Proses hukum terhadap 27 warga Wawonii, Sulawesi Tenggara, yang giat menolak masuknya tambang nikel, terus berlanjut. Sejumlah mahasiswa dan...
Proses hukum terhadap 27 warga Wawonii, Sulawesi Tenggara, yang giat menolak masuknya tambang nikel, terus berlanjut. Sejumlah mahasiswa dan masyarakat Wawonii mendesak polisi menghentikan kriminalisasi tersebut, selain menuntut pencabutan izin usaha pertambangan (IUP) PT Gema Kreasi Perdana (GKP).
Warga Wawonii Tolak Tambang - Pelaporan 27 warga Wawonii ke kepolisian dilakukan oleh pihak PT Gema Kreasi Perdana (GKP). Polisi dinilai bertindak cepat dalam memproses hukum para terlapor, Jasmin dan Idris yang telah ditetapkan sebagai tersangka.
Sementara laporan warga atas nama Idris ke pihak Polres Kendari pada 14 Agustus 2019 tak kunjung diproses. Laporan itu terkait penerobosan lahan milik Idris oleh PT GKP pada 16 Juli 2019.
"Sebaliknya, Idris justru dilaporkan pihak PT GKP ke Polres Kendari dan sudah ditetapkan sebagai tersangka," kata Haerul Bahdar saat memimpin demonstrasi di Mapolda Sultra, Kendari, Senin (2/12).
Selain itu, laporan warga atas nama Labaa, Amin dan Waana terkait pengrusakan tanaman dan penyerobotan lahan oleh PT GKP juga telah dilaporkan ke Polda Sultra pada 30 Agustus dan 1 September lalu. Kedua laporan tersebut hinigga kini mengendap, tanpa ada tanda-tanda untuk ditindaklanjuti.
"Hal ini patut diduga bahwa pihak kepolisian justru sedang terlibat dalam skema permainan PT GKP, memaksa penerobosan lahan milik masyarakat untuk memuluskan niat jahatnya dalam menambang nikel di perut Pulau Wawonii," katanya.
Sementara itu, Edy Kurniawan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar menilai pihak kepolisian tampak latah menangani laporan PT GKP. Dia menyebutkan Pasal 333 KUHP yang disangkakan kepada warga, terkesan dipaksakan, dengan tujuan untuk menakut-nakuti warga lain yang selama ini aktif berjuang mempertahankan lingkungan hidup dan hak atas tanah.
Edy menjelaskan tindakan warga yang mengikat para pekerja PT GKP dalam kasus penerobosan lahan itu, secara kontekstual tidak dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana perampasan kemerdekaan. Sebab menurutnya, tindakan tersebut dilakukan dalam rangka mempertahankan haknya, bukan melawan hak serta mencegah terjadinya tindak pidana yang hanya menimbulkan kerugian lebih besar bagi warga.
Dia menambahkan, Jasmin dan 26 warga lainnya tidak bisa diproses hukum karena murni memperjuangkan lingkungan hidup, yang dikategorikan Anti-SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation), sebagaimana amanat Pasal 66 UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Sementara itu, Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Muh Jamil menduga keberadaan tambang PT GKP di pulau Wawonii, termasuk perusahaan tambang lainnya, ilegal. Sebab, Wawonii adalah pulau kecil yang luasnya hanya 708,32 kilometer persegi.
Berdasarkan ketentuan UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, peruntukannya bukan untuk kegiatan pertambangan.
"Tak hanya itu, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Privinsi Sulawesi Tenggara dan Kabupaten Konawe Kepulauan, serta Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Sultra, peruntukkan pulau Wawonii tidak untuk pertambangan," ujarnya.
Jamil juga mengkritik keberadaan terminal khusus (tersus) PT GKP di Desa Sukarela Jaya, Kecamatan Wawonii Tenggara. Menurutnya, keberadaan tersus ini tidak mendapatkan rekomendasi dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Tenggara.
Dia mengatakan lokasi yang digunakan dalam membangun tersus ini seharusnya untuk pemanfaatan umum peruntukan kegiatan perikanan tangkap.
Terkait hal itu, mereka mendesak Kapolri segera memerintahkan Kapolda Sultra agar menghentikan seluruh proses hukum 27 warga Wawonii yang dilaporkan pihak PT GKP. Selain itu, mereka juga mendesak polisi melepaskan status tersangka warga yang telah ditetapkan kepolisian.
"Mendesak Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Tenggara, Ali Mazi dan Lukman Abunawas, untuk segera mencabut izin usaha pertambangan PT GKP, serta perusahaan tambang lainnya yang ada di Pulau Wawonii," ujarnya.
Selain itu mereka juga mendesak Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memidanakan PT GKP yang melakukan aktivitas pertambangan di pulau kecil Wawonii. Mereka juga mendesak agar terminal khusus (tersus) yang dibangun pihak anak usaha Harita Group tersebut, segera disegel.
