PortalHijau.Com - Indonesia Corruption Watch (ICW) dan sejumlah organisasi lain yang tergabung dalam Koalisi Anti Mafia Hutan, Jumat 8 Ja...
PortalHijau.Com - Indonesia Corruption Watch (ICW) dan sejumlah organisasi lain yang
tergabung dalam Koalisi Anti Mafia Hutan, Jumat 8 Januari 2016, mendesak
Komisi Yudisial untuk memanggil majelis hakim Pengadilan Negeri
Palembang yang menangani putusan kebakaran hutan PT Bumi Mekar Hijau.
Menurut mereka, terjadi dugaan pelanggaran kode etik dalam putusan hakim
tersebut.
“Kami menilai ada dua catatan besar yang luput dari pengamatan hakim dalam putusan yang disampaikan saat itu sehingga menurut kami ini adalah bagian dari pelanggaran kode etik yang masuk dalan unprofessional conduct,” ujar Aradila Caesar dari Indonesia Corruption Watch (ICW) saat ditemui di gedung Komisi Yudisial pada Jumat, 8 Januari 2016.
Yang pertama, ujar Caesar, hakim dalam memutus perkara tidak mempertimbangkan lebih khusus aspek-aspek lain yang juga melawan hukum. “Padahal di PP no. 45 Tahun 2004 juncto 60 Tahun 2009 pasal 30 sudah jelas tertulis,” kata dia.
Adapun peraturan tersebut adalah tentang perlindungan hutan yang menyebutkan bahwa pemegang hak konsesi dan lain lain bertanggung jawab mutlak terhadap lahan yang dia kuasai (kelola). Jika terjadi kebakaran, perusahaan yang mengelola hutan wajib bertanggung jawab, baik secara pidana, perdata, ataupun administratif.
“Ini adalah bentuk pertanggungjawaban mutlak. Ini kan tindakan melawan hukum, kenapa hakim malah luput akan hal itu?” ujar Caesar. Dia menambahkan, terlepas apakah itu kesalahan dari perusahaan yang sengaja membakar ataupun kebakaran berasal dari hal lain, perusahaan harus bertanggung jawab atas lahannya tersebut.
Sedangkan yang kedua, kata Caesar, hakim dalam pertimbangannya hanya mempertimbangakn kerugian yang dialami PT BMH saja. Hal ini dikarenakan kebakaran terjadi saat tanaman akasia yang ditanam di lahan PT BMH tengah panen dan perusahaan terrsebut berdalih tidak mungkin membakarnya karena akan merugi.
“Hanya itu yg dipertimbangkan majelis hakim,” ujarnya. Caesar menyebut, semestinya hakim juga mempertimbangkan kerugian lain, seperti dampak ekologis, dampak kesehatan masyarakat, sosial budaya, dan kemudian juga keuangan negara yang harus memitigasi bencana yang ada di sana.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengajukan gugatan terhadap PT Bumi Mekar Hijau pada Februari 2015. Lahan konsesi hutan akasia seluas 20 hektar yang dikelola perusahaan tersebut terbakar pada 2014.
Kementerian menilai kebakaran itu merusak lingkungan dan mengganggu kesehatan masyarakat. Pemerintah menuntut ganti rugi Rp 2,6 triliun dan meminta tindakan pemulihan lingkungan dengan biaya Rp 5,2 triliun.
Namun majelis hakim PN Palembang yang diketuai Parlas Nababan menolak gugatan pemerintah. Dia beralasan penggugat tidak bisa membuktikan adanya kerugian negara atas kebakaran hutan yang dituduhkan kepada PT Bumi Mekar Hijau. BAGUS PRASETIYO
“Kami menilai ada dua catatan besar yang luput dari pengamatan hakim dalam putusan yang disampaikan saat itu sehingga menurut kami ini adalah bagian dari pelanggaran kode etik yang masuk dalan unprofessional conduct,” ujar Aradila Caesar dari Indonesia Corruption Watch (ICW) saat ditemui di gedung Komisi Yudisial pada Jumat, 8 Januari 2016.
Yang pertama, ujar Caesar, hakim dalam memutus perkara tidak mempertimbangkan lebih khusus aspek-aspek lain yang juga melawan hukum. “Padahal di PP no. 45 Tahun 2004 juncto 60 Tahun 2009 pasal 30 sudah jelas tertulis,” kata dia.
Adapun peraturan tersebut adalah tentang perlindungan hutan yang menyebutkan bahwa pemegang hak konsesi dan lain lain bertanggung jawab mutlak terhadap lahan yang dia kuasai (kelola). Jika terjadi kebakaran, perusahaan yang mengelola hutan wajib bertanggung jawab, baik secara pidana, perdata, ataupun administratif.
“Ini adalah bentuk pertanggungjawaban mutlak. Ini kan tindakan melawan hukum, kenapa hakim malah luput akan hal itu?” ujar Caesar. Dia menambahkan, terlepas apakah itu kesalahan dari perusahaan yang sengaja membakar ataupun kebakaran berasal dari hal lain, perusahaan harus bertanggung jawab atas lahannya tersebut.
Sedangkan yang kedua, kata Caesar, hakim dalam pertimbangannya hanya mempertimbangakn kerugian yang dialami PT BMH saja. Hal ini dikarenakan kebakaran terjadi saat tanaman akasia yang ditanam di lahan PT BMH tengah panen dan perusahaan terrsebut berdalih tidak mungkin membakarnya karena akan merugi.
“Hanya itu yg dipertimbangkan majelis hakim,” ujarnya. Caesar menyebut, semestinya hakim juga mempertimbangkan kerugian lain, seperti dampak ekologis, dampak kesehatan masyarakat, sosial budaya, dan kemudian juga keuangan negara yang harus memitigasi bencana yang ada di sana.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengajukan gugatan terhadap PT Bumi Mekar Hijau pada Februari 2015. Lahan konsesi hutan akasia seluas 20 hektar yang dikelola perusahaan tersebut terbakar pada 2014.
Kementerian menilai kebakaran itu merusak lingkungan dan mengganggu kesehatan masyarakat. Pemerintah menuntut ganti rugi Rp 2,6 triliun dan meminta tindakan pemulihan lingkungan dengan biaya Rp 5,2 triliun.
Namun majelis hakim PN Palembang yang diketuai Parlas Nababan menolak gugatan pemerintah. Dia beralasan penggugat tidak bisa membuktikan adanya kerugian negara atas kebakaran hutan yang dituduhkan kepada PT Bumi Mekar Hijau. BAGUS PRASETIYO