HIDE

GRID

GRID_STYLE

Post Snippets

FALSE

Hover Effects

TRUE
{fbt_classic_header}

Breaking News:

latest

Ini Pesan Unik Dari Penghulu Dalam Menjaga Kelestarian Hutan Nagari Sungai Buluh

“Tahun bialah batuka, musim bialah baganti, maso bialah barubah, zaman bialah baganti. Nan sandi adat jan dirusak, tiang agamo jan dirun...

“Tahun bialah batuka, musim bialah baganti, maso bialah barubah, zaman bialah baganti. Nan sandi adat jan dirusak, tiang agamo jan diruntuah, budi jan sampai tajua, paham jan sampa tagadai, jago harkat dan martabat. Sasungguahnyo manusia itu talatak pado hargo diri,”untaian pesan penghulu (datuk dalam suku) itu tertulis jelas di salah satu monumen di Korong Salisikan, Nagari Sungai Buluh, Kecamatan Batang Anai, Padang Pariaman, Minggu (12.6). Udara lembab masih terasa di pagi itu.

Sesosok lelaki paruh baya melangkah menuju monumen penghulu yang berlokasi di pinggir jalan tanpa aspal. Dengan penuh semangat, Sjaharudin (67), yang menjabat Wali Nagari Sungai Buluh itu mulai mengamati rincian kata-kata yang tertulis di monumen.

“Ini adalah pesan, aturan, dan kesepakatan antara 16 penghulu dari lima suku yang ada di nagari ini yang harus dipatuhi serta dijalankan oleh masyarakat nagari,”ujarnya.

Menurut Syafarudin, ia bersama masyarakat lainnya masih menjunjung tinggi pesan penghulu. Karena dalam pesan itu diajarkan bagaimana manusia harus mempunyai harga diri, dan harus bertahan meski zaman berganti.

“ini penting dilakukan untuk menjaga harga diri termasuk dalam melindungi kampung beserta isi alamnya, seperti hutan. Pesan ini sudah dibuat oleh nenek moyang kami dahulu, namun dulu masih berbentuk lisan,”papar pensiunan polisi itu.

Masyarakat Sungai Buluh masih mempercayai filsafah yang diturunkan oleh nenek moyang. Selain pesan dari penghulu, di nagari tersebut juga ada pesan dari ulama. Hal ini sesuai dengan falsafal minang yang berbunyi Adat Basandi Syara, Syara Basandi Kitabulah.

Nagari Sungai Buluh memiliki dua Korong yakni Korong Salisiakan dan Kuliek dan berada di bawah Kecamatan Batang Anai, Kabupaten Padang Pariaman. Dengan jumlah penduduk 14.672, nagari yang bermukim di kawasan perbukitan tersebut memiliki beraneka ragam kekayanan hutan.

Dalam menjaga kekayaan hutan tersebut, masyarakat tetap berpedoman kepada pesan penghulu dan ulama. Selain itu nagari yang masih menggunakan kearifan lokal itu juga membagi wilayah hutan sesuai topografi dan rencana pengelolaan seperti hutan larangan, hutan cadangan, kawasan olahan, dan hutan kesepakatan.

Tidak hanya itu, masyarakat juga memakai sistem larangan yang berbasis kearifan lokal untuk memelihara ikan atau mereka menyebutnya ikan larangan. Dalam larangan itu terbentuk dari hasil kesepakatan seluruh lapisan masyarakat yang melarang menangkap ikan di lokasi tertentu. Penangkapan boleh dilakukan pada waktu tertentu sesuai kesepakatan yang telah dibuat.

Kawasan Hutan Nagari Sungai Buluh menjadi pemasok atau sumber utama mata air Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang mengaliri sebagian wilayah kecamatan di Kabupaten Padang Pariaman. Bahkan pipa PDAM juga masuk mengaliri Bandara Internasional Minangkabau (BIM).

