“Tahun bialah batuka, musim bialah baganti, maso bialah barubah, zaman bialah baganti. Nan sandi adat jan dirusak, tiang agamo jan dirun...
“Tahun bialah batuka, musim bialah baganti, maso bialah barubah,
zaman bialah baganti. Nan sandi adat jan dirusak, tiang agamo jan
diruntuah, budi jan sampai tajua, paham jan sampa tagadai, jago harkat
dan martabat. Sasungguahnyo manusia itu talatak pado hargo diri,”untaian
pesan penghulu (datuk dalam suku) itu tertulis jelas di salah satu
monumen di Korong Salisikan, Nagari Sungai Buluh, Kecamatan Batang Anai,
Padang Pariaman, Minggu (12.6). Udara lembab masih terasa di pagi itu.

“Ini adalah pesan, aturan, dan kesepakatan antara 16 penghulu dari lima
suku yang ada di nagari ini yang harus dipatuhi serta dijalankan oleh
masyarakat nagari,”ujarnya.
Menurut Syafarudin, ia bersama masyarakat lainnya masih menjunjung
tinggi pesan penghulu. Karena dalam pesan itu diajarkan bagaimana
manusia harus mempunyai harga diri, dan harus bertahan meski zaman
berganti.
“ini penting dilakukan untuk menjaga harga diri termasuk dalam
melindungi kampung beserta isi alamnya, seperti hutan. Pesan ini sudah
dibuat oleh nenek moyang kami dahulu, namun dulu masih berbentuk
lisan,”papar pensiunan polisi itu.
Masyarakat Sungai Buluh masih mempercayai filsafah yang diturunkan oleh
nenek moyang. Selain pesan dari penghulu, di nagari tersebut juga ada
pesan dari ulama. Hal ini sesuai dengan falsafal minang yang berbunyi Adat Basandi Syara, Syara Basandi Kitabulah.
Nagari Sungai Buluh memiliki dua Korong yakni Korong Salisiakan dan
Kuliek dan berada di bawah Kecamatan Batang Anai, Kabupaten Padang
Pariaman. Dengan jumlah penduduk 14.672, nagari yang bermukim di kawasan
perbukitan tersebut memiliki beraneka ragam kekayanan hutan.
Dalam menjaga kekayaan hutan tersebut, masyarakat tetap berpedoman
kepada pesan penghulu dan ulama. Selain itu nagari yang masih
menggunakan kearifan lokal itu juga membagi wilayah hutan sesuai
topografi dan rencana pengelolaan seperti hutan larangan, hutan
cadangan, kawasan olahan, dan hutan kesepakatan.
Tidak hanya itu, masyarakat juga memakai sistem larangan yang berbasis
kearifan lokal untuk memelihara ikan atau mereka menyebutnya ikan
larangan. Dalam larangan itu terbentuk dari hasil kesepakatan seluruh
lapisan masyarakat yang melarang menangkap ikan di lokasi tertentu.
Penangkapan boleh dilakukan pada waktu tertentu sesuai kesepakatan yang
telah dibuat.
Kawasan Hutan Nagari Sungai Buluh menjadi pemasok atau sumber utama
mata air Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang mengaliri sebagian
wilayah kecamatan di Kabupaten Padang Pariaman. Bahkan pipa PDAM juga
masuk mengaliri Bandara Internasional Minangkabau (BIM).
Hutan di nagari yang dikelilingi bukit barisan tersebut mendapat izin
dari menteri kehutanan tentang hutan nagari sesuai dengan SK Penetapan
Areal Kerja dengan nomor. SK.856/Menhut-II/2013 tanggal 2 Desember 2013
seluas 1.336 hektare. Pengelolaan juga ditindaklanjuti dengan Hak
Pengelolaan Hutan Nagari oleh Gubernur Sumatera Barat
Nomor.522.4-789-2014 tanggal 16 Oktober 2014 dengan luas 780 hektare.
“Hasil dari hutan nagari ini akan kami berdayakan untuk masyarakat,
seperti memanfaatkan hasil bumi sesuai dengan aturannya. Salah satunya
membuat kerajinan tangan dari rotan yang kami peroleh dari hutan nagari
ini,” terang Sjaharudin.
Ketua lembaga Pengelola Hutan Nagari (LPHN) Sungai Buluh Datuak Rajo
Batuah mengatakan, adanya kearifan lokal yang digunakan untuk menjaga
hutan dan lingkungan akan berdampak pada kelestarian alam. Hal itu juga
akan berpengaruh untuk kesejahteraan masyarakat.
“Disini jika ada yang melanggar peraturan, seperti menebang pohon di
hutan larangan maka dikenakan sangsi harus membayarnya dengan satu ekor
kambing, atau kepala kerbau,” terang Datuak.
Menurutnya, saat ini banyak masyarakat yang beralih memanfatkan tanaman
yang menghasilkan seperti durian, rotan, petai, coklat dan buah-buahan
lainnya. Diakuinya beberapa tahun lalu masih ada sebagian masyarakat
yang memanfaatkan kayu di hutan atau yang disebut illegal loging.
Potensi Eko Wisata
Hutan Nagari Sungai Buluh memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi
eko wisata, kondisi hutan tropis yang masih primer, sekunder, air terjun
sarasah, ikan dan hutan larangan, salah satu bentuk yang dapat
dijadikan objek wisata. Jarak hutan nagari dengan jalan utama atau dari
BIM sekitar 20 menit juga menjadi faktor utama untuk menarik wisatawan.
Pengunjung pun juga dapat menikmati kegiatan Agro Foresty, Silvo
Pastur, Silvifishery, Sosial Budaya, dan kesenian tradisional. Bahkan
untuk menjaga kearifan lokal serta menumbuhkan lapangan kerja, Nagari
Sungai Buluh tidak menggunakan mesin bajak di sawah, mereka memanfaatkan
tenaga wanita (ibu-ibu) dalam membajak, dan menanam, sedangkan untuk
panen mereka menggunakan tenaga pria.
Ketua Kelompok Sadar Wisata, Hendra menyampaikan, pengembangan eko
wisata mulai berdampak kepada pemikiran pemuda-pemudi. Hal itu terlihat
dengan aktifnya pemuda untuk menyusun konsep eko wisata.
“Pemuda dan pemudi disini sudah membuat kelompok usaha jamur. Lalu ada
kerajinan bola dari rotan, ini menunjukan dampak yang positif, bahkan
kami bangga pemuda ini bersikap ramah setiap ada tamu yang datang ke
nagari kami ini,” ujarnya.
Sementara itu, Kasubdit Penyiapan Hutan Desa Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Erna Rosdiana menilai, hutan nagari sungai buluh
adalah aset dalam pengembangan ekowisata. Ia menjelaskan ada 70 hutan
desa telah diterbitkan izinnya, dan sekitar 400 desa masih proses izin.
Lebih lanjut ia mengatakan, ada pembagian hutan kemasyarakatan, dan
hutan tanaman rakyat. Hal itu dapat diartikan membolehkan wisata dan
dikelola di dalam hutan tetapi bukan untuk dimiliki atau diperjual
belikan.
"Pengembangan ekowisata memang tidak mudah dan cepat, butuh keseriusan
dan kesabaran, termasuk dalam mengurus regulasinya. Selain itu juga
perlu konsep yang jelas, seperti pemetaan wilayah, jalan, infografis,
titik kordinat, dan ini dipetakan dalam area kerja,” ungkapnya.***
Laporan: Rivo Septi Andries