PortalHijau.Com - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan akan memasukkan anggaran untuk memfasilitasi pembentukan ...
PortalHijau.Com - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan akan
memasukkan anggaran untuk memfasilitasi pembentukan Peraturan Daerah
sebagai turunan dari implementasi putusan MK 35 tentang pengakuan hutan
adat pada daftar isian penggunaan anggaran (dipa) anggaran tahun 2016.
Hadi Daryanto, Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan
Lingkungan KLHK mengatakan bahwa dimasukkannya anggaran tersebut karena
daerah masih belum memiliki anggaran terkait hal tersebut.
“Jadi masalahnya memang di budget atau anggaran. Umumnya kan
anggaran itu ada hanya untuk sosial, pendidikan, dan lainnya. Untuk
lingkungan hampir enggak ada,” tutur Hadi saat menghadiri acara Climate Art Day di Taman Hutan Manggala Wanabhakti, KLHK, Jakarta, Sabtu (12/12).
Menurut Hadi, diperlukan sebesar 20 miliar untuk memfasilitasi
pembentukan perda di 13 lokasi sesuai dengan hasil riset yang dilakukan
oleh Perkumpulan Huma dengan 12 organisasi mitra (JKMA Aceh, KKI Warsi,
AMAN Sulawesi Selatan, AKAR Foundation, Perkumpulan Qbar, RMI, LBBT,
Perkumpulan PADI, Perkumpulan Bantaya, Yayasan Merah Putih Palu,
Perkumpulan Wallacea).
Ke 13 lokasi tersebut yaitu Masyarakat Adat Seko di Sulawesi Selatan,
Marga Serampas di Jambi, Mukim Lango dan Mukim Beungga di Aceh,
Kasepuhan Karang di Banten, Ammatoa Kajang di Sulawesi Selatan, Malalo
Tigo Jurai di Sumatera Barat, Margo Suku IX di Bengkulu, Ketemenggungan
Desa Belaban Ella di Kalimantan Barat, Ngata Marena di, Sulawesi Tengah,
Lipu Wana Posangke di Sulawesi Tengah, Ketemenggungan Desa Tapang
Semadak di Kalimantan Barat; dan Kampong Mului di Kabupaten Paser.
“Hasil riset dari Perkumpulan HuMa di 13 lokasi tersebut menunjukan
bahwa sebagian daerah sudah memiliki produk hukum daerah (Perda, SK)
yang mengukuhkan atau menetapkan masyarakat hukum adat tertentu,
sehingga sudah memenuhi prasyarat untuk didaftarkan menjadi hutan adat
menurut ketentuan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
P.32/Menlhk Setjen/2015 tentang Hutan Hak,” ujarnya.
Di antara ke 13 lokasi tersebut, kata Dahniar Andriani, Koordinator
Eksekutif Perkumpulan HuMa menambahkan, tiga lokasi di anataranya telah
mengajukan permohonan penetapan hutan adat, yakni Lipu Wana Posangke,
Kasepuhan Karang, dan Marga Serampas.
“Pentingnya penetapan hutan adat ini adalah untuk mengakui kedudukan
Masyarakat Hukum Adat sebagai subjek hukum yang memiliki hak atas
hutannya,” tambahnya.
Menurut Dahniar, hutan adat bagi masyarakat hukum adat menjadi satu
kesatuan tidak terpisahkan. Hutan merupakan bagian dari kehidupan
masyarakat hukum adat yang telah menopang kehidupan kesehariannya,
sekaligus titipan bagi generasi yang akan datang.
Pemerintah perlu menjamin kepastian legal untuk hak-hak masyarakat
hukum adat atas hutan adatnya dalam rangka menjamin kesejahteraan bagi
masyarakat hukum adat, seperti yang dicita-citakan dalam Konstitusi.
Sementara, UU Kehutanan 1999 telah memisahkan hutan adat dari masyarakat
hukum adat melalui “negaraisasi” hutan.
Putusan MK nomor 35 tahun 2012 secara legal merevisi klaim sepihak
Pemerintah, yang selama ini memasukkan hutan adat sebagai hutan negara.
“Negaraisasi” tanah-tanah hutan masyarakat hukum adat telah berakibat
pada pelanggaran hak-hak masyarakat hukum adat, pemiskinan dan
deskriminasi masyarakat hukum adat.
“Implementasi Putusan MK 35 tahun 2012 menjadi hal penting. Dalam
rangka itu, implementasi penetapan hutan adat berdasarkan Putusan MK 35
tahun 2012 membutuhkan dialog antar institusi terkait, seperti
Kementerian Kehutanan, Kementrian Dalam Negeri, Pemerintah Daerah, Badan
Pertanahan Nasional, serta masyarakat adat sendiri,” pungkasnya. Danny Kosasih