Oleh: Muhammad Fathul Farikh Fauzy * Beberapa waktu lalu, terdengar berita bahwa ber karung-karung trenggiling (Manis javanica) berh...
Beberapa waktu lalu, terdengar berita bahwa ber karung-karung
trenggiling (Manis javanica) berhasil diamankan oleh bea cukai, sebelum di
ekspor ke luar negeri. Kondisi trenggiling sudah mati dan dalam kondisi tidak
bersisik lagi.
Sumber lain dari, The Borneo Orang Utan Survival Foundation
mencatat bahwa, sejak tahun 1900 hanya tersisa 75 % orang utan, dengan
jumlah populasi 54.000 individu, dan dalam kurun waktu sampai sekarang ini,
populasi orang utan (Pongo pigmaesus) terus menurun. Prediksi, pada tahun 2020,
orang utan di alam liar, khususnya Kalimantan akan hilang. Anakan orang utan
yang ditangkap, maka induknya harus dibunuh terlebih dahulu. Agar supaya, si
induk tidak ikut campur dalam pengasuhan anak, tentunya agar tidak memakan
biaya perawatan yang terlalu besar.
Satwa-satwa yang mayoritas dilindungi ini, menjadi perdagangan
yang sangat menguntungkan sekaligus beresiko tinggi, karena melawan hukum.
Pemerintah Amerika Serikat, malalui duta besarnya di Indonesia, Kristen Bauer
mencatat, jika perdagangan ini mencapai nilai 7-10 milliar dolar AS, setiap
tahun. Oleh karena itu, moment peringatan Hari Satwa Sedunia, setiap tanggal 4
Oktober, menjadi salah satu sarana introspeksi kita dengan alam, yang kian hari
kian mengkhawatirkan kondisinya.
Perburuan Satwa: Sudut Pandang Ekologi
Dari segi lingkungan, perburuan satwa liar yang dilindungi,
karena kondisinya terancam punah, menimbulkan dampak negatif untuk lingkungan.
Pertama, perburuan satwa ini membuat jaring-jaring makanan dan
piramida makanan, menjadi tidak berfungsi sebagai mestinya. Peran setiap
spesies, berada di wilayah yang berbeda-beda. Posisi mereka ada yang menjadi
produsen, konsumen satu, konsumen dua, dan tiga, bahkan empat. Untuk konsumen
ini, ialah yang tidak mampu membuat makanan sendiri, sehingga mereka memangsa
spesies lain, demi kelangsungan hidupnya. Ketidak seimbangan populasi antar
konsumen-konsumen ini, baik karena perburuan liar maupun faktor lain,
menyebabkan ketidak seimbangan populasi, dimana spesies satu bertambah drastis,
sedangkan spesies lain, punah. Perlu waktu untuk untuk alam, melakukan proses
pemulihan diri, entah itu suksesi primer maupun sekunder. Itu termasuk salah
satunya, usaha alam sendiri, untuk menyambungkan jaring-jaring yang hilang itu.
Kedua, mengurangi varietas atau keragaman dalam satu spesies.
Perburuan satwa di alam membuat populasi semakin sedikit, sehingga secara tidak
langsung keaneka ragaman makhluk hidup, dalam satu spesies ini pun semakin
kecil. Varietas yang sedikit ini, salah satunya terjadi karena pertukaran
gen-gen melalui perkawinan dan adaptasi, juga kecil.
Poin pertama dan kedua, tidak berlaku ketika kondisi satwa liar
ini, bisa di kembang biakkan atau ditangkarkan. Tentunya dalam kondisi ini,
manusia terlibat dan bisa mengatur perkawinan dan populasi dari satwa yang
bersangkutan. Pada kenyataannya, banyak satwa yang terancam punah, umumnya
tidak bisa ditangkarkan atau dikembang biakkan oleh manusia.
Ketiga, siklus perubahan alam sulit ditandai. Pada masa kini,
pemanasan global membuat kondisi musim, sulit dikenali, namun beberapa hewan
menjadi penanda yang akurat, salah satunya adalah gajah (Elephas maximus).
Tanda-tanda tercipta melalui perilaku gajah sumatera, yang bermigrasi setiap
tahunnya, melalui jalur yang sama. Dalam kondisi normal, ketika musim kemarau,
daerah mereka kekurangan makanan, lalu mereka bermigrasi ke daerah yang
memiliki banyak sumber makanan. Ketika musim hujan, mereka kembali ke daerah
asalnya.
Perburuan Satwa: Sudut Pandang Sosial-Budaya
Perburuan satwa liar, dalam aspek sosial-budaya, melalui
perilaku para pemburu dan juga makna dari hewan buruan itu sendiri.
