"Pengaturan sanksi tindak pidana lingkungan hidup dalam RKHUP juga mengubah model kumulatif yang diatur dalam UU Perlindungan dan Peng...
"Pengaturan sanksi tindak pidana lingkungan hidup dalam RKHUP juga mengubah model kumulatif yang diatur dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) Nomor 2 Tahun 2009"
Indonesian Center for Environmental Laws (ICEL) menilai banyak kecacatan perumusan tindak pidana lingkungan hidup dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKHUP). Rancangan tersebut justru melemahkan pertanggungjawaban korporasi dalam kasus pidana lingkungan hidup serta berpotensi mengkriminalisasi masyarakat adat.
Hukum Lingkungan - “Dalam pasal 47 dan 49c RKHUP akan sulit menjerat korporasi karena definisi yang sangat luas serta sulit membuktikan bagaimana suatu kebijakan korporasi bisa menjadi budaya perusahaan,” jelas Deputi Direktur ICEL, Raynaldo Sembiring dalam rilis resminya di Jakarta, Jumat (20/9).
Menurut dia, RKHUP memuat pasal yang relatif gagal memisahkan antara pertanggungjawaban korporasi dengan pertanggungjawaban pengurus perusahaan sebagai seorang individu. Kondisi berpotensi mengakibatkan aspek pertanggungjawaban korporasi bergeser menjadi subjek hukum orang tertentu.
“Dengan kata lain, orang ini bisa saja bertanggung jawab atas tindak pidana yang tidak dilakukannya,” imbuh dia.
Lebih lanjut, Raynaldo menjelaskan pembuktian tindak pidana lingkungan hidup yang tercantum pada pasal 346 dan 347 pun akan semakin sulit karena adanya rumusan yang bertentangan dengan hukum positif yang sudah ada. Dalam hal ini, ia memprediksi pelaku bisa berdalih tak melakukan perusakan lingkungan hidup karena mengantongi izin usaha dari pemerintah.
Padahal, ia berpandangan seharusnya masalah perizinan itu tidak perlu jadi pertimbangan lagi. Para penegak hukum cukup membuktikan saja apakah tindakan pelaku melebihi kriteria baku kerusakan atau mutu pencemaran.
Dia pun menyebutkan pengaturan sanksi tindak pidana lingkungan hidup dalam RKHUP juga mengubah model kumulatif yang diatur dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) Nomor 2 Tahun 2009. Model tersebut memungkinkan penjatuhan sanksi sekaligus yakni pidana penjara dan denda.
“Sedangkan RKHUP mengatur model sanksi alternatif yakni hanya satu di antara pidana denda atau penjara,” tutur dia.
Hal ini diperparah dengan tidak adanya ancaman pidana minimal khusus di dalam RKHUP sehingga hakim seakan memiliki kebebasan untuk menjatuhkan pidana serendah-rendahnya. Raynaldo menyebut hal ini tak sejalan dengan pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menyebut Indonesia berada dalam kondisi kritis kerusakan lingkungan hidup.
“Kami justru ingin mengeluarkan tindak pidana lingkungan hidup dari RKHUP agar tetap menjadi tindak pidana serius yang diatur dalam UU khusus,” tutup Raynaldo.
Untuk diketahui, Presiden Jokowi telah meminta DPR RI untuk menunda pengesahan RKUHP untuk mendalami kembali sejumlah materi pasal dalam peraturan tersebut.
"Untuk itu saya perintahkan Menkumham selaku wakil pemerintah untuk menyampaikan sikap ini kepada DPR, yaitu agar pengesahan RUU KUHP ditunda," kata Presiden dalam jumpa pers di Ruang Garuda, Istana Kepresidenan Bogor, Jumat (20/9).
Presiden menilai terdapat sekitar 14 pasal yang harus ditinjau ulang. Jokowi berharap pengesahan RUU KUHP itu dilakukan oleh DPR pada periode 2019-2024. Hanya saja, hal ini tidak menyinggung rumusan pidana lingkungan hidup.
Kepala Negara juga meminta Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly untuk menambah masukan dan mengumpulkan usulan dari masyarakat.
Penulis: Monica Balqis | Valid news