Pembangunan beremisi rendah atau yang dalam istilah internasional disebut Low Emissions Development (LEDs) adalah paradigma yang kini sed...
Pembangunan
beremisi rendah atau yang dalam istilah internasional disebut Low Emissions
Development (LEDs) adalah paradigma yang kini sedang berkembang pesat di
dunia internasional sebagai salah satu jawaban untuk tantangan perubahan iklim yang
sangat berdampak bagi kehidupan manusia di berbagai belahan bumi ini.
LEDs ini
dikonsepsikan sebagai ‘jalan tengah’ antara tujuan-tujuan pembangunan nasional
dan upaya pengurangan emisi global, terlepas dari isu kepentingan politik
didalamnya. Selain itu LEDs memang ditujukan untuk mendukung terciptanya
visi-misi pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals)
yang telah ditetapkan pada Konferensi Tingkat Tinggi Bumi Rio+20 oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 2012 lalu di Rio de Janeiro, Brazil.
Pembangunan
beremisi rendah adalah tantangan sekaligus peluang bagi negara-negara di dunia
tidak hanya untuk mencapai pembangunan yang sukses dan berkelanjutan namun
mengurangi dampak perubahan iklim pula. Sesuai dengan laporan Bank Dunia, bahwa
perubahan iklim jauh akan lebih berdampak negatif pada negara-negara berkembang
dibandingkan negara maju.
Populasi,
kesehatan lingkungan, energi, infrastruktur, teknologi dan ilmu pengetahuan,
serta sumber pendanaan pembangunan merupakan beberapa hal yang membedakan
kesiapan negara maju dan negara berkembang dalam menghadapi perubahan iklim.
Secara
kontekstual, Indonesia ialah salah satu negara yang menjadi sorotan dunia dalam
permasalahan lingkungan hidup, perubahan iklim, dan pembangunan berkelanjutan.
Bukan hanya karena segenap potensi dan kekuatan yang dimiliki namun karena
kelemahan dan kompleksitas permasalahan yang harus segera ditangani secara
serius sebelum semuanya terlambat.
Pembangunan
beremisi rendah seharusnya diadopsi menjadi salah satu referensi utama bagi
pemerintah pusat, gubernur, bupati, walikota, camat, dan lurah dalam menerapkan
strategi pembangunan masa kini. Hal ini tentu akan sangat berguna dalam banyak
hal baik itu pengurangan emisi nasional, pengurangan potensi bencana alam,
peningkatan produktivitas nasional, peningkatan kualitas kehidupan warga dan
lingkungan hidup, munculnya kegiatan-kegiatan ekonomi yang baru dan inovatif,
dan banyak lainnya.
Pada faktanya,
LEDs ini secara ideal dan efektif diterapkan pada level pembangunan perkotaan (urban
development) karena menjadi titik tengah antara unit terbesar yaitu
nasional dan yang terkecil yaitu desa. Di Indonesia sendiri, saat ini, mulai
muncul banyak terobosan-terobosan untuk lebih menata perkotaan secara lebih
ramah lingkungan meskipun belum menerapkan LEDs.
Beberapa kota
besar seperti Surabaya, Bandung, Denpasar, dan Jakarta serta beberapa kota
menengah seperti Banyuwangi, Bojonegoro, Malang, dan lainnya mulai sadar akan
pentingnya aspek pemeliharaan lingkungan hidup sebagai penunjang kehidupan
perkotaan (urban living) yang berkualitas baik. Namun hal tersebut
perlu lebih dipertajam dengan implementasi strategi LEDs yang lebih
berorientasi jangka panjang (long-term).
Pembangunan
beremisi rendah memang harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi lokal dari
kota itu sendiri.
Berdasarkan
fenomena yang sedang berkembang, pengembangan transportasi publik dan ruang
terbuka hijau (khususnya taman-taman kota) masih menjadi fokus utama strategi
pembangunan ramah lingkungan kota-kota di Indonesia. Padahal strategi yang
seharusnya lebih diprioritaskan adalah pembenahan sektor industri dan
diversifikasi penggunaan energi.
Industri di
berbagai sektor di Indonesia masih banyak yang belum efisien dalam penggunaan
energi untuk aktivitas produksi, belum standar dalam pengolahan limbah, inovasi
produk ramah-lingkungan, dan lainnya. Kemudian, pengembangan perkotaan juga
masih belum secara optimal menggali potensi sumber-sumber energi terbarukan (renewable
energy). Indonesia dengan panas bumi, cahaya matahari, dan angin yang
melimpah seharusnya melakukan revolusi energi sehingga tidak hanya bergantung
pada energi fosil yang masih dominan.
Cara lain
seperti urban agriculture & planting, gerakan bersepeda (bike
movements), pemanfaatan sampah dan limbah dengan praktik iptek yang
sederhana dan aplikatif, dan banyak lagi untuk menciptakan perkotaan yang tidak
hanya ramah lingkungan namun juga rendah emisi dan berkelanjutan. Salahsatu
yang menjadi sorotan adalah pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) yang masih
kontroversial di Bandung, lalu Jakarta dan Bekasi juga tertarik untuk
membangunnya. Masalahnya adalah pendekatan yang kurang mulus dan mendalam
terhadap masyarakat sekitar sehingga penolakan keras atas PLTSa itu kerap
terjadi padahal sangat bermanfaat untuk kepentingan jangka panjang dan bagi
segala pihak.
Pada
kesimpulannya, para penyusun kebijakan (decision-makers) diharapkan
lebih mampu menerapkan prinsip “think globally act locally” sehingga
terobosan yang ada tidak hanya berujung pada popularitas dan penghargaan namun
sungguh-sungguh menjadi role model / best practices baik bagi kota
lainnya pada generasi sekarang maupun untuk generasi mendatang.
Penulis
sebelumnya berpartisipasi dalam online course yang diselenggarakan
oleh E-Institute for Development, World Bank pada Juni-juli 2014 yang
bertemakan Policy Instruments for Low Emissions Development: From Design to
Implementation. Tulisan ini sebagai salahsatu bahan refleksi dan referensi
bagi masyarakat luas untuk turut berpartisipasi dalam penyusunan dan
pelaksanaan strategi pembangunan Indonesia yang berkelas dunia. (hijauku.com)