PortalHijau.com - Target penurunan emisi gas rumah kaca tahun 2030 sulit tercapai jika tidak ada perubahan mendasar pada sistem ...
PortalHijau.com - Target penurunan emisi gas rumah kaca tahun 2030
sulit tercapai jika tidak ada perubahan mendasar pada sistem
birokrasi. Penurunan emisi terbesar ditargetkan dari sektor
energi. Namun, hingga kini belum ada kejelasan bagaimana mencapai
target tersebut.
Dalam dokumen nasional kontribusi penurunan emisi (Intended
Nationally Determined Contributions/INDC) yang diajukan ke
Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC),
Indonesia menargetkan penurunan emisi 29 persen dengan usaha
sendiri dan 41 persen dengan bantuan luar dari trayektori emisi
pada 2030.
Beratnya mencapai target itu terungkap dalam diskusi terbatas yang
digelar Kompas, Kamis (21/1), di Jakarta. Hadir sebagai panelis,
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Nur Masripatin, Sekjen
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Abdon Nababan, Direktur
Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby
Tumiwa, dan Rizaldi Boer dari Indonesia Climate Change Risk and
Opportunity Management (CCROM) IPB.
Menurut Fabby, kebijakan energi nasional menargetkan 23 persen
energi terbarukan untuk bauran energi pada 2025. "Tapi, sampai
2013 baru tercapai 5 persen bauran," ujarnya.
Dari sektor energi, pembangkit listrik penyumbang terbesar emisi
gas rumah kaca (GRK). Proyeksi kebutuhan listrik tahun 2025
sekitar tiga kali lipat dari sekarang. "Butuh dibangun pembangkit
listrik berbasis energi baru terbarukan berkapasitas 35-36
gigawatt (GW) lagi. Sudah ada 9,4 GW," katanya.
Saat ini, pemerintah membangun proyek pembangkit listrik 35 GW
berbasis batubara. "Kita harus punya kebijakan atau strategi utuh.
Yang dibangun sekarang akan berpotensi (emisikan GRK) sampai 15-20
tahun ke depan. Terus ada," katanya.
Jika disesuaikan target Kesepakatan Paris pada Pertemuan Para
Pihak Ke-21 (COP-21) Konferensi Perubahan Iklim PBB pada Desember
2015, yaitu menahan kenaikan suhu bumi di bawah 2 derajat celsius
ketimbang era Pra-Industri, "Kita perlu 35-45 persen EBT pada
bauran energi," ucapnya.
Di sisi lain, saat ini banyak wilayah karst diincar industri
semen. "Karst itu selain untuk cadangan air juga stok (gas)
karbonnya tinggi," ujar Nur Masripatin.
Untuk adaptasi, Rizaldi menegaskan, perlu dukungan riset serta
kajian proyeksi iklim dengan skenario dan dampak iklim ekstrem.
"Pelaksanaannya perlu pengawasan dan evaluasi," ungkapnya. Riset
ilmiah dibutuhkan agar memudahkan pembuktian aksi adaptasi karena
adaptasi harus dilaporkan secara global.
Saat ini, KLHK dan Bappenas telah mengembangkan Sistem Informasi
Data Indeks Kerentanan (SIDIK) di daerah-daerah. "Masih perlu
peningkatan kapasitas pemda," katanya.
Satu peta
Sementara itu, para panelis sepakat pentingnya One Map (satu
peta). Peta itu krusial untuk bisa menjalankan kebijakan terkait
perubahan iklim.
"Ini merupakan bottle neck (penghambat) untuk keseluruhan
kebijakan. Tanpa peta ini, semua tidak jalan," kata Rizaldi.
One Map penting karena di dalamnya bisa termuat data wilayah
adat-masyarakat adat berpotensi berperan memitigasi-juga peta
wilayah dengan potensi energi terbarukan serta informasi lahan
untuk pengembangan biomassa.
"Semangat Kesepakatan Paris memang tidak terlalu kuat karena itu
memang hasil kompromi yang bisa dicapai. Tanpa kesepakatan itu,
kondisi negara berkembang bisa lebih buruk lagi. Mereka akan
suka-suka sehingga akan lebih sulit posisinya," ujar Nur
Masripatin.
Kerja berat ke depan karena Indonesia masih jauh dari pencapaian
target 26 persen penurunan emisi pada 2020-sebagai landasan
penerapan INDC (tahun 2018 menjadi NDC)-harus dilihat sebagai
peluang.
Isu tata kelola disebut banyak terjadi perbaikan. Menurut Fabby,
"Saat ini di kementerian, di eselon I ada inisiatif mengurai
permasalahan." Menurut Nur Masripatin, Presiden Joko Widodo
berprinsip tidak memberikan peluang bagi mereka yang tidak bisa
bekerja sama dan berkoordinasi. (ISW/AIK/ICH)