Hutan di nagari yang dikelilingi bukit barisan tersebut mendapat izin dari menteri kehutanan tentang hutan nagari sesuai dengan SK Penetapan Areal Kerja dengan nomor. SK.856/Menhut-II/2013 tanggal 2 Desember 2013 seluas 1.336 hektare. Pengelolaan juga ditindaklanjuti dengan Hak Pengelolaan Hutan Nagari oleh Gubernur Sumatera Barat Nomor.522.4-789-2014 tanggal 16 Oktober 2014 dengan luas 780 hektare.

“Hasil dari hutan nagari ini akan kami berdayakan untuk masyarakat, seperti memanfaatkan hasil bumi sesuai dengan aturannya. Salah satunya membuat kerajinan tangan dari rotan yang kami peroleh dari hutan nagari ini,” terang Sjaharudin.

Ketua lembaga Pengelola Hutan Nagari (LPHN) Sungai Buluh Datuak Rajo Batuah mengatakan, adanya kearifan lokal yang digunakan untuk menjaga hutan dan lingkungan akan berdampak pada kelestarian alam. Hal itu juga akan berpengaruh untuk kesejahteraan masyarakat.

“Disini jika ada yang melanggar peraturan, seperti menebang pohon di hutan larangan maka dikenakan sangsi harus membayarnya dengan satu ekor kambing, atau kepala kerbau,” terang Datuak.

Menurutnya, saat ini banyak masyarakat yang beralih memanfatkan tanaman yang menghasilkan seperti durian, rotan, petai, coklat dan buah-buahan lainnya. Diakuinya beberapa tahun lalu masih ada sebagian masyarakat yang memanfaatkan kayu di hutan atau yang disebut illegal loging.

Potensi Eko Wisata
Hutan Nagari Sungai Buluh memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi eko wisata, kondisi hutan tropis yang masih primer, sekunder, air terjun sarasah, ikan dan hutan larangan, salah satu bentuk yang dapat dijadikan objek wisata. Jarak hutan nagari dengan jalan utama atau dari BIM sekitar 20 menit juga menjadi faktor utama untuk menarik wisatawan.

Pengunjung pun juga dapat menikmati kegiatan Agro Foresty, Silvo Pastur, Silvifishery, Sosial Budaya, dan kesenian tradisional. Bahkan untuk menjaga kearifan lokal serta menumbuhkan lapangan kerja, Nagari Sungai Buluh tidak menggunakan mesin bajak di sawah, mereka memanfaatkan tenaga wanita (ibu-ibu) dalam membajak, dan menanam, sedangkan untuk panen mereka menggunakan tenaga pria.

Ketua Kelompok Sadar Wisata, Hendra menyampaikan, pengembangan eko wisata mulai berdampak kepada pemikiran pemuda-pemudi. Hal itu terlihat dengan aktifnya pemuda untuk menyusun konsep eko wisata.

“Pemuda dan pemudi disini sudah membuat kelompok usaha jamur. Lalu ada kerajinan bola dari rotan, ini menunjukan dampak yang positif, bahkan kami bangga pemuda ini bersikap ramah setiap ada tamu yang datang ke nagari kami ini,” ujarnya.

Sementara itu, Kasubdit Penyiapan Hutan Desa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Erna Rosdiana menilai, hutan nagari sungai buluh adalah aset dalam pengembangan ekowisata. Ia menjelaskan ada 70 hutan desa telah diterbitkan izinnya, dan sekitar 400 desa masih proses izin.

Lebih lanjut ia mengatakan, ada pembagian hutan kemasyarakatan, dan hutan tanaman rakyat. Hal itu dapat diartikan membolehkan wisata dan dikelola di dalam hutan tetapi bukan untuk dimiliki atau diperjual belikan.

"Pengembangan ekowisata memang tidak mudah dan cepat, butuh keseriusan dan kesabaran, termasuk dalam mengurus regulasinya. Selain itu juga perlu konsep yang jelas, seperti pemetaan wilayah, jalan, infografis, titik kordinat, dan ini dipetakan dalam area kerja,” ungkapnya.***

Laporan: Rivo Septi Andries