PortalHijau - Haluan perahu sepanjang sebelas meter yang kami tumpangi berkali-kali terangkat ke udara, berkali-kali pula terempas ke ...
PortalHijau - Haluan perahu sepanjang sebelas
meter yang kami tumpangi berkali-kali terangkat ke udara, berkali-kali
pula terempas ke permukaan air. Sebelas penumpang yang duduk di lambung
perahu tak beratap itu hanya bisa merunduk di dalam mantel. Air laut tak
cuma memercik, tapi seakan-akan dibanjurkan.
Di tengah situasi mendebarkan, tiba-tiba fotografer Eko Siswono
Toyudho mengangkat kepalanya dan menunjuk ke arah buritan. “Gokil!” Dia
berseru sembari menggeleng-gelengkan kepala melihat Samsudin Bugis, juru
mudi perahu, berdiri tenang.
Meski perahunya dipermainkan gelombang, tak terlihat rasa gentar pada
sikap tubuh ataupun air muka pria yang akrab disapa Oman itu. Sambil
sesekali memberikan instruksi kepada asistennya, tatapan mata nelayan 50
tahun itu terpusat pada ufuk yang sesekali lenyap dilahap gelombang.
Pagi hari di awal Oktober 2015, perairan Laut Banda di wilayah
Kepulauan Kai (sering juga disebut Kei), Maluku Tenggara, memamerkan
keperkasaannya. Ombak setinggi tiga-lima meter menyambut saya, Eko,
Oman, dan sembilan warga Tual yang hendak berkunjung ke Tanimbar Kei,
pulau paling selatan di Kepulauan Kai.
“Laut seperti ini masih terbilang teduh,” kata Oman. Baru selesai dia
berbicara seperti itu, haluan speed—julukan perahu motor di
sana—kembali terangkat ombak besar dan menghantam permukaan air. Badan
perahu berbahan serat kaca itu berderak seakan-akan hendak retak.
TANIMBAR Kei berjarak 51 kilometer dari Langgur, ibu kota Maluku
Tenggara, dan bisa ditempuh dalam waktu empat jam memakai speed. Tidak
ada pelayaran komersial menuju pulau ini, tapi kita bisa menyewa perahu
nelayan lokal dari Kota Kecamatan Debut.
Kami ke sana untuk menemui dua raja yang merupakan pemegang adat
tertinggi. Di sanalah intisari dari keyakinan para pelaut Kai
dikekalkan. Keyakinan akan lautlah yang membuat mereka menjaga samudra
seperti merawat halaman depan rumah sendiri.
Karena waktu tempuhnya lama, perjalanan ke Tanimbar Kei disarankan
dilakukan dalam dua etape. Pertama-tama, menginap dulu di salah satu
pulau kecil yang berserakan di selatan Kepulauan Kai, seperti Warbal, Ur
Pulau, dan Taroa.
Sehari sebelum ke Tanimbar Kei, kami diajak menginap oleh Oman dan
keluarganya di Pulau Taroa (Tarwa). Pulau ini ibarat markas nelayan
keturunan Bugis. Setiap suku yang menetap di Kai memang punya semacam
wilayah kekuasaan yang disebut petuanan (hak ulayat) untuk mengolah
lahan atau hasil laut di beberapa pulau.
Di pulau yang luasnya sekitar satu setengah kali Lapangan Silang
Monas ini, hanya ada 60 keluarga yang tinggal musiman. Hampir 30 rumah
kayu semipermanen terpusat di sisi utara pulau, membelakangi kebun
kelapa dan hutan pantai yang rimbun.
Menjelang senja, Waariyah, istri Oman, memanggil kami yang sedang
asyik berenang dan bermain air di pantai sekitar pulau. “Ayo makan dulu,
beta su siapkan ikan bakar!” Inilah saat yang paling kami nantikan.
Masih dengan badan dan rambut basah, kami antre.
“Jangan khawatir kehabisan ikan, ini masih banyak yang belum
dibakar,” kata Waariyah sambil menunjuk baskom yang dipenuhi ikan kakap,
garopa (kerapu), hingga tenggiri. Ukurannya dari yang hanya setelapak
tangan sampai yang sebesar paha. Insang mereka masih berdenyut-denyut.
