PortalHijau.com - Kondisi lingkungan hidup, terutama hutan, di Indonesia kian memprihatinkan. Tak heran bila bencana terus menghampiri, a...
PortalHijau.com - Kondisi lingkungan hidup, terutama hutan, di Indonesia kian memprihatinkan. Tak heran bila bencana terus menghampiri, apalagi di kala musim hujan. Bencana ekologis ini pun diperkirakan masih terus meningkat dalam beberapa waktu ke depan.
Mukri Friatna, Manager Penanganan Bencana dan Konflik Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) membeberkan fakta mengejutkan. Kerusakan lingkungan hidup terjadi merata di seluruh wilayah Indonesia. Bahkan, ia menyebut, hanya dua provinsi yang kini masih tergolong baik, yakni Maluku Utara dan Papua.
”Meski demikian keduanya saat ini juga sedang terancam,” keluhnya saat dihubungi Minggu (14/2).
Dari data yang ia milliki, angka hutan dan lahan kritis di Indonesia memang cukup besar, yakni 25 juta hektar. Kondisi ini pun semakin parah lantaran tak diimbangi kemampuan pemerintah yang mumpuni dalam melakukan pemulihan. Menurutnya, pemerintah hanya mampu melakukan pemulihan pada 105 ribu hektar per tahun.
”Ini data per 2014. Saat ini memang ada penuruan angka deforestasi antara 80-100 ribu hektar per tahun. Tapi masih ada izin usaha pemanfaatan hasil kayu hutan alam. Jadi sama saja,” katanya.
Menurutnya, kerusakan ini sedikit banyak didukung oleh kegiatan manusia sendiri. Banyak hutan yang dialihfungsikan menjadi industri. Wilayah Pulau Sumatera misalnya. Dari pengamatan Walhi, lahan hutan di wilayah Sumatera bagian Barat, sepanjang bukit barisan, selatan Lampung hingga Aceh sebagian besar dialihfungsikan untuk tambang & sawit. Kemudian, bagian Timur, rusak karena rawa gambut dan pantai digunakan untuk hutan tanaman industri, tambang pasir laut dan timah.
”Di Bebel (Bangka Belitung,red) khusus Pulau Bangka jauh lebih rusak dibanding Belitung. Daerah tersebut selain masif ditambang, juga sudah terjadi alih fungsi dari hutan ke sawit,” paparnya.
Kondisi di Pulau Jawa juga tak kalah mengerikan. Menurutnya, hutan alam di Jawa hanya tersisa 7 persen. Seluruh alamnya telah dikeruk habis-habisan. Di pesisir selatan dirusak untuk tambang pasir besi & pasir. Lalu, kawasan pegunungan pun sudah dikeruk untuk tambang emas dan bahan baku semen.
Tak jauh berbeda, di kota, ruang terbuka hijau masih jauh dari kata layak. Sebaian besar, masih di bawah 30 persen sebagaimana diwajibkan dalam Undang-undang No.26 tahun 2007. Situasi tersebut pun diperparah dengan daerah aliran sungai di wilayah kota yang rusak besaat. Seperti Ciliwung, Brantas dan Citarum. ”Ditambah dengan angka curah hujan bulan ini 300 mm (bmkg). Bisa diperkirakan bahwa bencana ekologis akan terus meningkat baik intensitas maupun frekwensinya,” ungkapnya.
Hal ini pun terbukti dengan semakin bertambahnya kejadian bencana ekologis saat inii. Dari data yang disampaikan oleh Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nuroho, kejadian bencana banjir bertambah menjadi 122 kejadian dari angka sebelumnya 103 kejadian, terhitung sejak Januari 2016. Akibatnya, 946 ribu jiwa terpaksa mengungsi. ”BNPB telah mendistribusikan dana siap pakai sebesar Rp 150 miliar ke BPBD yang daerahnya rawan banjir dan longsor. Kami minta dilakukan perkuatan logistik dan peralatan,” ungkap Sutopo.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Hilman Nugroho menyebutkan bahwa pihaknya telah mengantisipasi terjadinya bencana ekologis yang ada di Indonesia. Khususnya terkait banjir dan longsor.
”Setiap tahun, kita selalu mengeluarkan peta rawan banjir dan longsor,” jelasnya. Peta tersebut memberikan sebuah antisipasi dalam pengelolaan wilayah-wilayah yang selalu menjadi langganan bencana alam.
Peta tersebut pun menjadi sebuah sistem deteksi dini yang disesuaikan dengan evaluasi setiap daerah. ”tergantung pada apakah hutan di sekitar bertambah gundul, aliran air menyempit, curah hujan yang tinggi dan lainnya,” jelasnya. Sehingga, peta rawan banjir ini bisa semakin meluas maupun menyempit.
