PortalHijau - Sekitar 50 ton kayu ilegal jenis merbau, damar, meranti, dan keruing yang coba diselundupkan melalui jalur Sungai Tamiang,...
PortalHijau - Sekitar 50 ton kayu ilegal jenis merbau, damar, meranti, dan keruing
yang coba diselundupkan melalui jalur Sungai Tamiang, berhasil
digagalkan dalam operasi yang digelar Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)
III Langsa, Dinas Kehutanan Aceh dan Forum Konservasi Leuser (FKL) yang
dibantu aparat kepolisian setempat, Sabtu (2/4/2016). Lokasi kayu tanpa
dokumen tersebut berada di Desa Perupuk, Kecamatan Bandar Pusaka, Aceh
Tamiang, Aceh.
Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) III Dinas Kehutanan Aceh,
Anas Mahmudi, Senin (4/4/2016) menjelaskan, kayu yang telah diikat
seperti rakit itu, diperkirakan berasal dari Kecamatan Simpang Jernih,
Kabupaten Aceh Timur. “Pelaku tidak kami temukan meski personil KPH
telah melakukan pemantauan sehari semalam.”

Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Aceh, Husaini Syamaun menuturkan,
Sungai Tamiang, termasuk salah satu sungai di Aceh yang sering digunakan
oleh para pembalak liar untuk menyelundupkan kayu tanpa butuh biaya
besar. “Sejak dibentuk KPH berdasarkan daerah aliran sungai (DAS) di
Aceh, pengamanan hutan dan penegakan hukum lebih mudah dilakukan, karena
langsung ditangani oleh Dinas Kehutanan Provinsi.”
Dinas Kehutanan Aceh akan berupaya menangkap para pembalak dan
menyita kayu hasil curiannya. Pada 30 Maret 2016, BKPH Peureulak,
Peunaron, dan Lokop, Kabupaten Aceh Timur, juga berhasil menyita enam
meter kubik kayu tebangan yang ditinggalkan di hutan.
“Kejadian ini sering terjadi. Pelaku meninggalkan kayu olahannya saat
mengetahui ada personil polisi kehutanan atau pengamanan hutan yang
berpatroli,” papar Husaini.
Field Manager Forum Konservasi Leuser (FKL) Langsa, Tezar
Pahlevie yang ikut dalam operasi tersebut sangat mengapresiasi kerja
keras KPH. “Penyitaan ini merupakan yang terbesar selama oerasi
dilakukan.”

Sebagai bagian dari Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), hutan di Aceh
Tamiang harus dijaga dari para pembalak dan perambah. Bila tidak ada
aturan khusus, FKL khawatir, kerusakan akan semakin parah. “Kita harus
menyelamatkan KEL karena penyangga Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).
Jika KEL rusak, TNGL akan langsung mendapat tekanan yang berat, karena
tidak ada penopang.”
Selain itu, sambung Tezar, di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) hidup
berbagai satwa liar dilindungi dan hampir punah, seperti gajah sumatera
dan harimau sumatera. “Gajah sumatera membutuhkan kawasan landai atau
datar. Kalau KEL hancur, nasib gajah juga akan terancam karena
kehilangan daerah jelajah dan konflik antara satwa liar dengan manusia
akan lebih sering terjadi. Kita harus tindak para pembalak liar yang
merusak KEL, termasuk yang di Aceh Tamiang ini,” ungkapnya. Tezar Pahlevie - Mongabay