Oleh: Azanuddin Kurnia dan Nurchalis IDE atau gagasan konsesi konservasi di Aceh sudah pernah penulis kemukakan lima tahun lalu (Serambi...
Oleh: Azanuddin Kurnia dan Nurchalis
IDE atau gagasan konsesi konservasi di Aceh sudah pernah penulis kemukakan lima tahun lalu (Serambi, 4/3/2007). Waktu itu, penulis menyatakan bahwa dalam pengelolaan hutan belum adanya keseimbangan tiga fungsi ekologis, sosial, dan ekonomi.
Pemerintah masih lebih condong kepada fungsi ekonomi dalam pengelolaan hutan, makanya banyak izin eksploitasi kayu yang dikeluarkan, sedangkan sebagian kelompok pecinta lingkungan minta fungsi ekologis yang diutamakan. Sulit untuk menyeimbangkan ketiga fungsi tersebut dalam satu waktu yang bersamaan.
Prinsip kelestarian hutan diindikasikan oleh tiga fungsi pokok yang saling terkait, yaitu: Pertama, fungsi ekologis, sebagai suatu sistem penyangga kehidupan antara lain merupakan pengatur tata air, menjaga kesuburan tanah, mencegah erosi, banjir, kekeringan, longsor, menjaga keseimbangan iklim mikro, penghasil udara bersih, menjaga siklus makanan serta sebagai tempat pengawetan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya;
Kedua, fungsi ekonomis, sebagai sumber yang menghasilkan barang dan jasa baik yang terukur seperti hasil hutan berupa kayu dan non kayu, maupun yang tidak terukur seperti jasa ekoturisme, dan; Ketiga, fungsi sosial, sebagai sumber penghidupan dan lapangan kerja serta kesempatan berusaha bagi sebagian masyarakat terutama yang hidup di dalam dan sekitar hutan, serta untuk kepentingan pendidikan dan penelitian demi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Alternatif Solusi
Satu saran yang mungkin bisa memberikan alternatif solusi untuk menyeimbangkan fungsi ekologis, sosial, dan ekonomi dalam pengelolaan hutan Aceh adalah dengan penerapan konsesi konservasi. Umumnya, konsesi diberikan untuk eksploitasi kayu pada hutan produksi kepada HPH atau IUPHHK. Salah satu pola baru yang mungkin bisa memberikan sumbangan dalam pemanfaatan hutan Aceh tanpa merusak (ambil kayu) adalah dengan pemberian izin dan hak untuk mengelola kawasan yang disebut konsesi konservasi.
Pelaksanaannya tidak jauh beda dengan konsep pemberian izin pada HPH atau IUPHHK. Jika pada pola HPH atau IUPHHK pemerintah memberi hak kepada perusahaan untuk mengambil kayu, dalam pola ini lembaga tertentu diberi hak untuk mengelola suatu kawasan untuk tujuan konservasi. Suatu kawasan akan disewa sesuai dengan mekanisme pasar sebagaimana dalam HPH atau IUPHHK. Pemerintah akan mendapat uang dari kawasan tersebut karena kawasan tersebut telah disewa hak kelolanya dari pemerintah. Prosedur pelelangan/seleksi izin, pemberian hak atau izin, pajak dan kewajiban fiskal dan teknis lainnya dibuat berdasarkan model HPH atau IUPHHK.
Beberapa hal dimodifikasi seperti dana reboisasi, kewajiban finansial atau fiskal lainnya disesuaikan karena izin ini tidak bersifat merusak hutan. Konsesi ini diberikan dengan misi untuk perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, pemberdayaan masyarakat adat/lokal, penurunan emisi karbon dari sektor kehutanan, meminimalkan bencana alam, dan peningkatan pendapatan asli daerah.
