air Laut Tidak Masuk Ke Muara, Hutan Mangrove Mati Kering

Sekitar 10.000 batang tanaman bakau atau mangrove di kawasan pantai Desa Mangguang, Kecamatan Pariaman Utara, Kota Pariaman, menjadi kerin...

Sekitar 10.000 batang tanaman bakau atau mangrove di kawasan pantai Desa Mangguang, Kecamatan Pariaman Utara, Kota Pariaman, menjadi kering dan mati. Diduga penyebabkan adalah tertutupnya pintu muara akibat banjir rob yang sering terjadi dan membawa sedimentasi.

PortalHijau - “Mangrove yang mati itu jenis Rhizop­pora dan kondisinya bisa terlihat jelas dari belakang Gedung DPRD Kota Pariaman,” kata Kepala Bidang KP3KP Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Pariaman, Zainal menjawab Haluan akhir pecan kemarin.

Hutan bakau atau hutan ma­ngrove adalah hutan yang tumbuh di air payau,dan dipengaruhi oleh pasang-surut air laut. Hutan ini tumbuh khususnya di tempat yang terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan organik. Baik di teluk-teluk yang terlindung dari gempuran ombak, maupun di sekitar muara sungai di mana air melambat dan mengendapkan lumpur yang dibawanya dari hulu.

Dikatakan Zainal, tanaman mangrove tersebut ditanam pada tahun 2008 oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumbar, sebanyak 10.000 batang. Ma­ng­rove ini ditanam tersebar di atas lahan seluas 10 ribu hektar, di­selingi dengan tanaman nipah dan api-api.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sumbar, Yosmeri yang dikonfirmasi terpisah, mem­be­nar­kannya. Menurutnya, hutan ma­ngro­ve itu selama ini tumbuh subur memagar pantai setempat. Bahkan ketinggiannya sudah mencapai 5 meter.

Namun kini semua mati ke­ring, Penyebabnya, diduga akibat banjir rob sering melanda kawasan tersebut dengan membawa se­dimentasi sehingga menutup pintu muara. Akibatnya air laut tak masuk lagi ke kawasan ma­ngrove, sehingga kadar garamnya menjadi turun.

“Mangrove itu hidup di air payau. Karena pintu muara ter­tutup, otomatis air laut tak bisa masuk ke muara. Akirbatnya, kadar garam air di muara turun drastis. Mangrove otomatis tak bisa hidup,” katanya.

Ditambahkan Zainal, keja­dian­nya sudah dua minggu bela­kangan ini. Namun gejala awal terlihat usai banjir rob melanda kawasan hutan mangrove di lokasi tersebut. Mula-mula terjadi pe­ngu­ningan daun hutan bakau tersebut. Lalu daun itu gugur satu per­satu dan batangnya me­nge­ring. Akhirnya hutan ma­ngrove itu benar-benar mati.

“Yang tersisa saat ini, hanya tanaman nipah dan api-api. Kedua jenis pohon laut ini masih bisa bertahan hidup,” katanya.

Namun kini, pintu murao tersebut sudah dibuka dengan bantuan alat berat dari Dinas PU setempat, sehingga air laut bisa masuk. Dengan masuknya air laut ke kawasan hutan mangrove, diharapkan mangrove yang tersisa dan belum terlalu parah me­nga­lami kekeringan, bisa me­res­ponnya dan hidup kembali.

Menurut Zainal, pihaknya akan mengganti hutan mangrove yang mati ini dengan menanam bibit baru. Namun yang tersedia saat ini hanya sekitar 1.500 batang. Bibit tanaman mangrove itu dibeli melalui anggaran APBD Kota Pariaman tahun 2016, me­lalui kegiatan yang bernama greenbelt atau “program sabuk hijau pantai”.

Program greenbelt ini akan dilaksanakan tak hanya di ka­wasan Mangguang, tetapi juga di Sunua. Sedangkan di lingkungan SMK Negeri 3 Kota Pariaman, juga akan ditanam sebanyak 3.500 batang mangrove jenis Rh­iza­o­pora ini. Kegiatan greenbelt ini dis­kakelolakan melalui kelompok greenbelt yang sudah dibentuk oleh Kementerian KKP tahun 2013.

“Tanaman mangrove ini akan kita ditanam Sabtu depan, dengan pera­watan selama tiga bulan. Bibit dibeli dari Padang seharga Rp6.000,-/batang dengan daun empat,” terangnya.
Pantuan Haluan di lapangan, mangrove yang mati tingginya sekitar 4-5 meter dan masih tegak berdiri tanpa daun. Hanya batang dahan dan ranting saja yang menju­lang tinggi ke udara. Bila dicermati batang atau rantingnya yang mati itu, maka terlihat kering. (h/tri)

Penulis: Trisnaldi