Hilman pun merekomendasikan untuk efektifitas peta rawan banjir ini sendiri perlu sinergi dari beberapa pihak. Khususnya bagi kementerian PUPR, pemerintah provinsi dan kabupaten untuk secara tanggap dalam melakukan pengolahan DAS terpadu dalam penanganan banjir dan longsor. Tujuannya, agar meminimalkan dampak lingkungan hingga korban jiwa. ”Kan tidak cuma kita, kita sudah galakkan penanaman pohon di hulu, revitalisasi sungai, dan sebaginya,” jelasnya. (mia/lus-jawapos)
Mukri Friatna, Manager Penanganan Bencana dan Konflik Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) membeberkan fakta mengejutkan. Kerusakan lingkungan hidup terjadi merata di seluruh wilayah Indonesia. Bahkan, ia menyebut, hanya dua provinsi yang kini masih tergolong baik, yakni Maluku Utara dan Papua.
”Meski demikian keduanya saat ini juga sedang terancam,” keluhnya saat dihubungi Minggu (14/2).
Dari data yang ia milliki, angka hutan dan lahan kritis di Indonesia memang cukup besar, yakni 25 juta hektar. Kondisi ini pun semakin parah lantaran tak diimbangi kemampuan pemerintah yang mumpuni dalam melakukan pemulihan. Menurutnya, pemerintah hanya mampu melakukan pemulihan pada 105 ribu hektar per tahun.
”Ini data per 2014. Saat ini memang ada penuruan angka deforestasi antara 80-100 ribu hektar per tahun. Tapi masih ada izin usaha pemanfaatan hasil kayu hutan alam. Jadi sama saja,” katanya.
Menurutnya, kerusakan ini sedikit banyak didukung oleh kegiatan manusia sendiri. Banyak hutan yang dialihfungsikan menjadi industri. Wilayah Pulau Sumatera misalnya. Dari pengamatan Walhi, lahan hutan di wilayah Sumatera bagian Barat, sepanjang bukit barisan, selatan Lampung hingga Aceh sebagian besar dialihfungsikan untuk tambang & sawit. Kemudian, bagian Timur, rusak karena rawa gambut dan pantai digunakan untuk hutan tanaman industri, tambang pasir laut dan timah.
”Di Bebel (Bangka Belitung,red) khusus Pulau Bangka jauh lebih rusak dibanding Belitung. Daerah tersebut selain masif ditambang, juga sudah terjadi alih fungsi dari hutan ke sawit,” paparnya.
Kondisi di Pulau Jawa juga tak kalah mengerikan. Menurutnya, hutan alam di Jawa hanya tersisa 7 persen. Seluruh alamnya telah dikeruk habis-habisan. Di pesisir selatan dirusak untuk tambang pasir besi & pasir. Lalu, kawasan pegunungan pun sudah dikeruk untuk tambang emas dan bahan baku semen.
Tak jauh berbeda, di kota, ruang terbuka hijau masih jauh dari kata layak. Sebaian besar, masih di bawah 30 persen sebagaimana diwajibkan dalam Undang-undang No.26 tahun 2007. Situasi tersebut pun diperparah dengan daerah aliran sungai di wilayah kota yang rusak besaat. Seperti Ciliwung, Brantas dan Citarum. ”Ditambah dengan angka curah hujan bulan ini 300 mm (bmkg). Bisa diperkirakan bahwa bencana ekologis akan terus meningkat baik intensitas maupun frekwensinya,” ungkapnya.
Hal ini pun terbukti dengan semakin bertambahnya kejadian bencana ekologis saat inii. Dari data yang disampaikan oleh Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nuroho, kejadian bencana banjir bertambah menjadi 122 kejadian dari angka sebelumnya 103 kejadian, terhitung sejak Januari 2016. Akibatnya, 946 ribu jiwa terpaksa mengungsi. ”BNPB telah mendistribusikan dana siap pakai sebesar Rp 150 miliar ke BPBD yang daerahnya rawan banjir dan longsor. Kami minta dilakukan perkuatan logistik dan peralatan,” ungkap Sutopo.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Hilman Nugroho menyebutkan bahwa pihaknya telah mengantisipasi terjadinya bencana ekologis yang ada di Indonesia. Khususnya terkait banjir dan longsor.
”Setiap tahun, kita selalu mengeluarkan peta rawan banjir dan longsor,” jelasnya. Peta tersebut memberikan sebuah antisipasi dalam pengelolaan wilayah-wilayah yang selalu menjadi langganan bencana alam.
Peta tersebut pun menjadi sebuah sistem deteksi dini yang disesuaikan dengan evaluasi setiap daerah. ”tergantung pada apakah hutan di sekitar bertambah gundul, aliran air menyempit, curah hujan yang tinggi dan lainnya,” jelasnya. Sehingga, peta rawan banjir ini bisa semakin meluas maupun menyempit.
Hilman pun merekomendasikan untuk efektifitas peta rawan banjir ini sendiri perlu sinergi dari beberapa pihak. Khususnya bagi kementerian PUPR, pemerintah provinsi dan kabupaten untuk secara tanggap dalam melakukan pengolahan DAS terpadu dalam penanganan banjir dan longsor. Tujuannya, agar meminimalkan dampak lingkungan hingga korban jiwa. ”Kan tidak cuma kita, kita sudah galakkan penanaman pohon di hulu, revitalisasi sungai, dan sebaginya,” jelasnya. (mia/lus-jawapos)