Harus Masuk RPJM
Langkah-langkah yang dilakukan dalam mewujudkan konsesi konservasi ini antara lain, dari sisi legalitas dan aturan hukumnya konsep konsesi konservasi harus masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Aceh 2012-2017. Modifikasi revisi Qanun Kehutanan atau dibuat Qanun Konsesi Konservasi. Namun, jika qanun belum ada, maka untuk sementara bisa dibuat Peraturan Gubernur (Pergub) Aceh.
Konsesi konservasi juga dapat diterapkan dengan mengacu kepada berbagai aturan yang ada yang memberi ruang gerak untuk masyarakat berperan serta dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Aceh yang sudah diberi keleluasaan dalam pengelolaan hutan melalui UUPA 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh bisa menjadi landasan hukum yang kuat. Pemerintahan Aceh bisa membuat kebijakan yang sesuai dengan kondisi kekinian dan kebutuhan masyarakat. Rahmat Allah melalui UUPA ini harus bisa kita manfaatkan demi kesejahteraan masyarakat Aceh.
Sedangkan dari sisi teknis di lapangan, hal-hal yang perlu dilakukan adalah: Sosialisasi konsesi konservasi dalam RPJM, Qanun, atau Pergub kepada masyarakat luas; Inventarisasi kawasan atau lahan kritis dan terdegradasi; Analisis dan hitung potensi serta hasil yang diharapkan dari kawasan yang akan dilelang/diberi izin; Pengumuman kepada publik (masyarakat adat/lokal sekitar kawasan, LSM, NGO, perusahaan, perguruan tinggi, Ormas/OKP, dan lain sebagainya; Proses pelelangan atau seleksi izin; Membayar sewa kawasan oleh pemegang izin; Penerbitan izin dan pihak ketiga mulai melakukan aktivitasnya; Monitoring dan evaluasi oleh Pemerintah Aceh c.q. Dinas Kehutanan, dan; Pemberian reward dan funishment kepada pemegang izin atas kinerjanya selama ini.
Kebijakan pemerintah untuk mendukung hal ini sangat penting, Pemerintah Aceh bisa mengambil inisiatif untuk melindungi seluruh kawasan yang sudah rusak untuk dihutankan kembali. Konsesi konservasi ini juga akan meringankan pemerintah, karena akan berkontribusi untuk meminimalkan bencana seperti banjir, longsor, kekeringan dan lain-lain. Sehingga tidak mengeluarkan biaya untuk rehabilitasi hutan dan lahan; Adanya pemberdayaan masyarakat oleh pemegang izin; Berkontribusi terhadap meminimalkan bencana, dan; Pemerintah tidak keluar biaya untuk rehab rekon karena minimalnya bencana yang terjadi.
Multi-stakeholders
Pemerintah juga harus berpikir bahwa tidak mungkin seluruh hutan yang rusak dan telah terdegradasi mampu untuk ditangani sendiri oleh pemerintah. Untuk itu berilah ruang kepada multi-stakeholders untuk ikut membantu meringankan beban ini. Tentu saja hal ini harus dimulai dengan Pemerintah Aceh memberikan kepercayaan kepada masyarakat lokal untuk mengelola hutan dan kepada multi stakeholders untuk memperbaiki hutan yang sudah rusak.
Bila konsep tersebut dijalankan, maka salah satu alternatif untuk melindungi hutan dan mensejahterakan masyarakat secara perlahan akan tercapai. Jadi bencana banjir bandang seperti di Kecamatan Leuser, Tangse, dan berbagai tempat lainnya bisa diminimalisir. Dan terjadi keseimbangan ekologi, sosial, dan ekonomi akan tercapai dalam waktu yang bersamaan.
Ada harapan untuk mewujudkan ini semua mengingat pemerintahan baru ini begitu konsen dan perhatian dengan lingkungan terutama hutan dan tambang. Sehingga Aceh kedepan akan tetap lestari dan masyarakatnya sejahtera, semoga.
