PortalHijau - Solidaritas Korban Kelapa Sawit Nabire (SKKSN ) menggelar diskusi dengan tema ‘Dampak Sawit Terhadap Masyarakat Adat’, yan...
PortalHijau - Solidaritas Korban Kelapa Sawit Nabire (SKKSN) menggelar diskusi dengan
tema ‘Dampak Sawit Terhadap Masyarakat Adat’, yang menghadirkan korban
Sawit Nabire dan korban sawit Keerom yang diselenggarakan di aula asrama
Intan Jaya, Expo, Waena, Papua, pada Senin (4/4/2016).
Diskusi dipandu oleh koordinator solidaritas korban Sawit Nabire,
John NR Gobai. Dan yang menjadi pembicara adalah kepala suku besar
Yerisiam Gua dan tokoh pemuda adat Arso.
“Kami tidak pernah meminta perusahaan dan kami juga tidak pernah
meminta mereka memberikan kami kesejahteraan,” kata Daniel Yarawobi,
kepala suku Yerisiam Gua, dalam diskusi tersebut.
Lanjut dia, “Selagi kami masih ada di atas tanah ini, di atas
tanah adat kami, maka kami akan tetap berjuang sampai kami mengembalikan
hak kami sebagai masyarakat adat.”
Sebab menurutnya, kehadiran perusahaan kelapa Sawit di kabupaten
Nabire, distrik Yaur, kampug Sima, bukan kemauan dari masyarakat adat
pemilik hak ulayat.
Daniel juga menegaskan, PT. Nabire Baru yang selama ini
beroperasi di atas tanah Yerisiam Gua itu bukan datang atas permintaan
masyarakat adat setempat. Itu hanya beberapa masyarakat yang diperalat
dan disuap oleh perusahaan untuk melawan mayoritas masyarakat adat suku
Yerisiam Gua.
“Perusahaan kelapa sawit hanya menambah penderitaan bagi kami.
Saat Paskah kemarin, kami tidak bisa melakukan ibadah dengan baik karena
tempat ibadah kami tenggelam oleh air akibat hujan dan banjir yang
berakibat dari hutan kami yang dibabat oleh perusahaan kelapa sawit,”
tuturnya.
Lanjut Daniel, “Semua itu bisa terjadi karena tanah kami sudah banyak yang tandus dan hutan kami dibabat habis.”
Sementara itu, Emil Fatagur, tokoh pemuda dari kampung Wor,
distrik Arso yang juga hadir mewakili masyarakat adat Keerom para korban
sawit dari PT. PN II Arso, mengatakan, pada saat awal investor masuk,
masyarakat adat ditipu.
“Kami ditipu dan kami diterlantarkan lantaran kepentingan
pemerintah dan perusahaan sawit yang berinvestasi di atas tanah kami
ini. Saya adalah korban dari kepala sawit, saya juga anak dari orang tua
yang telah ditipu oleh perusahaan kepala sawit di tanah kami,” ujarnya.
Diakui Emil, dulu ia ikut orang tua untuk menuntut hak sebagai
pemilik hak ulayat di perusahaan. Dan kini setelah sudah dewasa,
perjuangan dari orang tuanya itu akan tetap dilanjutkan.
Emil Fatagur yang juga aktivis Sawit Keerom ini mengatakan, ada
hutan berarti ada adat, sebab setiap tahun masyarakat selalu melakukan
pesta adat yang disebut Yonggua. Namun kini sulit sekali mereka adakan pesta Yonggua karena sulit mendapat buruan dan makanan dari alam.
“Saya sangat berharap sekali kepada mahasiswa dan lembaga swadaya
masyarakat agar dapat mendukung usaha kami juga di Arso agar kami bisa
menggugat perusahaan. Walau memang itu berat, tapi kami akan selalu
lawan dan tuntut hak kami,” tegasnya di akhir diskusi tersebut. Arnold Belau