PortalHijau - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melibatkan sejumlah perguruan tinggi dalam upaya pengendalian perubaha...
PortalHijau - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melibatkan sejumlah
perguruan tinggi dalam upaya pengendalian perubahan iklim guna
mewujudkan komitmen Indonesia dalam menurunkan emisi gas rumah kaca 29
persen pada 2030.
"Agenda perubahan iklim untuk seluruh dunia,
memerlukan dukungan keilmuan, mulai dari ilmu dasar sampai ilmu-ilmu
terapa yang jeals dibutuhkan dalam rangkaian kerja pengendalian
perubahan iklim," kata Menteri LHK Siti Nurbaya dalam acara lokakarya
bertema "Pengarusutamaan Isu Perubahan Iklim ke dalam Pengembangan
Pendidikan Tinggi dan Kebijakan Riset Nasional", di IPB ICC, Kota Bogor,
Selasa.
Siti mengatakan dampak perubahan iklim sudah sangat
nyata. Tercatat pada tahun 2016 sudah terjadi tidak kurang dari 350 ribu
orang di kawasan Pasifik harus kehilangan tempat hidupnya akrena
hilangnya pulau akibat naiknya permukaan air laut.
"Beberapa
dampak perubahan iklim sudah nyata, banjir, badai laut, bahkan mungkin
turbulensi udara yang dialami dua pesawat yang baru ini terjadi bisa
jadi karena perubahan iklim," katanya.
Menurutnya, dalam konteks
global pendidikan tinggi dan riset dalam ilmu bumi yang berarti bekerja
pada level supra-nasional dan skala global.
Begitu pula dengan keterlibatan ilmiah global sebagai upaya untuk memahami proses-proses perubahan iklim dan dampaknya.
"Seluruh
negara harus memiliki kapasitas akademik dan profesional untuk
memonitor seluruh proses dan dalam kontribusi mengelola perubahan
iklim," katanya.
Menteri mengatakan Indonesia telah menyatakan
komitmen untuk menjadi bagian dari 55 negara yang pertama akan
meratifikasi kesepakatan Paris.
Sesuai dengan mandat konstitusi Indonesia harus menyediakan lingkungan yang baik bagi warganegaranya.
"KLHK
dan National Focal Point of UNFCCC telah menyusun serangkaian rencana
tindak dalam rangka proses penandatanganan dan ratifikasi kesepatakan
Paris. Dalam proses menuju ratifiaksi KLHK akan melibatkan berbagai
elemen para pemangku kepentingan termasuk kalangan perguruan tinggi,"
katanya.
Menurut Siti, untuk tahap awal ada dua hal persiapan
penting yang perlu dilakukan yakni mekanisme teknis perundang-undangan
dan mekanisme aspriatif yang harus berlangsung dalam bentuk penjelasan
untuk pemahaman masyarakat yang akhirnya berproses di parlemen.
"Rangkaian
proses ini memerlukan peran akademisi, baik dalam justifikasi maupun
dalam formulasi kebijakan sehingga penetapannya secara normatif
mendukung pemerintah dan parlemen," katanya.
Lokakarya
"Pengarusutamaan Isu Perubahan Iklim ke dalam Pengembangan Pendidikan
Tinggi dan Kebijakan Riset Nasional" dibuka secara resmi oleh Menteri
LHK, Rektor IPB Prof Herry Suhardiyanto. Hadir sebagai pembicara kunci
Utusan Khusus Presiden untuk Perubahan Iklim Rahmat Witular yang
menyampaikan Indonesia dan negara-negara lain terancam dampak perubahan
iklim.
"Perubahan iklim tidak hanya berpusat pada satu ilmu saja,
tetapi banyak ilmu dari satu paradikma ke paradikma lainnya," kata dia.
Ia
mengingatkan agar persoalan perubahan iklim tidak hanya dipahami
kalangan akademisi saja tetapi dapat ditransfer sehingga dapat dipahami
oleh semua lapisan mulai dari tataran pemerintahan hingga masyarakat.
"Pengarustamaan
perubahan iklim itu harus ada, menimbulkan kepedulian, baru dapat
menghadirkan kapasitas mengatasi perubahan iklim," katanya.
Rektor
IPB Prof Herry Suhardiyanto mengatakan, peran perguruan tinggi menjadi
sangat menentukan dalam upaya pengendalian perubahan iklim, terutama
dalam pendidikan riset harus melibatkan persoalan lingkungan.
"IPB
bekerja sama dengan organisasi keilmuan lainnya dan perguruan tinggi
lainnya bersama-sama mengupayakan untuk mendukung pengendalian perubahan
iklim. Sebagaimana yang ditargetkan bangsa kita menurunkan emisi gas
rumah kaca pada 2030 sebesar 29 persen," katanya. Taufik Rachman