HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Energi Nuklir Ramah Lingkungan Bisa Menjadi Energi Alternatif Di Indonesia

Pembangunan energi nuklir ramah lingkungan sangat dibutuhkan, khususnya untuk membangun pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Hal ini ...

Pembangunan energi nuklir ramah lingkungan sangat dibutuhkan, khususnya untuk membangun pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Hal ini dimaksudkan dalam rangka menunjang energi nasioal, sehingga pasokan listrik dapat terpenuhi.

PortalHijau - Demikian rangkuman pendapat yang dihasilkan dari Seminar Nasional bertema "Nuklir Ramah Lingkungan dalam Pembangunan Nasional" yang digelar Kaukus Muda Indonesia atau KMI di Hotel Le Merdian, Jakarta, Rabu (27/7).

Pembicaranya adalah anggota Dewan Energi Nasioal (DEN) Rinaldy Dalimi dan Deputi Sains dan Aplikasi Teknologi Nuklir BATAN, Efrizon Umar.

Ketua KMI Edi Humaidi saat memberi sambutan mengatakan, pembangunan dan pemanfaatan teknologi nuklir dalam kehidupan sehari-hari sudah menjadi kebutuhan di abad modern ini. Teknologi yang bekerja dengan reaksi inti atom ini juga banyak dipergunakan pada pembangunan diberbagai bidang seperti media, industri, pertanian, dan pembangunan energi listrik.

"Memang ada dampak negatif yang perlu dicegah dari pengembangan teknologi nuklir ini, diantaranya masalah biaya pembuangan sampah nuklir yang sangat mahal," katanya.

Termasuk PLTN yang tidak terpakai tidak bisa begitu saja ditinggalkan, sementara untuk melakukan decomissioning guna mencagah terpaparnya lingkungan sekitar dari sampah radioaktif akan memakan waktu lama dan biaya yang besar.

"Bahkan, kecelakaan nuklir dapat menyebabkan partikel radioaktif kelingkungan yang dapat merusak sel-sel tubuh dan menyebabkan kematian," paparnya.

Anggota Dewan Energi Nasioal (DEN) Renaldy Dalimi saat menjadi pembicara di acara itu mengakui bahwa teknologi untuk PLTN memang sudah aman. Namun diharapkan, hal ini menjadi pilihan terakhir untuk memenuhi kebutuhan energi nasional.

"Ada beberapa alasan DEN yang salah satunya adalah faktor bencana alam. Teknologi nuklir sudah aman. Tapi, kecelakaan yang terjadi bukan karena teknologinya, melainkani kesalahan desain, bencana alam, dan kesalahan operator," ujarnya.

Menurut dia kalaupun membangun PLTN, bahan bakunya, uranium, yang terdapat di Indonesia belum ekonomis. Yang ada, pemerintah akan mengimpor uranium. "Karena harganya lebih murah," katanya lagi.

Apalagi, harga listrik PLTN tak bisa dianggap sebagai energi yang murah. Hal ini berkaca pada kasus meledaknya reaktor PLTN di Fukushima, Jepang, yang akibatnya negeri itu terpaksa menerapkan standar yang tinggi pada PLTN tersebut dan mempengaruhi harga listrik PLTN.

"Harganya lebih mahal 3 sen per kWh. Tak hanya itu, Negeri Sakura itu pun diklaim merugi ratusan miliar dolar AS. Kerugian Jepang akibat Fukushima mencapai US$600 miliar, lebih dari setengah APBN kita tahun lalu," ungkapnya.

Tetapi sebetulnya, sambung Renaldy, DEN tidak menutup peluang dibangunnya PLTN oleh pemerintah. Hanya saja, saat pemerintah mau menenderkan proyek itu, investor yang akan membangun harus siap untuk menanggung kerugiannya.

"Setiap investor yang membangun PLTN nanti harus menanggung semua kerugian yang ditimbulkan oleh kecelakaan di PLTN," ucapnya.

Dalam kesempatan sama, Efrizon mengatakan, seiring perkembangan zaman yang semakin menuntut pembaharuan di berbagai bidang, ketersediaan pasokan listrik harus diperbaharui pula. Banyak pihak mengatakan, kini sudah bukan waktunya lagi bergantung pada minyak bumi sebagai sumber energi bagi pasokan listrik.

"Mengapa? Para ahli menyatakan ketersediaan minyak bumi Indonesia tidak akan lagi mencukupi ketahanan energi nasional dalam jangka panjang. Sejak tahun 2013, 50 persen konsumsi bahan bakar minyak Indonesia pun merupakan hasil impor dari luar negeri. Sudah tentu impor tersebut memberatkan APBN," katanya.

Selain itu, konsumsi listrik pun terus meningkat dari tahun ke tahun. Imbasnya 10 tahun mendatang cadangan BBM Indonesia diprediksi akan habis. Saat itu kebutuhan listrik Indonesia telah mencapai 47,45 juta ton SBM. Namun, hitungan di atas kertas tersebut tidak sepantasnya membuat optimisme mewujudkan ketahanan energi nasional menurun.

"Kini tersedia satu solusi yang membuat masa depan energi Indonesia tetap cerah, yakni sumber energi non-fosil seperti uranium yang dimanfaatkan dalam teknologi PLTN. Sumber uranium tersebut tidak perlu diimpor dari luar negeri. Berbagai daerah di Indonesia memiliki kandungan uranium yang cukup besar," tuturnya.

Salah satu contohnya daerah Kalan yang terletak di Kalimantan Barat, dimana kandungan uranium di sana diprediksi dapat membangkitkan daya hingga 3000 MW. Adanya potensi tersebut menerbitkan harapan baru bagi pemanfaatan teknologi nuklir ramah lingkungan guna menjamin ketersediaan pasokan listrik Indonesia di masa depan, demikian Efrizon.

Penulis: Hendry Ginting