*Azanuddin Kurnia, SP, MP, Kabid Bina Kehutanan Aceh Tenggara, Nurchalis, SP, mantan Kabid Kehutanan Nagan Raya. Email: lestariozen@gmail.com
IDE atau gagasan konsesi konservasi di Aceh sudah pernah penulis kemukakan lima tahun lalu (Serambi, 4/3/2007). Waktu itu, penulis menyatakan bahwa dalam pengelolaan hutan belum adanya keseimbangan tiga fungsi ekologis, sosial, dan ekonomi.
Pemerintah masih lebih condong kepada fungsi ekonomi dalam pengelolaan hutan, makanya banyak izin eksploitasi kayu yang dikeluarkan, sedangkan sebagian kelompok pecinta lingkungan minta fungsi ekologis yang diutamakan. Sulit untuk menyeimbangkan ketiga fungsi tersebut dalam satu waktu yang bersamaan.
Prinsip kelestarian hutan diindikasikan oleh tiga fungsi pokok yang saling terkait, yaitu: Pertama, fungsi ekologis, sebagai suatu sistem penyangga kehidupan antara lain merupakan pengatur tata air, menjaga kesuburan tanah, mencegah erosi, banjir, kekeringan, longsor, menjaga keseimbangan iklim mikro, penghasil udara bersih, menjaga siklus makanan serta sebagai tempat pengawetan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya;
Kedua, fungsi ekonomis, sebagai sumber yang menghasilkan barang dan jasa baik yang terukur seperti hasil hutan berupa kayu dan non kayu, maupun yang tidak terukur seperti jasa ekoturisme, dan; Ketiga, fungsi sosial, sebagai sumber penghidupan dan lapangan kerja serta kesempatan berusaha bagi sebagian masyarakat terutama yang hidup di dalam dan sekitar hutan, serta untuk kepentingan pendidikan dan penelitian demi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Alternatif Solusi
Satu saran yang mungkin bisa memberikan alternatif solusi untuk menyeimbangkan fungsi ekologis, sosial, dan ekonomi dalam pengelolaan hutan Aceh adalah dengan penerapan konsesi konservasi. Umumnya, konsesi diberikan untuk eksploitasi kayu pada hutan produksi kepada HPH atau IUPHHK. Salah satu pola baru yang mungkin bisa memberikan sumbangan dalam pemanfaatan hutan Aceh tanpa merusak (ambil kayu) adalah dengan pemberian izin dan hak untuk mengelola kawasan yang disebut konsesi konservasi.
Pelaksanaannya tidak jauh beda dengan konsep pemberian izin pada HPH atau IUPHHK. Jika pada pola HPH atau IUPHHK pemerintah memberi hak kepada perusahaan untuk mengambil kayu, dalam pola ini lembaga tertentu diberi hak untuk mengelola suatu kawasan untuk tujuan konservasi. Suatu kawasan akan disewa sesuai dengan mekanisme pasar sebagaimana dalam HPH atau IUPHHK. Pemerintah akan mendapat uang dari kawasan tersebut karena kawasan tersebut telah disewa hak kelolanya dari pemerintah. Prosedur pelelangan/seleksi izin, pemberian hak atau izin, pajak dan kewajiban fiskal dan teknis lainnya dibuat berdasarkan model HPH atau IUPHHK.
Beberapa hal dimodifikasi seperti dana reboisasi, kewajiban finansial atau fiskal lainnya disesuaikan karena izin ini tidak bersifat merusak hutan. Konsesi ini diberikan dengan misi untuk perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, pemberdayaan masyarakat adat/lokal, penurunan emisi karbon dari sektor kehutanan, meminimalkan bencana alam, dan peningkatan pendapatan asli daerah.
Harus Masuk RPJM
Langkah-langkah yang dilakukan dalam mewujudkan konsesi konservasi ini antara lain, dari sisi legalitas dan aturan hukumnya konsep konsesi konservasi harus masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Aceh 2012-2017. Modifikasi revisi Qanun Kehutanan atau dibuat Qanun Konsesi Konservasi. Namun, jika qanun belum ada, maka untuk sementara bisa dibuat Peraturan Gubernur (Pergub) Aceh.
