Indonesia sebagai negara yang terletak di daerah beriklim tropis dan dilewati oleh garis khatulistiwa, menyebabkan Indonesia memiliki ke...
Indonesia sebagai negara yang terletak di daerah
beriklim tropis dan dilewati oleh garis khatulistiwa, menyebabkan
Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi.
PortalHijau - Tingginya kekayaan
keanekaragaman hayati Indonesia yang begitu besar dan melimpah sehingga
negara kita menjadi salah satu negara mega biodiversity kedua di dunia
setelah Brazil.
Namun di satu sisi, dengan kekayaan tersebut kita merasa bangga dan
terbuai bahkan melupakan atau hampir tidak memikirkan ancaman yang
menimpa flora dan fauna tersebut. Sehingga Indonesia juga termasuk salah
satu negara dengan ancaman kepunahan satwa terbesar di dunia salah
satunya harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae).
Faktor ancaman tersebut sebagian besar terjadi karena ulah manusia.
Manusia yang seharusnya memiliki kewajiban untuk menjaga dan
melestarikan satwa-satwa ciptaan Tuhan tetapi justru malah merusak dan
memburu satwa tersebut hanya untuk kepentingan pribadi tanpa memikirkan
akibatnya.
Berdasarkan data diperkirakaan jumlah populasi harimau sumatera
cenderung mengalami penurunan dari waktu ke waktu. Sehingga apabila hal
ini tidak segera dilakukan kegiatan pengelolaan yang tepat satu-satunya
sub spesies harimau yang tersisa di Indonesia ini diyakini akan punah
dalam waktu tidak terlalu lama.
Harimau Sumatera adalah harimau terakhir Indonesia - setelah harimau
Bali pada dekade 40-an dan harimau Jawa pada dekade 80-an dinyatakan
punah. Kepedulian terhadap masa depan ‘raja hutan’ di habitat alaminya
mendorong semua kalangan untuk terus melakukan upaya terpadu untuk
melindungi harimau Sumatera karena sudah berhadapan langsung dengan
manusia dan penduduk lokal.
Untuk itu, pemerintah diharap serius memberikan pemahaman kepada aparat
keamanan, militer, pelaksana pemerintahan hingga aparat desa, serta
masyarakat, dalam menangani konflik manusia dengan satwa liar dilindungi
seperti harimau sumatera. Termasuk penegakan hukum sesuai UU Nomor 5
Tahun 1990 bagi yang melanggar.
Ada dua hal yang memicu terjadinya head to head harimau dan manusia di
lading atau perkampungan warga seperti yang terjadi di Lengayang,
Pessel. Pertama, hutan atau habitat harimau sumatera, maupun satwa
dilindungi lainnya, kian hari kian rusak, baik oleh aktivitas
perkebunan, penambangan, maupun perambahan.
Aksi perambahan, termasuk peristiwa kebakaran hutan dan lahan gambut,
justru banyak terjadi di wilayah habitat harimau sumatera. Seperti,
Muara Medak, Kabupaten Musi Banyuasin, perbatasan Sumsel dengan Bengkulu
dan Jambi, di Benakat Muara Enim, serta Taman Nasional Sembilang.
Kedua, akibat perburuan liar jumlah satwa dilindungi kian berkurang.
“Padahal ancaman bagi yang melanggar UU No 5 Tahun 1990 adalah kurungan
dan denda maksimal Rp200 juta,” katanya. (*)
Penulis: Harian Haluan