Pertama, terjadi perubahan material atau kebendaan, dari
kultural (seperti mitos, dongeng, cerita rakyat) menuju komoditas. Dulu,
satwa-satwa liar, menjadi bagian dari mitos penduduk, seperti contoh komodo.
Komodo (Varanus komodoensis), dipercaya sebagai wujud nenek moyang masyarakat
sekitar Pulau Rinca, termasuk Pulau Komodo, sehingga tidak boleh dibunuh. Di
beberapa wilayah di Pulau Jawa, harimau (Panthera tigris) juga dipercaya
sebagai penjelmaan leluhur masa lalu, dan terkadang dianggap sebagai penjaga
hutan, sehingga tidak boleh dibunuh.
Sekarang, mitos-mitos yang ada di masyarakat, mulai luntur,
dimana beberapa satwa tetap saja diburu dan menjadi salah satu komoditas perdagangan
yang utama, seperti harimau. Dalam banyak kasus, mitos-mitos ini kemudian
menjadi produk masa lalu yang lambat laun, bisa saja tergerus oleh modernisasi
dan kepentingan pasar.
Marvin Harris menulis tentang Sapi (Bos sp) di India. Larangan
membunuh sapi, melalui ajaran Hindu, yakni ahimsa dan mitos bahwa sapi
merupakan kendaraan dewa, membuat sapi disana terjaga populasinya. Lebih dari
itu, larangan membunuh sapi terjadi karena, sapi merupakan hewan kebutuhan
sehari-hari, jika dibunuh dan dimakan dagingnya, investasi ekonomi masyarakat,
hilang. Sapi bukan satwa yang terancam punah, namun hewan tersebut setidaknya,
mendapat label kultural dari masyarakat setempat.
Kedua, satwa menjadi kebutuhan primer manusia, bukan lagi
sekunder. Beberapa satwa menjadi bagian dari konsumsi manusia, semisal
untuk obat dan bahan baku kosmetik, walaupun satwa tersebut hampir punah.
Kondisi yang punah ini terjadi, karena satwa tersebut sulit dikembang biakkan,
sensistif terhadap perubahan lingkungan, dan laju reproduksinya lambat.
Keberadaan satwa, bukan lagi untuk pelengkap di rumah saja, namun mereka
dipakai untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.
Ketiga, sanksi sosial yang diberikan masih rendah. Ketika
membunuh satwa, sanksi yang diberikan masyarakat belum benar-benar muncul.
Kesamaan pandangan bahwa membunuh satwa, sama saja dengan menghilangkan nyawa
makhluk hidup, termasuk manusia, belum ada. Peristiwa pembunuhan terhadap
manusia, secara tidak langsung, akan memantik reaksi dari masyarakat, mereka
akan mengucilkan atau bahkan memperbincangkan pembunuh.
Keempat, penyalah gunaan wewenang dan kepercayaan. Permasalahan
ini semakin bertambah ketika, ada yang melegalkan tindakan perburuan dengan
payung-payung kultural, lalu membuat masyarakat percaya, kemudian melalui
kepercayaan yang terjadi antara masyarakat dengan oknum, terjadilah perburuan
secara diam-diam.
Saran
Dalam sebuah kutipan, Conrad Kottak, seorang ahli Antropologi,
yang salah satu perhatiannya pada lingkungan, bercerita tentang pengalaman saat
konservasi lemur (satwa endemik di Pulau Madagaskar, Afrika). Dia menjelaskan
bahwa, Orang Madagaskar umumnya melihat kemiskinan menjadi persoalan paling
pokok, daripada keberlangsungan hidup hewan dan tanaman. Dia juga menambahkan,
kebanyakan Orang Madagaskar, masih belum tahu kalau lemur, merupakan satwa endemik
di wilayah tersebut, dan kondisinya terancam punah.
Kondisi Madagaskar, yang merupakan negara sedang berkembang,
mirip dengan Indonesia. Pertama, perlu ada penguatan kapasitas ekonomi di
masyarakat, dengan mengedepankan usaha-usaha alternatif. Tujuannya agar, mereka
tidak tergantung lagi untuk terlibat dalam usaha perburuan satwa liar. Kedua,
perlu ada revitalisasi budaya lokal, dengan menggandeng tokoh adat, meminta
pendapat mereka, dan menjadikan mereka bagian dari agen konservasi lokal.
Ketiga, penguatan dan pemantapan komunikasi dan koordinasi, melalui masyarakat
setempat, pemerintah, dan lembaga non-pemerintah. Lemahnya koordinasi dan
tumpang tindih kewenangan, membuat kerja di lapangan juga kurang optimal, serta
kurang berkelanjutan.
* Muhammad Fathul Farikh Fauzy adalah seorang pemerhati lingkungan,
alumni Antropologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ia bisa
dihubungi melalui email di: muhammad.farikh@gmail.com.