Konsesi konservasi juga dapat diterapkan dengan mengacu kepada berbagai aturan yang ada yang memberi ruang gerak untuk masyarakat berperan serta dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Aceh yang sudah diberi keleluasaan dalam pengelolaan hutan melalui UUPA 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh bisa menjadi landasan hukum yang kuat. Pemerintahan Aceh bisa membuat kebijakan yang sesuai dengan kondisi kekinian dan kebutuhan masyarakat. Rahmat Allah melalui UUPA ini harus bisa kita manfaatkan demi kesejahteraan masyarakat Aceh.
Sedangkan dari sisi teknis di lapangan, hal-hal yang perlu dilakukan adalah: Sosialisasi konsesi konservasi dalam RPJM, Qanun, atau Pergub kepada masyarakat luas; Inventarisasi kawasan atau lahan kritis dan terdegradasi; Analisis dan hitung potensi serta hasil yang diharapkan dari kawasan yang akan dilelang/diberi izin; Pengumuman kepada publik (masyarakat adat/lokal sekitar kawasan, LSM, NGO, perusahaan, perguruan tinggi, Ormas/OKP, dan lain sebagainya; Proses pelelangan atau seleksi izin; Membayar sewa kawasan oleh pemegang izin; Penerbitan izin dan pihak ketiga mulai melakukan aktivitasnya; Monitoring dan evaluasi oleh Pemerintah Aceh c.q. Dinas Kehutanan, dan; Pemberian reward dan funishment kepada pemegang izin atas kinerjanya selama ini.
Kebijakan pemerintah untuk mendukung hal ini sangat penting, Pemerintah Aceh bisa mengambil inisiatif untuk melindungi seluruh kawasan yang sudah rusak untuk dihutankan kembali. Konsesi konservasi ini juga akan meringankan pemerintah, karena akan berkontribusi untuk meminimalkan bencana seperti banjir, longsor, kekeringan dan lain-lain. Sehingga tidak mengeluarkan biaya untuk rehabilitasi hutan dan lahan; Adanya pemberdayaan masyarakat oleh pemegang izin; Berkontribusi terhadap meminimalkan bencana, dan; Pemerintah tidak keluar biaya untuk rehab rekon karena minimalnya bencana yang terjadi.
Multi-stakeholders
Pemerintah juga harus berpikir bahwa tidak mungkin seluruh hutan yang rusak dan telah terdegradasi mampu untuk ditangani sendiri oleh pemerintah. Untuk itu berilah ruang kepada multi-stakeholders untuk ikut membantu meringankan beban ini. Tentu saja hal ini harus dimulai dengan Pemerintah Aceh memberikan kepercayaan kepada masyarakat lokal untuk mengelola hutan dan kepada multi stakeholders untuk memperbaiki hutan yang sudah rusak.
Bila konsep tersebut dijalankan, maka salah satu alternatif untuk melindungi hutan dan mensejahterakan masyarakat secara perlahan akan tercapai. Jadi bencana banjir bandang seperti di Kecamatan Leuser, Tangse, dan berbagai tempat lainnya bisa diminimalisir. Dan terjadi keseimbangan ekologi, sosial, dan ekonomi akan tercapai dalam waktu yang bersamaan.
Ada harapan untuk mewujudkan ini semua mengingat pemerintahan baru ini begitu konsen dan perhatian dengan lingkungan terutama hutan dan tambang. Sehingga Aceh kedepan akan tetap lestari dan masyarakatnya sejahtera, semoga.
*Azanuddin Kurnia, SP, MP, Kabid Bina Kehutanan Aceh Tenggara, Nurchalis, SP, mantan Kabid Kehutanan Nagan Raya. Email: lestariozen@gmail.com