PortalHijau.Com - Kepala BKSDA Sumbar Margo Utomo, melalui kepala Tata Usaha (TU) Teguh Sriyanto kepada Haluan mengatak...
PortalHijau.Com - Kepala BKSDA Sumbar Margo Utomo, melalui kepala Tata Usaha (TU) Teguh Sriyanto kepada Haluan mengatakan,
kemungkinan terjadinya konflik satwa, seperti masuknya seekor beruang
madu ke permukiman warga di kawasan Bukik Sileh Kabupaten Solok pada
Jumat lalu, mungkin saja terjadi pula di kawasan lain di Sumbar.
Namun, berdasarkan data temuan BKSDA di sepanjang 2015 hingga awal
2016, Kabupaten Solok, Pasaman Barat, 50 Kota dan Solok Selatan adalah
beberapa daerah tempat kasus sering ditemukan.
“Di daerah Talu Pasaman Barat, konflik satwa cukup sering terjadi,
dan satwanya beruang madu juga. Begitupun di kawasan Kabupaten 50 Kota
dan di Sangir Solok Selatan. Untuk Sumbar, satwanya memang didominasi
oleh beruang madu. Satwa liar lain yang sering ditemukan selama 2015 itu
buaya. Sedangkan kasus konflik satwa harimau sama sekali tidak ada
sepanjang 2015,” jelas Teguh, Senin (11/1).
Meskipun konflik satwa sering ditemukan di beberapa daerah tersebut,
Teguh menekankan bahwa masyarakat harus memahami bahwa satwa liar
seperti beruang madu, buaya dan harimau adalah satwa liar yang selalu
bergerak. Sehingga, bukan hal yang aneh apabila beruang madu yang
ditemukan di satu tempat dan beruang madu lain yang ditemukan beberapa
hari setelahnya di tempat yang jauh dari tempat penemuan pertama,
adalah individu yang sama.
“Misalnya pada kejadian kemarin, kami mengamankan seekor beruang
madu di Lubuak Selasih, tapi dua ekor lainnya melarikan diri. Bisa saja
nanti ditemukan satwa serupa di tempat yang jauh dari Lubuak Selasih,
dan mungkin saja itu beruang madu yang melarikan diri di Lubuak Selasih
tadi. Ya, karena satwa liar itu sifatnya bergerak terus,” jelasnya
lagi.
Terlebih lagi untuk satwa harimau yang memiliki homering(daya
jelajah mencari mangsa) yang tinggi, yaitu sekitar 60 kilometer
persegi. Artinya, bisa saja seekor harimau berpindah dari satu
kabupaten ke kabupaten lain yang masih termasuk ke dalam homering-nya.
“Homering itu bisa diartikan sebagai kawasan tempat satwa itu mencari makan. Begitupun dengan beruang dan buaya, meskipun homering-nya tidak seluas harimau,” imbuhnya.
Pembalakan Bukan Penyebab Satu-satunya.
Kasus pembalakan yang sering disebut-sebut sebagai penyebab terjadinya
konflik satwa, M Zaidi selaku Kepala Seksi Wilayah I BKSDA Sumbar dalam
kesempatan yang sama ikut menyetujuinya. Meskipun begitu, ia meyakini
bahwa pembalakan bukanlah penyebab satu-satunya.
“Kalau semata-mata pembalakan, setahu kami pembalakan terjadi
sepanjang tahun, sedangkan satwa liar tidak ke pemukiman sepanjang
tahun (konflik satwa tidak terjadi setiap hari). Artinya, ada
waktu-waktu tertentu lainnya yang memaksa mereka untuk ‘keluar sarang’
yang hingga kini masih kami selidik,” ucapnya.(h/isq)