Dunia Pertambangan - Revisi UU Minerba diharapkan dapat memperkuat implementasi hilirisasi tambang terutama terkait konsistensi larangan...
Dunia Pertambangan - Revisi UU Minerba diharapkan dapat memperkuat implementasi hilirisasi
tambang terutama terkait konsistensi larangan ekspor mineral mentah dan
konsentrat yang sangat menentukan keberlanjutan investasi smelter.
Perubahan terhadap kebijakan hilirisasi dan larangan ekspor, dinilai
bakal merusak iklim investasi dan menciderai niat baik perusahaan
tambang yang sudah membangun smelter.
Kalangan pelaku usaha khusus pengusaha smelter sangat mencermati
rencana ini. Mereka berharap, DPR dan pemerintah tetap konsisten dengan
kebijakan hilirisasi dan larangan ekspor yang menjadi semangat UU
Minerba. Ini terkait erat dengan kelanjutan pembangunan smelter.
Terlebih, mereka telah menanamkan investasi di smelter sehingga
diharapkan ada konsistensi kebijakan.
Direktur Eksekutif IRESS, Marwan Batubara, mengatakan, pemerintah dan
DPR harus menggunakan kewenangannya untuk mempertegas implementasi
kebijakan hilirisasi. Jika ada inkonsistensi antara UU Minerba dan
peraturan turunannya, revisi yang dilakukan tersebut tidak boleh
meninggalkan tujuan utama, yakni meningkatkan nilai tambah dan manfaat
sebesar-besarnya untuk kepentingan negara dan masyarakat.
"Indonesia sudah berada pada jalur yang tepat dengan mengembangkan
hilirisasi pertambangan sesuai UU Minerba. Yang dibutuhkan saat ini
adalah itikad baik dari semua pihak untuk mengimplementasikan secara
konsisten kebijakan tersebut," ujar Marwan, Jumat (19/2).
Marwan menambahkan, pihaknya berharap pemerintah dan DPR tidak
terpengaruh atau mau diboncengi kepentingan tertentu dalam revisi UU
Minerba sehingga merusak iklim investasi dan merugikan masa depan
bangsa. Beberapa perusahaan kini sudah membangun smelter, termasuk
rencana investasi yang akan bergulir di sektor pembangunan smelter pada
tahun ini.
"Dampak nilai tambah dan multiplier effect bakal berkali
lipat di masa yang akan datang apabila konsistensi kebijakan hilirisasi
tersebut tidak diciderai oleh kepentingan sesaat para pihak," kata
Marwan.
Menurut Direktur Eksekutif CIRUSS, Disan Budi Santoso, revisi UU
Minerba harus mencerminkan aspek keberlanjutan regulasi. Dasar dari
implementasi kebijakan hilirisasi sudah diletakkan oleh ketentuan dalam
UU Minerba dan peraturan turunannya saat ini.
Menurutnya, tujuan hilirisasi sejak awal adalah meningkatkan nilai
tambah nasional. Oleh karenanya, lanjut Disan, kebijakan ini harus terus
didorong. "Kesalahan selama ini yang menjadikannya terhambat ketika
hilirisasi dibandling dengan tambangnya," kata dia.
Lebih lanjut
Disan menambahkan, mungkin karena preseden perusahaan tambang besar dan
cadangan besar, maka dua risiko, tambangnya dan smelter harus ditanggung
satu perusahaan.
"Ini yang akhirnya mengurangi kelayakan ekonomi tambangnya dan
kemampuan finansial perusahaan. Belum lagi jika dikaitkan dengan
ketersediaan infrastruktur dan fasilitas," tambahnya.
Ketua Asosiasi Smelter Indonesia, R Sukhyar, mengatakan, atas
inisiatif DPR, UU Minerba yang baru enam tahun akan direvisi. Tentu,
kata Sukhyar, para wakil rakyat ini punya pertimbangan. Tetapi
diharapkan kalangan DPR tetap berkomitmen mempertahankan kebijakan
larangan ekspor mineral mentah dan konsentrat.
"Kebijakan tersebut merupakan salah satu penopang utama keberhasilan
hilirisasi karena berkaitan dengan jaminan pasokan bahan baku untuk
smelter yang sudah dan akan dibangun," kata Sukhyar.
Sebelumnya diketahui, Komisi VII DPR menargetkan revisi Undang-Undang
(UU) Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
(Minerba) rampung pertengahan 2016. Ketua Komisi VII DPR, Gus Irawan,
mengatakan, salah satu pokok revisi UU Minerba terkait pengolahan dan
pemurnian mineral (smelter). Dia menegaskan, larangan ekspor mineral
mentah akan tetap ditegakkan. Feriawan Hidayat/FER