PortalHijau.Com - KTT Perubahan Iklim di Paris, Perancis mulai 30 November menjadi harapan baru bagi aktivis lingkungan di Indonesia untu...
PortalHijau.Com - KTT Perubahan Iklim di Paris, Perancis mulai 30
November menjadi harapan baru bagi aktivis lingkungan di Indonesia untuk
mengatasi persoalan perubahan iklim akibat kerusakan lingkungan.
Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terjadi hampir setiap tahun. Kebakaran
paling parah di sebagian Sumatera dan Kalimantan baru saja berlalu akhir
Oktober lalu. Selama lebih dari tiga bulan masyarakat di kedua pulau itu
menghirup asap akibat kebakaran yang bahkan melebihi standar berbahaya dalam
Indeks Standar Pencemaran Udara ISPU. Sedikitnya 24 orang meninggal akibat asap
dan penyakit terkait asap, sementara 40 juta lainnya terpapar asap selama
berminggu-minggu. Terhentinya seluruh aktivitas warga diperkirakan menimbulkan
kerugian hingga milyaran rupiah.
Selain karena El Nino, penyebab utama kebakaran hutan dan lahan ditengarai
akibat pemberian ijin pembukaan lahan yang semena-mena.
Ketua Protection of Forest and Fauna atau Profauna Indonesia, Rosek
Nursahid mendorong pemerintah melakukan moratorium ijin usaha di bidang
kehutanan secara menyeluruh, serta melakukan penataan dan pengelolaan hutan
secara baik untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan lagi di
tahun-tahun mendatang.
“Moratorium ini memang harus dilakukan, tidak ada ijin baru untuk pembukaan
hutan, baik untuk sawit atau pun HPH. Kemudian yang kedua, pemerintah harus
punya posisi tawar kepada negara-negara maju mendukung upaya pelestarian hutan
karena terkait dengan perubahan iklim, tetapi dukungan ini kami tidak sepakat
kalau dalam bentuk uang, kami lebih mendorong dukungan ini lebih bersifat
kepada pendidikan,” kata Rosek.
Tidak hanya mendesak pemerintah Indonesia, Profauna juga mendesak
negara-negara maju membuktikan komitmennya mendukung upaya pelestarian hutan di
Indonesia untuk menekan dampak perubahan iklim. Rosek menyebut komitmen
negara-negara maju dalam hal menerima produk hasil hutan asal Indonesia, akan menjadi
ukuran komitmen negara-negara di dunia untuk mencegah terjadinya kerusakan alam
akibat deforestasi hutan.
“Mereka tidak menerima produk-produk, yang dijamin produk itu tidak merusak
hutan, nah produk itu apakah bisa produk sawit atau produk dalam bentuk kayu
atau olahan yang lain. Nah sementara ini juga kadang-kadang negara maju meminta
kita untuk memperbaiki hutan tapi mereka juga masih menerima produk-produk yang
tidak ramah lingkungan, artinya harus ada juga kebijakan dari sudut konsumen,”
tambahnya.
Sementara itu Koordinator Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK)
Jawa Timur, Muhammad Ichwan mengatakan, upaya negera-negara maju untuk
mendukung pengurangan laju deforestasi hutan harus dibuktikan dengan tidak lagi
menerima produk kayu yang ilegal, atau tidak memiliki sertifikat Sistem
Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).
Menurut
Muhammad Ichwan, “Nagara-negara industri besar seperti di Eropa, Australia,
kemudian Amerika, harus menolak, dalam konteks sumber daya hutan, produk-produk
yang masuk ke negara mereka yang tidak ada label Sistem Verifikasi Legalitas
Kayu (SVLK) atau green product, ini dalam rangka untuk mengurangi laju
deforestasi hutan di Indonesia. Karena memang Indonesia negara terbesar ketiga
yang hutannya cukup luas, nah ini kalau kemudian negara-negara mereka itu tetap
menerima produk-produk kayu yang tidak jelas asal usulnya, dipastikan Indonesia
akan semakin rusak deforestasi hutannya.”
Indonesia
merupakan salah satu negara dengan luasan hutan terbesar ketiga di dunia,
tetapi memiliki laju deforestasi yang tercepat di dunia. Hal ini disebabkan
sistem tata kelola hutan di Indonesia yang tidak baik, serta masih maraknya
praktek-praktek penebangan hutan secara liar. Langkah bersama semua negara di
dunia sangat dibutuhkan, agar dampak perubahan iklim dan kerusakan lingkungan
yang diakibatkan dapat diminimalisir.