PortalHijau - Beragam harapan terpancar saat Korsup (Koordinasi dan Supervisi) KPK di sektor perkebunan sawit hadir di Sumatera Selatan ...
PortalHijau - Beragam harapan terpancar saat Korsup (Koordinasi dan Supervisi) KPK di
sektor perkebunan sawit hadir di Sumatera Selatan (Sumsel). Gubernur
Sumsel Alex Noerdin berharap perusahaan perkebunan sawit membayar pajak
ke Sumsel, sehingga bukan hanya asap yang didapatkan pemerintah dan
masyarakat Sumsel. Pegiat lingkungan hidup juga berharap, KPK memberikan
sanksi hukum terhadap perusahaan yang terbukti merambah hutan.
Selama empat hari, 25-29 April 2016, KPK melakukan korsup perkebunan
sawit. Ini menyusul kegiatan yang sama di Kalimantan Barat dan Jambi.
KPK (Komisi Perberantasan Korupsi) menilai, ada delapan permasalahan
utama terkait perkebunan sawit di Sumsel ini. Misalnya soal perizinan,
optimalisasi penerimaan negara, hingga tata niaga CPO. Celah korupsinya
pada sektor perizinan. Misalnya, soal penerbitan izin lokasi, serta hak
guna usaha (HGU) sawit yang tumpang tindih dengan kawasan hutan.
Demikian Sulistyanto, Ketua Tim Koordinasi Supervisi (Korsup) KPK
Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit, menuturkan sebagaimana yang dikutip
dari siaran pers dalam Kegiatan Koordinasi & Supervisi KPK dan
Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA) di Hotel Swarna
Dwipa, Kamis (28/04/2016).
10.244 hektare masuk kawasan hutan
Berdasarkan analisis spasial, Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (KLHK) mencatat sekitar 7.016 hektare hak guna usaha (HGU) dan
10.244 hektare izin usaha perkebunan sawit yang terindikasi tumpang
tindih dengan kawasan hutan di Sumsel.
“Kondisi tersebut terjadi di berbagai jenis hutan. Baik itu hutan
produksi tetap (HP), hutan produksi terbatas (HPT), dan hutan produksi
yang dapat dikonversi (HPK),” kata Direktur Pengukuhan dan Penatagunaan
Kawasan Hutan KLHK Muhammad Said.
Tumpang tindih lahan seluas 10.244 hektare tersebut merupakan milik
18 perusahaan. Sekitar 3.447 hektare berada di kawasan HPK tapi memiliki
pelepasan kawasan. Ini milik 11 perusahaan. Sementara 6.796 hektare
berada di kawasan HPT dan HP, tiga HGU terindikasi dalam kawasan HPK
seluas 80 hektare, serta empat HGU di kawasan HP dan HPT seluas 6.936
hektare.
Bagaimana menyelesaikan persoalan ini? Menurut Said, pemerintah dapat menggunakan dua instrumen. Pertama, pasal 51 Peraturan Pemerintah Nomor 104 tahun 2015 tentang Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan. Kedua, melalui penegakan hukum untuk perkebunan yang tidak memenuhi kriteria peraturan pemerintah tersebut.
Terkait PP No.104 tahun 2015, pemegang izin dapat mengajukan
permohonan kepada Menteri LHK dengan waktu paling lama satu tahun sejak
berlakunya peraturan tersebut, atau terakhir pada 28 Desember 2016.
Fakhrurrozi, Kepala Dinas Perkebunan Sumsel, mengatakan, tumpang
tindih lahan di kawasan hutan tersebut baru sebatas indikasi. Pihaknya
akan melakukan pengecekan kebenarannya. “Kami mau cek dulu. Kami belum
benar-benar lihat data yang diungkapkan Kementerian LHK tersebut,”
katanya seperti dikutip dari Berita Pagi.
Tri Astuti, Kepala Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah Kantor
Wilayah BPN Sumsel, mengatakan pihaknya selalu berkoordinasi dengan
Dinas Kehutanan Sumsel untuk memastikan HGU berada di luar kawasan
hutan.
Selama lima tahun terakhir, BPN Kanwil Sumsel menerbitkan sekitar 50
sertifikat perusahaan, yang mayoritas digunakan untuk perkebunan sawit.
