JAKARTA – Greenpeace menilai Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla tidak menggunakan kesempatan untuk menjelaskan p...
JAKARTA – Greenpeace
menilai Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla tidak
menggunakan kesempatan untuk menjelaskan penyelarasan pembangunan ekonomi,
keadilan sosial, dan perlindungan lingkungan pada debat Calon Presiden dan
Calon Wakil Presiden bertema Pangan, Energi dan Lingkungan malam tadi, 5 Juli
2014.
Kepala Greenpeace Indonesia Longgena Ginting mengungkapkan dalam
kesempatan debat terakhir itu kedua pasangan tidak menjelaskan dan menjawab
akar masalah krisis energi, pangan, dan lingkungan.
“Tidak mungkin mempertahankan pertumbuhan ekonomi di dalam
lingkungan hidup yang terdegradasi. Sayang sekali kandidat tidak menggunakan
momen ini untuk menggambarkan konsep dan strategi untuk membangun keseimbangan
antara pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial dan perlindungan lingkungan secara
konkrit dan tegas,” jelasnya, Minggu, 6 Juli 2014, usai mengikuti jalannya
debat di Ballroom Hotel Bidakara, Jakarta.
Dia mencontohkan Prabowo Subianto justru mengatakan masyarakat
perlu diberi pendidikan agar tidak merambah hutan, padahal pendorong utama
kerusakan hutan adalah ekspansi perkebunan sawit dan Hutan Tanaman Industri
skala besar.
Meski demikian Longgena mengapresiasi komitmen Prabowo untuk
memberi sanksi keras terhadap korporasi perusak hutan. Menurutnya hal ini
membutuhkan pengujian dalam implementasi penyelesaian kasus kebakaran hutan,
korupsi sumber daya alam, serta konflik pengelolaan sumberdaya alam.
Sementara itu kebjakan satu peta (one map policy) yang dilontarkan Joko Widodo dinilai
sebagai satu langkah baik menuju transparansi kehutanan. Meski bukan ide baru,
tetapi selama ini belum ada yang mengimplementasikan kebijakan satu peta.
“Namun, komitmen penyelesaian tumpang tindih perijinan di kawasan hutan
seharusnya diawali dengan memperkuat dan memperpanjang kebijakan morarium yang
akan berakhir pada Mei 2015, termasuk review perizinan yang ada saat ini.
Sehingga bisa sejalan dengan ide one map policy,” jelas Longgena.
Hal lain yang harus diapresiasi dalam debat semalam adalah
prioritas diversifikasi energi dari sektor energi baru terbarukan (EBT).
Pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa telah menjabarkan langkah
peningkatan EBT yang lebih konkrit melalui insentif dan sistem feed in tarif.
Pasangan ini juga memiliki target yang jelas, yaitu lebih dari 25% pada 2030.
Bahkan Hatta juga mengungkapkan ketergantungan terhadap energi fosil adalah
langkah jangka pendek, sudah saatnya Indonesia beralih pada EBT.
Sementara Joko Widodo dan Jusuf Kalla ingin mengurangi
ketergantungan terhadap Bahan Bakar Minyak (BBM) dengan perbaikan transportasi
massal di kota-kota besar sebagai salah satu solusi efisiensi penggunaan energi
dan subsidi.
Namun Longgena mencatat kedua pasangan masih mengandalkan pengembangan
energi fosil melalui eksplorasi dan eksploitasi sumur baru, dan mengaktifkan
sumur-sumur tua. Menurutnya transisi dari energi fosil menuju energi bersih
terbarukan perlu segera dijankan.