Waariyah tak memakai resep khusus untuk membakar ikan, yang dia pilih
langsung dari jala nelayan yang baru mendarat. Ikan-ikan yang sudah
dibersihkan, tak dilumuri bumbu apa pun, langsung dipanggang di atas
jejeran batang daun nyiur. Bahan bakarnya sabut kelapa, aromanya tiada
tara. Saat baru setengah matang, ikan-ikan itu diangkat dan dicelupkan
ke dalam ember berisi air laut, lalu dibakar kembali. “Nah, ini
bumbunya, supaya sedikit ada rasa.”
Yang spesial dari ikan bakar buatan perempuan 42 tahun ini ialah
pelengkapnya. Waariyah membuat sambal mentah berbahan tomat, cabai
merah, cabai rawit, dan daun kemangi yang diulek kasar. “Ini namanya
sambal colok,” ujarnya. Pada suapan pertama, lidah seakan-akan disetrum
rasa pedas, yang segera disusul cucuran keringat.
Karbohidrat berasal dari embal, makanan pokok orang Kai. Embal adalah
olahan kasbi atau singkong beracun yang tumbuh subur di tanah Kai.
Supaya racunnya hilang, parutan kasbi diperas berkali-kali dan dijemur.
Adonan parutan itu kemudian dicetak menjadi kepingan-kepingan kecil
mirip kue wafel, lalu dikukus. Tampilannya kasar, mirip kerupuk, tapi
rasanya tawar dan lembek saat digigit.
Muan bena!–“selamat makan” dalam bahasa Kai. Setelah
pertempuran penuh keringat dan suara desahan pedas, akhirnya kami
duduk-duduk di pinggir pantai, dengan perut sedikit membuncit.
Teh kayu manis hangat dan pisang kepok goreng sebagai makanan penutup
dihidangkan saat api unggun mulai dinyalakan. Setiap orang seakanakan
terbius suasana di sore hari yang sempurna itu. Kami terdiam–entah
karena takjub entah hanya kekenyangan–memandangi matahari senja berwarna
merah membara yang mulai merambat turun. Aneka burung laut, seperti
kedidi atau trinil, beterbangan menuju peraduannya di hutan di belakang
kami.
Malam terasa lebih gelap di Taroa—karena memang tidak ada lampu.
Dalam gelap, bintang terasa begitu dekat. Formasi galaksi bimasakti
sempat terlihat di arah barat pulau.
Muksin Masbait, 60 tahun, salah satu penduduk Taroa yang ikut
menikmati hangatnya api unggun, menunjuk sebuah formasi bintang yang
dalam bahasa Kai disebut Yefar atau Hiu Pari (yew berarti hiu dan far
berarti ikan pari). Saya yang awam tak mengenali rasi itu, tapi dia
dengan mudah menunjuk konstelasi yang bahasa ilmiahnya disebut Crux.
Benda langit menjadi patokan buat nelayan Kai. “Bintang Yefar kami
gunakan untuk melihat musim,” kata Muksin. Jika posisinya condong ke
barat, musim angin timur akan datang. Ini musim yang bersahabat buat
nelayan untuk melaut. Angin tidak terlalu kencang dan biasanya ikan
berdatangan ke perairan Kai.
Ketika kayu bakar menjadi bara, satu per satu warga desa masuk ke
rumah. Kami bermalam di gubuk beratap rumbia tanpa dinding, langsung
menghadap ke laut. Cuaca malam itu bersahabat. Angin sepoi-sepoi membuai
kami hingga mengantuk. Sebelum tidur, Muksin dan Oman memprediksi
pelayaran kami ke Tanimbar Kei akan lancar dan kondisi laut diperkirakan
teduh licin. Malam itu saya percaya, tapi ternyata keesokan harinya
ramalan mereka tak terbukti.
Sinar matahari mulai hangat ketika warna laut mulai berubah dari biru
tua menjadi lebih muda hingga akhirnya hijau terang. Gelombang dan buih
sirna. Akhirnya, kami terlepas dari kengerian. Saya memprotes Oman
karena prediksinya sewaktu di Taroa meleset. Dia terkekeh.
Di perairan yang tenang dan jernih ini, dasar laut terlihat cukup
jelas. Satu-dua ikan pari seukuran bantal kabur dan ngumpet di
rerimbunan rumput laut saat speed kami melintas di atasnya. Di depan
kami, garis horizon–yang sepanjang perjalanan tak terputus–kini berganti
menjadi pemandangan pantai permai berpupur pasir putih dengan latar
belakang pohon kelapa dan bakau kehijauan.
