Penelitian lintas lembaga oleh Institut Pertanian Bogor (IPB) menemukan penurunan persentase emisi karbon dari deforestasi Indonesia seba...
Penelitian
lintas lembaga oleh Institut Pertanian Bogor (IPB) menemukan penurunan
persentase emisi karbon dari deforestasi Indonesia sebanyak 19 persen
setelah dilakukannya penghitungan ulang melalui angka faktor emisi baru.
PortalHijau - Pimpinan Tim Peneliti Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan
IPB Bambang Heru Saharjo menyatakan timnya berhasil menemukan penurunan
persentase itu melalui metode perhitungan angka faktor emisi baru. Hal
itu, paparnya, dapat menunjukkan nilai emisi karbon Indonesia tidak
sebesar yang selama ini dikenal oleh dunia Internasional.
Dia
menegaskan metode baru itu mampu mengubah nilai emisi karbon Indonesia
menjadi 19 persen lebih kecil dibandingkan nilai emisi yang dikenal
selama ini. Data National Council on Climate Change pada 2010
menyebutkan bahwa 85 [persen gas rumah kaca di Indonesia berasal dari
aktivitas lahan, dengan komposisi antara lain 37 persen terkait dengan
deforestasi dan 27 persen pada kebakaran lahan gambut.
"Indonesia
dituding sebagai negara pencetus karbon terbesar ketiga di dunia
setelah Amerika Serikat dan Cina akibat deforestasi dan kebakaran hutan.
Dengan (penghitungan) ini, bisa mengkoreksi penghitungan emisi," ujar
Bambang dalam keterangannya kepada pers di Kantor Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan, Kamis (16/6).
Riset ini merupakan penelitian yang didanai oleh NASA berjudul NASA
Tropical Peat Fire Research Project Incorporating, Quantifying and
Locating Fire Emissions from Tropical Peat Lands: Filling a Critical Gap
in Indonesia's National Carbon Monitoring, Reporting and Verification
(MRV) Capabilities for Supporting REDD+ Activities.
Menurut
Bambang, hasil riset bersama ini dapat membuktikan bahwa pengeluaran
emisi Indonesia tak setinggi yang selama ini diakui secara global.
Dengan
riset baru ini, Bambang menjelaskan terdapat metode baru untuk
menghitung emisi yang dihasilkan dari kebakaran gambut. Perhitungan itu
dilakukan menggunakan peralatan Fourier Transform Infrared Spectroscopy
(FTIR) dan Photoacoustic Extinctiometer (PAX) yang menggunakan panjang
gelombang 405 nm dan 870 nm, gravimetric filters, dan Whole Air Sampling
(WAS).
Hasil penelitian ini kemudian mendorong dilakukannya
revisi nilai faktor emisi yang selama ini digunakan IPCC, yaitu untuk
nilai CO2 (-8 persen), CH4 (-55 persen), NH3 (-86 persen), CO (+39
persen).
Emisi kebakaran gambut selama ini dihitung menggunakan
persamaan Seiler dan Cruizen yang berasal dari metode penghitungan
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). Kalkulasi faktor emisi
menjadi salah satu parameter penentu dalam penghitungan emisi total
dari kebakaran gambut.
"Padahal jika nilai emisi dari kebakaran
gambut dikeluarkan dari perhitungan, maka ranking Indonesia sebagai
negara penyumbang emisi karbon bisa turun ke peringkat 22 atau 24," kata
Bambang.
IPB turut menggandeng South Dakota State University
(SDSU), Montana University, Universitas Palangkaraya, Pemerintah
Provinsi Kalimantan Tengah, Pemerintah Kabupaten Kapuas, dan Borneo
Orangutan Survival Foundation (BOSF) dalam penelitian tersebut.
Direktur
Mitigasi Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(KLHK) Emma Rachmawaty menyatakan bahwa penelitian tersebut merupakan
salah satu bagian dari upaya peninjauan kembali terhadap perbaikan yang
berkesinambungan. Menurutnya, hasil riset tersebut dapat diajukan
sebagai koreksi terhadap data penilaian faktor emisi melalui forum Task
Force Inventory (TFI) pada Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim.
"Pada forum ini hasil riset bisa diajukan sebagai assesment terhadap faktor emisi yang disampaikan oleh para ahli," kata Emma.
Penulis: Riva Dessthania Suastha