PortalHijau.Com - Jauh hari sebelum pelaksanaan KTT Perubahan Iklim 2015 di Paris, Indonesia sudah melakukan berbagai persiapan. Mulai da...
PortalHijau.Com - Jauh
hari sebelum pelaksanaan KTT Perubahan Iklim 2015 di Paris, Indonesia sudah
melakukan berbagai persiapan. Mulai dari membuat rencana kontribusi pengurangan
emisi atau yang dikenal sebagai “Intended Nationally Determined Contribution”
INDC hingga mempersiapkan diri menjelaskan tentang kebakaran hutan dan lahan,
serta beberapa bencana alam lain yang terjadi di sebagian wilayah Indonesia
jika kelak dibahas dalam KTT tersebut.
Ditemui
di kantornya, Utusan Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim Rahmat Witoelar
mengatakan kepada VOA, dalam dokumen INDC yang akan dipaparkan nanti, Indonesia
menyatakan kesiapan menaikkan target pengurangan emisi gas rumah kaca dari
sebelumnya 26% menjadi 29% pada tahun 2030. Untuk itu Indonesia menginginkan
adanya adaptasi dan mitigasi yang berimbang. Menurut Witoelar, kedua hal tadi
menjadi keunggulan Indonesia karena INDC negara-negara lain lebih mengutamakan
mitigasi, bukan adaptasi.
“Untuk
target 26 persen pada tahun 2020 kita sesuai target jadwal. Yang 29 persen kan
2030. Kita menghindarkan ada suatu pembukaan lahan baru,” katanya.
Salah
satu bagian penting lain dalam dokumen INDC yang akan dipaparkan nanti adalah
niat Indonesia menjadikan masyarakat adat sebagai faktor penting dalam
mengatasi perubahan iklim. Indonesia ingin kembali memberdayakan masyarakat
adat, tambah Witoelar.
“Untuk
menjaga hutan-hutan itu, yang paling efektif bahwa masyarakat adat setempat
diberdayakan, diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk hal yang dia paling
pintar," tambahnya lagi.
Lebih
jauh mantan menteri lingkungan hidup itu mengatakan dalam menurunkan emisi gas
rumah kaca, pemerintah Indonesia tidak saja memusatkan perhatian pada sektor
kehutanan tetapi juga sektor energi dan sumber daya alam. Pemerintah tambahnya
akan mengurangi secara bertahap penggunaan batubara untuk pembangkit listrik.
Batubara adalah salah satu penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca. Harapannya
kelak batubara bisa digantikan dengan energi terbarukan atau geothermal.
Siapkah
Indonesia menjelaskan tentang kebakaran hutan dan lahan yang asapnya tidak saja
menyelimuti sebagian wilayah Indonesia tetapi meluas hingga ke Singapura,
Malaysia dan Thailand? Rahmat Witoelar menegaskan kesiapannya.
“Ga
masalah, kita tidak perlu takut. Kita tidak salah kita terkenal El nino,
sejumlah negara, mereka juga kejadian,” ujarnya.
Berdasarkan
data World Resources Institute (WRI), emisi akibat kebakaran hutan dan lahan
tahun ini telah mencapai 1.043 juta ton ekuivalen atau sudah lebih tinggi dari
emisi bahan bakar fosil yang dihasilkan oleh Jerman dan Belanda pada tahun
2013. Sementara jika dibandingkan dengan angka emisi nasional tahun 2015 yang
dibuat oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), jumlahnya sudah
mencapai 1.636 juta ton Co2.
Emisi
kebakaran hutan dan lahan di sebagian wilayah Indonesia sejak Juli – September
2015 sudah mencapai 63,7 persen dari angka emisi nasional itu, dimana 18%
lainnya mencakup emisi akibat kebakaran gambut.
Mengingat
hal-hal itu, bisa jadi niat Indonesia menaikkan target pengurangan emisi gas
rumah kaca hingga 29 persen pada tahun 2030 akan dipertanyakan negara-negara
lain. Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia WALHI Abetnego
mengatakan target Indonesia itu sulit dicapai.
“Kalau
menurut saya sulit tercapai karena strategi yang dikembangkan misalnya mulai
dari dulu hingga sekarang adalah moratorium, moratorium dilakukan untuk
memperbaiki tata kelola dan mengendalikan alih fungsi tetapi kenyatannya
terjadi alih fungsi besar-besaran. Yang kedua kebakaran hutan dan lahan hingga
tahun ini terbukti setiap tahun masih terjadi,” kata Rahmat.
Namun
ia optimis mencapai target itu. Menurutnya untuk mencapai target jangka panjang
itu, tidak saja diperlukan kerjasama erat antara pemerintah pusat, daerah dan
sektor bisnis, tetapi juga seluruh negara yang berkepentingan pada perubahan
iklim dunia.