Banyak petani yang menggantungkan hidupnya dari kelapa sawit. Komoditas ini dinilai lebih menguntungkan dibandingkan tanaman pertanian l...
Banyak petani yang
menggantungkan hidupnya dari kelapa sawit. Komoditas ini dinilai lebih
menguntungkan dibandingkan tanaman pertanian lainnya. Petani sawit juga terlibat aktif untuk melakukan praktek sawit yang berkelanjutan (sustainability) sesuai standar ISPO dan RSPO.
PortalHijau - Berbekal lahan seluas dua hektare, Purwati bersama Sampurna,
suaminya, mengadu nasib ke Desa Delima Jaya, Kecamatan Kerinci Kanan,
Kabupaten Siak, Provinsi Riau. Pasangan asal Lumajang, Jawa Timur, ini
adalah transmigran yang mengadu nasib menjadi petani sawit.
“Ketika sampai di Siak, saya tidak tahu caranya bertanam sawit. Tapi
saya bersama suami mau belajar,” ujarnya ketika ditemui di Riau, di
penghujung April.
Bukan tanpa alasan Purwanti menempuh jarak 2.278 kilometer dari
Lumajang menuju Siak. Purwanti bercerita lapangan kerja di kampungnya
masih terbatas. Itu sebabnya, mereka berani mengadu nasib sampai ke
Siak. Selain itu, kakak suaminya yang mendorong mereka menjadi petani
petani sawit.
“Lahan dua hektar yang kami tanami sawit milik kakak suami saya. Dia sudah lebih dulu menjadi petani sawit,” cerita Purwanti.
Pada awal merintis, pengetahuan merawat kelapa sawit diperoleh dari
kakak suaminya.
“Kalau pertama-tama nanya-nanya ke saudaranya Bapak (Sampurna-red)
karena dia lebih banyak tahu. Kita juga mendapatkan lahan dari dia
untuk diteruskan. Kalau usaha di bidang ini juga nggak rumit-rumit
amat,”ujarnya.
Pelajaran mengelola sawit datang dari Asian Agri, perusahaan kelapa
sawit yang beroperasi di Indonesia mulai 1979. Purwati menyebutkan
pelatihan yang diterimanya antara lain perawatan tanaman, pemupukan dan
pemilihan bibit.
Setelah 21 tahun berjuang, Purwati merasakan buah manis dari
perjuangannya. Berkat usaha ini pula dia dapat memenuhi kebutuhan empat
anggota keluarganya. Punya tempat tinggal dan menyekolahkan anak
perempuannya di bangku Sekolah Menengah Atas. “Bagus buat masa depan,
terutama yang hidup di Riau. Saya dengan keluarga akan meneruskan
bertani kelapa sawit karena tidak ada pekerjaan lagi,”ujar Purwati.
Dalam sebulan, produksi Tandan Buah Sawit (TBS) yang dihasilkan
mencapai 3 ton. Hasil panen dijual ke pabrik sawit milik Asian Agri.
Harga yang diberikan tidak menentu bergantung dari penetapan harga TBS
provinsi setiap bulan. Bulan April kemarin, dia sempat terima harga Rp
1.889 per kilogram lalu turun menjadi Rp 1.867,17 per kilogram. Dalam
sebulan, penghasilan yang diterimanya antara Rp 4 juta hingga Rp 5 juta.
“Namun penghasilan ditentukan produksi buah sawit. Produksi kami
dipengaruhi kondisi musim dan cara perawatan. Kadang panen bisa dapat
1,5 ton bahkan lebih. Jadi, nggak pasti,” tuturnya.
Di wilayah Sumatera dan Kalimantan, kelapa sawit menyelamatkan
kehidupan masyarakat setempat dan pendatang. Dibandingkan palawija,
berkebun sawit menghasilkan pendapatan lebih. Penelitian Palm Oil
Agribusiness Strategic Institute (PASPI) menunjukkan pendapatan petani
sawit naik signifikan dari Rp 16 juta per kapita (2009) menjadi Rp 36
juta per kapita (2013). Lebih tinggi dibandingkan petani padi dan petani
karet sebesar Rp 5,2 juta per kapita menuadi Rp 7,4 juta per kapita
dengan periode sama. (Qayuum)