Pukul 08.00 lebih, perahu menyentuh bibir pantai Tanimbar Kei. Yang
menyongsong kami adalah segerombolan burung camar laut yang terbang
rendah dan lambaian tangan tiga bocah bugil yang sedang main air di
pantai. Blas…, kedua kaki melesak di atas pasir pantai yang lembek dan
halus bak tepung.
Di pulau seluas hampir 10 kilometer persegi ini bermukim hampir 600
orang, yang tinggal di tiga desa. Salah satu desanya, Ohoratan (Kampung
Atas), merupakan desa adat, mirip Badui di Banten atau Wae Rebo di Nusa
Tenggara Timur.
Kampung Atas disakralkan. Di sana banyak terdapat arca batu dengan
pahatan sosok mirip manusia dan beberapa meriam besi bercap VOC
peninggalan zaman kolonial.
Orang Kai percaya nenek moyang mereka ada yang berasal dari sini.
Kampung ini menjadi tempat tinggal keturunan asli Tanimbar Kei.
Sedangkan Kampung Bawah didiami bauran penduduk asli dan pendatang.
Wilayah ini secara tradisional dipimpin dua raja yang masa
kekuasaannya digilir per tiga tahun. Jabatan itu dipegang garis
keturunan dua marga asli Tanimbar Kei, Sarmaf dan Tabalubun. Raja yang
sedang berkuasa punya wewenang menentukan lahan garapan, baik di darat
maupun laut. Mereka juga berkuasa menetapkan atau mencabut yot atau
hawear (sasi) di suatu daerah garapan.
Salah satu sesepuh Tanimbar Kei yang mengantar kami menemui kedua
Bapak Raja–panggilan untuk raja di sana–adalah Ali Imron Yahwadan. Lahir
sebagai Hindu, sempat memeluk Katolik saat muda, dia kini memilih
Islam. “Keluarga saya masih banyak yang Hindu dan Katolik, bahkan ada
yang Protestan juga. Di sini sudah biasa,” ujarnya.
Boleh dikata, menurut Ali, Tanimbar Kai ini miniatur Indonesia.
“Dalam komunitas yang kecil ini, kepercayaan penduduknya sangat beragam.
Ada Hindu, Islam, Katolik, dan Protestan,” katanya.
Orang Hindu di Tanimbar Kei dipercaya datang dari Bali sekitar enam
abad silam. Menurut Kadud Tabalubun (Raja Kei Tanimbar yang saya temui),
leluhur mereka datang ke sini karena pecahnya perang di Bali saat itu.
Dalam perkembangannya, suku lain, seperti orang Bugis, Buton, dan
Banda, datang dan tinggal bersama penduduk asli keturunan Maluku.
Perbedaan keyakinan sama sekali tak pernah menjadi sumber pertengkaran,
bahkan mereka tak terpancing isu kerusuhan etnis yang pecah di sebagian
Maluku pada 1999. Masjid, gereja, dan pura berdiri tegak di sana.
Kekerabatan yang erat antarwarga di sana terbentuk oleh sejarah.
Alkisah, sekitar enam abad lalu, pulau ini hanya didiami warga keturunan
Bali yang beragama Hindu. Kemudian datang tokoh muslim bernama Mabal
Latar dari Desa Banda Eli, Pulau Kai Besar. Meski sempat ada penolakan
dari tokoh adat, diplomasi Mabal berhasil. Dia mengangkat Tanimbar Kei
sebagai desa pela (saudara) dengan Banda Eli.
Pela adalah salah satu budaya khas suku-suku di Maluku yang dijaga
amat baik hingga kini. Konsepnya sederhana: dua desa yang menjadi pela
akan saling membantu. Mereka sudah memiliki konsep pela sebelum dunia
mengenal sister city. “Kami menjunjung tinggi pela, bahkan
mungkin lebih dari agama. Itulah yang membuat kami bisa rukun walau beda
keyakinan,” ujar Ali.
“Dulu, pela sering dimanfaatkan saat ada perang antarsuku,” kata Ali.
Sekarang, pela menjadi semacam tali persaudaraan. Meski desa yang
ber-pela ini letaknya berjauhan, jika warga suatu desa akan melaksanakan
hajat, warga di desa saudaranya harus ikut membantu dengan
menyumbangkan bahan makanan dan tenaga.
Di masa lalu, kerap terjadi perang antarpulau yang berlangsung di
laut dan memakai perahu belan. Perahu ini punya corak ukiran
berbeda-beda, yang menandakan klan masing-masing.
Laut yang memisahkan,
laut pula yang menyatukan. Tak ingin berperang lagi, mereka membuat
aturan bernama Larwul Ngabal.