Berdasarkan data Kementerian LHK, terdapat 41 perusahaan perkebunan
sawit yang mengajukan pelepasan kawasan hutan, dan ada 4 perusahaan yang
masih tahap persetujuan prinsip. Total 41 perusahaan itu menggunakan
241.502,84 hektare lahan di hutan untuk dijadikan perkebunan sawit.
Penegakan hukum
Sulistyanto mengatakan persoalan terkait perizinan perkebunan sawit,
bisa saja akibat regulasi yang dibuat pemerintah. Contohnya, Permentan
Nomor 98/2013 tentang pedoman perizinan usaha perkebunan yang mengatur
pembentukan lahan plasma oleh perusahaan. Di aturan tersebut, penyediaan
plasma oleh perusahaan di luar izin usaha perkebunan (IUP) yang
diberikan. Ini berbeda dengan peraturan sebelumnya, yang mewajibkan
lahan plasma masuk dalam IUP perusahaan. Akibatnya, sebagian perusahaan
cenderung mencari daerah lain, termasuk merambah hutan. Ini yang
menyebabkan tumpang tindih lahan perkebunan dengan kawasan hutan.
Terkait contoh tersebut, pihaknya mengarah pada penataan regulasi
yang menjadi penyebab terjadinya potensi korupsi. Misalnya melakukan
revisi peraturan yang memiliki celah korupsi. Namun, pada tahap awal
korsup ini, KPK melakukan konsolidasi data dan peta, termasuk data
terkait perkebunan milik masyarakat.
Adio Syafri dari Hutan Kita Institute (HaKI) menilai Korsup
Perkebunan Sawit KPK tersebut dapat memberikan dampak positif terhadap
perbaikan tata kelola perkebunan sawit. Misalnya terkait kepastian ruang
bagi perkebunan milik perusahaan maupun masyarakat. “Adanya
akuntabilitas dalam pengelolaan ruang untuk perkebunan,” katanya kepada Mongabay Indonesia.
Namun, Adio berharap KPK melakukan penegakan hukum terhadap
perusahaan yang telah terbukti menggunakan kawasan hutan untuk
perkebunannya. “Upaya pencegahan itu bagus, tapi juga yang sudah tahu
tapi melanggar ya harus dihukum,” katanya.
Pajak sawit ke pusat, Sumsel dapat asap
Saat membuka Kegiatan Koordinasi & Supervisi KPK dan Gerakan
Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA), Gubernur Sumsel Alex
Noerdin, meminta para pemilik atau perusahaan perkebunan di Sumsel untuk
membayar pajak di Sumsel. Selama ini mereka tidak mau membayar pajak di
Sumsel dengan alasan kantor pusat perusahaan tersebut berada di
Jakarta.
“Bayar pajak di sini dong, jangan ditempat lain. Kebunnya terbakar,
kita kena asap, tapi (mereka) bayar pajaknya di tempat lain. Kepada
bupati dan wali kota, setiap (perusahaan sawit) yang ada di daerah Anda
supaya membayar pajaknya di Sumsel, jangan di luar Sumsel. Bayar di di
kabupaten masing-masing. Buat surat ke perkebunan, nanti saya tekankan
juga kalau yang tak mau bayar (pajak) tidak usah diterusklan,” kata Alex
seperti dikutip dari Tribun Sumsel.
“Soal pajak ini juga perusahaan pertambangan, seperti Bukit Asam (PT.
Batubara Bukitasam), Chonoco Philips, atau Pusri (PT. Pusri) dan lain
sebagainya harus bayar (pajak) di Sumsel,” katanya.
Dikatakan Alex, luas perkebunan sawit di Sumsel mencapai 3,4 juta
hektare atau 39,16 persen dari luas Sumsel (8,7 juta hektare). Dari
jumlah tersebut, 76,06 persen atau 1,9 juta hektare merupakan perkebunan
milik rakyat, sisanya 23,93 persen adalah perkebunan besar. Seharusnya,
kata Alex, dari luasan perkebunan tersebut, masyarakat dan pemerintah
daerah mendapatkan manfaat dan pendapatan sebanding, “Sayang ini belum
terealisasi,” paparnya. - Taufik Wijaya, Mongabay Indonesia