Dalam kesempatan itu, mereka ikut mendesak Komnas HAM segera membuka ke publik rekomendasi kepada Polda Sultra terkait pelanggaran HAM dan kriminalisasi warga Wawonii yang memperjuangkan lingkungan hidup dan mempertahankan hak kepemilikan atas tanahnya masing-masing.
"Mendesak Komnas HAM untuk segera berkoordinasi dengan Kapolri RI dan Kapolda Sultra untuk menghentikan seluruh proses hukum kepada warga, mengingat keberadaan PT GKP dan terminal khusus yang dibangun di pulau Wawonii diduga cacat administrasi dan tidak memiliki izin lingkungan," ujarnya.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) sebagai lembaga negara yang paham tentang pesisir dan pulau-pulau kecil untuk segera membuka informasi kepada publik, ihwal proses penetapan dan dokumen kawasan hutan di lahan-lahan milik warga, yang kemudian telah diberikan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) kepada PT GKP.
Polisi Bantah Kriminalisasi
Jasmin telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Direktorat Kriminal Umum Polda Sultra. Sedangkan Idris menyandang status tersangka dari Polres Kendari atas kasus yang sama.
Kabid Humas Polda Sultra AKBP Harry Goldenhardt menjelaskan, Jasmin ditetapkan tersangka karena diduga melakukan perbuatan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 333 KUHP tentang perampasan hak kemerdekaan seseorang.
"Kami bekerja berdasarkan laporan warga. Adanya laporan itu polisi kita terima. Itu karena adanya perbuatan pidana," katanya.
Harry membantah anggapan bahwa polisi melakukan kriminalisasi terhadap aktivis penolak tambang di pulau kecil itu. Menurutnya, tindakan disebut kriminalisasi apabila ada sebuah perbuatan yang tidak diatur dalam undang-undang, misal KUHP, sebagai payung hukumnya.
"Jadi, tolong dipisahkan antara kriminalisasi atau tidak," katanya.
Menurut penyidik, penanganan kasus warga Wawonii yang dilaporkan PT GKP sudah memiliki dua alat bukti yang sah diduga terjadi tindak pidana. Meski demikian, sikap berbeda diterapkan oleh polisi atas laporan warga terhadap PT GKP yang merusak tanaman warga.
Terhadap laporan ini, Harry berjanji pihak kepolisian juga akan menindaklanjutinya.
"Soal laporan warga, akan dilakukan. Tidak ada perbedaannya penanganan kasus, setiap laporan pasti akan tindak lanjuti," ucapnya.
Sementara ini Direktur Operasional PT GKP Bambang Murtiyoso belum memberikan jawaban saat dihubungi melalui pesan WhatsApp ihwal masalah IUP perusahaan yang diduga melanggar aturan itu. (pnd/pmg)
Penulis: CNN Indonesia
Warga Wawonii Tolak Tambang - Pelaporan 27 warga Wawonii ke kepolisian dilakukan oleh pihak PT Gema Kreasi Perdana (GKP). Polisi dinilai bertindak cepat dalam memproses hukum para terlapor, Jasmin dan Idris yang telah ditetapkan sebagai tersangka.
Sementara laporan warga atas nama Idris ke pihak Polres Kendari pada 14 Agustus 2019 tak kunjung diproses. Laporan itu terkait penerobosan lahan milik Idris oleh PT GKP pada 16 Juli 2019.
"Sebaliknya, Idris justru dilaporkan pihak PT GKP ke Polres Kendari dan sudah ditetapkan sebagai tersangka," kata Haerul Bahdar saat memimpin demonstrasi di Mapolda Sultra, Kendari, Senin (2/12).
Selain itu, laporan warga atas nama Labaa, Amin dan Waana terkait pengrusakan tanaman dan penyerobotan lahan oleh PT GKP juga telah dilaporkan ke Polda Sultra pada 30 Agustus dan 1 September lalu. Kedua laporan tersebut hinigga kini mengendap, tanpa ada tanda-tanda untuk ditindaklanjuti.
"Hal ini patut diduga bahwa pihak kepolisian justru sedang terlibat dalam skema permainan PT GKP, memaksa penerobosan lahan milik masyarakat untuk memuluskan niat jahatnya dalam menambang nikel di perut Pulau Wawonii," katanya.
Sementara itu, Edy Kurniawan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar menilai pihak kepolisian tampak latah menangani laporan PT GKP. Dia menyebutkan Pasal 333 KUHP yang disangkakan kepada warga, terkesan dipaksakan, dengan tujuan untuk menakut-nakuti warga lain yang selama ini aktif berjuang mempertahankan lingkungan hidup dan hak atas tanah.
Edy menjelaskan tindakan warga yang mengikat para pekerja PT GKP dalam kasus penerobosan lahan itu, secara kontekstual tidak dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana perampasan kemerdekaan. Sebab menurutnya, tindakan tersebut dilakukan dalam rangka mempertahankan haknya, bukan melawan hak serta mencegah terjadinya tindak pidana yang hanya menimbulkan kerugian lebih besar bagi warga.