Hukum adat ini diajarkan secara turun-temurun dan dipatuhi semua suku
di sana. Ada 7 pasal, terdiri atas 4 pasal Larwul—hukum pidana—dan 3
pasal Ngabal, yang berisi kaidah kesusilaan dan hukum perdata.
Pasal keenam terdengar progresif, bahkan untuk masyarakat modern. Bunyinya, “Morjain fo mahiling.”
Artinya: tempat untuk perempuan dihormati. Penjabarannya adalah
larangan terhadap segala bentuk tindakan yang mengusik harkat dan
martabat perempuan.
Larwul Ngabal seperti Pancasila. Hampir semua orang Kei yang saya
temui hafal ketujuh pasalnya. Hukum ini menjadi pedoman hidup orang Kai
dan digunakan untuk menyelesaikan perkara adat.
Sebelum kami menemui Bapak Raja, Ali menyarankan menyiapkan
perlengkapan untuk upacara sirih pinang. Sepasang daun pinang dan buah
sirih yang diambil dari kebun disimpan di dua piring. “Masing-masing
diberikan ke Bapak Raja,” ujarnya.
Upacara ini semacam permintaan izin kepada leluhur Tanimbar Kei.
“Warga di sini, yang Islam, Katolik, Protestan, atau Hindu, pasti
melakukan ritual ini sebelum melakukan kegiatan apa pun, supaya tidak
ada halangan,” katanya.
Untuk menuju Ohoratan yang didiami kedua Bapak Raja, kami harus
menaiki seratus anak tangga pada tebing karang setinggi 25 meter yang
sudut kemiringannya hampir 45 derajat.
Semua rumah di Kampung Atas berbentuk panggung, terbuat dari kayu,
dan beratap daun sagu. Dinding rumah diukir dalam motif tribal yang,
menurut mereka, menggambarkan sisik ikan. Di bagian bawah rumah, orang
beternak babi, kambing, atau ayam.
Tujuan kami ialah dua rumah utama di pusat kampung yang ditinggali
sepasang Raja Tanimbar Kei. Rumah mereka diperkirakan sudah berusia
lebih dari 500 tahun.
Kadud Tabalubun, 53 tahun, menyambut kami di rumahnya yang juga
berfungsi sebagai lumbung komunal. Setelah menyampaikan maksud
kedatangan, saya menyerahkan piring sirih pinang kepada raja nonaktif
itu. Dia lalu membawa piring itu ke dapur di belakang lumbung. Di sebuah
sudut, Kadud berdiri dan membisikkan mantra. Piring sirih pinang di
letakkan di atas kaso yang digantungi bel kuningan. Dia mengetuk bel itu
tiga kali, lalu mengusap wajahnya. “Kalian sudah diterima di rumah
kami,” ucapnya sambil tersenyum.
Dia lalu membawa nampan berisi rumpun tanaman mirip gandum. “Ini
namanya hotong. Selain embal dan sagu, ini makanan pokok kami,” katanya.
Tanaman serealia yang nama Latinnya Setaria italica beauv ini tumbuh
subur di wilayah Maluku, terutama di Pulau Buru.
Meski hotong mudah
ditanam di lahan tandus, warga Tanimbar Kei tak sembarangan menanamnya.
“Ladang hotong dibuka dan ditentukan atas perintah raja,” ujarnya.
Hasil panen ladang yang digarap bersama-sama itu akan disimpan di
lumbung dan dibagikan sesuai dengan jatah. Panen hotong dilakukan
setahun sekali dibarengi dengan upacara Tate’e untuk mensyukuri hasil
panen.
Kami kemudian mendatangi rumah Sau Sarmaf, raja yang sedang berkuasa,
untuk menyerahkan piring berisi sirih pinang kedua. Rumah pria 54 tahun
ini terletak di bibir tebing. Dari jendela dapurnya, terhampar laut dan
teluk Tanimbar Kei. Angin bertiup semilir.
Seperti Kadud, Sau melakukan ritual sirih pinang dengan cara yang
sama. Dia bilang kami diperbolehkan berkeliling kampung adat dan
mengambil foto.
“Tapi jangan terlalu berisik,” katanya. Salah satu larangan di
Ohoratan adalah suara keras. Mereka percaya para leluhur yang disebut
meti bersemayam di bukit di samping kampung adat. Kegaduhan akan membuat
leluhur terganggu dan marah. (tempo investigasi)