Dia menambahkan, Jasmin dan 26 warga lainnya tidak bisa diproses hukum karena murni memperjuangkan lingkungan hidup, yang dikategorikan Anti-SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation), sebagaimana amanat Pasal 66 UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Sementara itu, Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Muh Jamil menduga keberadaan tambang PT GKP di pulau Wawonii, termasuk perusahaan tambang lainnya, ilegal. Sebab, Wawonii adalah pulau kecil yang luasnya hanya 708,32 kilometer persegi.
Berdasarkan ketentuan UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, peruntukannya bukan untuk kegiatan pertambangan.
"Tak hanya itu, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Privinsi Sulawesi Tenggara dan Kabupaten Konawe Kepulauan, serta Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Sultra, peruntukkan pulau Wawonii tidak untuk pertambangan," ujarnya.
Jamil juga mengkritik keberadaan terminal khusus (tersus) PT GKP di Desa Sukarela Jaya, Kecamatan Wawonii Tenggara. Menurutnya, keberadaan tersus ini tidak mendapatkan rekomendasi dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Tenggara.
Dia mengatakan lokasi yang digunakan dalam membangun tersus ini seharusnya untuk pemanfaatan umum peruntukan kegiatan perikanan tangkap.
Terkait hal itu, mereka mendesak Kapolri segera memerintahkan Kapolda Sultra agar menghentikan seluruh proses hukum 27 warga Wawonii yang dilaporkan pihak PT GKP. Selain itu, mereka juga mendesak polisi melepaskan status tersangka warga yang telah ditetapkan kepolisian.
"Mendesak Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Tenggara, Ali Mazi dan Lukman Abunawas, untuk segera mencabut izin usaha pertambangan PT GKP, serta perusahaan tambang lainnya yang ada di Pulau Wawonii," ujarnya.
Selain itu mereka juga mendesak Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memidanakan PT GKP yang melakukan aktivitas pertambangan di pulau kecil Wawonii. Mereka juga mendesak agar terminal khusus (tersus) yang dibangun pihak anak usaha Harita Group tersebut, segera disegel.
Dalam kesempatan itu, mereka ikut mendesak Komnas HAM segera membuka ke publik rekomendasi kepada Polda Sultra terkait pelanggaran HAM dan kriminalisasi warga Wawonii yang memperjuangkan lingkungan hidup dan mempertahankan hak kepemilikan atas tanahnya masing-masing.
"Mendesak Komnas HAM untuk segera berkoordinasi dengan Kapolri RI dan Kapolda Sultra untuk menghentikan seluruh proses hukum kepada warga, mengingat keberadaan PT GKP dan terminal khusus yang dibangun di pulau Wawonii diduga cacat administrasi dan tidak memiliki izin lingkungan," ujarnya.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) sebagai lembaga negara yang paham tentang pesisir dan pulau-pulau kecil untuk segera membuka informasi kepada publik, ihwal proses penetapan dan dokumen kawasan hutan di lahan-lahan milik warga, yang kemudian telah diberikan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) kepada PT GKP.
Polisi Bantah Kriminalisasi
Jasmin telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Direktorat Kriminal Umum Polda Sultra. Sedangkan Idris menyandang status tersangka dari Polres Kendari atas kasus yang sama.
Kabid Humas Polda Sultra AKBP Harry Goldenhardt menjelaskan, Jasmin ditetapkan tersangka karena diduga melakukan perbuatan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 333 KUHP tentang perampasan hak kemerdekaan seseorang.
"Kami bekerja berdasarkan laporan warga. Adanya laporan itu polisi kita terima. Itu karena adanya perbuatan pidana," katanya.
Harry membantah anggapan bahwa polisi melakukan kriminalisasi terhadap aktivis penolak tambang di pulau kecil itu. Menurutnya, tindakan disebut kriminalisasi apabila ada sebuah perbuatan yang tidak diatur dalam undang-undang, misal KUHP, sebagai payung hukumnya.
"Jadi, tolong dipisahkan antara kriminalisasi atau tidak," katanya.
Menurut penyidik, penanganan kasus warga Wawonii yang dilaporkan PT GKP sudah memiliki dua alat bukti yang sah diduga terjadi tindak pidana. Meski demikian, sikap berbeda diterapkan oleh polisi atas laporan warga terhadap PT GKP yang merusak tanaman warga.
Terhadap laporan ini, Harry berjanji pihak kepolisian juga akan menindaklanjutinya.
"Soal laporan warga, akan dilakukan. Tidak ada perbedaannya penanganan kasus, setiap laporan pasti akan tindak lanjuti," ucapnya.
Sementara ini Direktur Operasional PT GKP Bambang Murtiyoso belum memberikan jawaban saat dihubungi melalui pesan WhatsApp ihwal masalah IUP perusahaan yang diduga melanggar aturan itu. (pnd/pmg)
Penulis: CNN Indonesia