Siklus lima tahunan pergantian tampuk kepemimpinan bangsa ini sedang berjalan. Momentum inilah yang dimanfaatkan untuk melakukan sebuah refo...
Siklus lima tahunan pergantian tampuk kepemimpinan bangsa ini sedang berjalan. Momentum inilah yang dimanfaatkan untuk melakukan sebuah reformasi segi pengaturan hidup bersama. Harmoni kebijakan dan kerja sama negara selaku regulator berupaya mengakomodasi segala bentuk kepentingan rakyat. Di mana, abad ini kita diperhadapkan dengan masalah lingkungan yang mempengaruhi kehidupan setiap orang dan besarnya skala permasalahan seperti penggundulan hutan, air bersih langka, konversi lahan, dan sebagainya.
Opini Lingkungan - Menjelang diselenggarakannya pemilihan umum seperti sekarang ini, kontestasi gagasan dan janji-janji kampanye telah bertebaran memenuhi jagat pikiran masyarakat. Susunan tim sukses atau tim pemenangan kedua kubu yang berlaga tidak terlepas dari keberadaan pebisnis atau pengusaha dan ekonom. Kita mesti meninjau kembali keberadaan penting dua aktor ini dalam pengaruhnya terhadap skenario kebijakan yang akan dirancang dan diterapkan. Tentu hal ini tidak bertujuan untuk menyudutkan pihak tertentu, hanya saja ingin membuka logika bersama sehingga mampu memahami dan menerima implikasi.
Kesejahteraan
Sejak dikemukakannya konsep pemikiran ekonomi pertama kali oleh Adam Smith, konstruksi ekonomi selalu berbicara mengenai kesejahteraan (prosperity). Kerangka pikir para ekonom setelahnya dengan ragam aliran pun membaharui dan menguatkan cara mencapai kemakmuran suatu negara (welfare state). Tujuan ekonomi utama ini melekat pada masyarakat kita sehingga sangat fundamental dalam menentukan pilihan politik.
Indikator sederhana masyarakat awam dalam menilai kinerja pejabat pemerintah adalah tingkat harga, ketersediaan lapangan pekerjaan, dan subsidi. Sebab, kesejahteraan tidak akan dicapai tanpa adanya lapangan pekerjaan dan program-program bantuan bagi masyarakat miskin, serta harga barang-barang yang mencekik rakyat. Setidaknya, ketiga faktor itu menjadi jaminan untuk bisa memperoleh kesejahteraan.
Di negara yang menganut sistem demokrasi seperti Indonesia memiliki dua kelompok penguasa, yaitu pejabat pemerintah dan pebisnis. Pejabat pemerintah mendapatkan kekuasaan dari rakyat dan memiliki tanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat (Lindblom, 2001).
Ketakutan terbesar pejabat pemerintah dalam sistem demokrasi adalah tidak terpilih kembali oleh rakyat. Hal itu menjadi alasan fundamental mengapa gagasan-gagasan dalam pertarungan politik cenderung menggunakan isu-isu seputar ekonomi untuk membentuk opini publik. Krisis ekonomi didaulat sebagai monster menakutkan bagi suatu negara sehingga perlu dilawan dengan pembangunan-pembangunan ekonomi itu sendiri.
Sementara itu, jelas bahwa pebisnis mendapatkan kekuasaan dari kepemilikan harta kekayaan (capital). Harta kekayaan pebisnis bersifat kepemilikan pribadi, sehingga tidak bisa dipaksakan bertanggung jawab terhadap kesejahteraan sosial. Modal dapat dipindahkan dan diinvestasikan dengan berdasarkan pada orientasi keuntungan (profit). Bahkan negara sekalipun tidak bisa memaksa sebuah keputusan penanaman modal. Sebagai regulator, negara hanya dapat mempengaruhi keputusan pebisnis melalui regulasi.
Biasanya, digunakan mekanisme insentif untuk mempengaruhi keputusan-keputusan pebisnis. Mekanisme ini menggerakkan roda perekonomian dan meredam gejolak di tengah masyarakat. Lapangan pekerjaan tersedia, produktivitas pemenuhan konsumsi masyarakat terjadi, dan negara mampu menjalankan fungsinya dalam meredistribusi kekayaan.
Kepentingan Ekologis
Paradigma kesejahteraan membuat kita larut dalam kesukaan di bawah perangkap keniscayaan. Salah satu implikasi siklus politik yang terjebak sistem pasar yakni dikesampingkannya kepentingan ekologis. Amanat Undang-Undang Dasar Pasal 33 memang tegas mengatakan bahwa sumber daya alam yang menyangkut hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Pasal ini ditengarai oleh melimpahnya sumber daya alam Indonesia.
Minyak bumi, mineral, dan batu bara, hutan hujan tropis, serta keragaman biodiversitas di Indonesia dapat dikatakan sebagai aset kekayaan yang tidak bisa hanya dikalkulasi secara kacamata ekonomi. Nilai ekonomi lingkungan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu kemampuan alam menyediakan faktor produksi dan nilai layanan ekologis yang menyediakan udara dan air bersih, perlindungan banjir dan sebagainya (Harris & Roach, 2018). Layanan yang disediakan lingkungan bersifat inheren sehingga akan hilang tanpa keberadaan lingkungan itu sendiri.
Melalui buku Environmental and Natural Resource Economics (2018), Harris dan Roach menjelaskan bahwa kebanyakan model ekonomi yang dikembangkan terfokus pada dua faktor produksi, yaitu capital (modal) dan labor (tenaga kerja). Land (tanah) sebagai faktor produksi ketiga seringkali luput dari perhatian mengenai faktor produksi.
Pada abad ke-18, David Ricardo memberi perhatian khusus pada tanah sebagai determinan dari produksi ekonomi. Dalam pendekatan ekologis, konsep tanah diperkenalkan kembali dengan istilah modal alam (natural capital) yang meliputi tanah dan segala bentuk sumber daya alam.
Gagasan pembangunan ekonomi yang ada dalam arena konstelasi politik seyogiyanya mengandung unsur-unsur terkait modal dan tenaga kerja. Pro-rakyat dipahami sebagai peleburan kedua faktor tersebut dalam menggerakkan perekonomian. Sangat jarang, bahkan belum ada pertarungan gagasan pro-lingkungan dalam arena politik. Wajar memang, mengingat bahwa lingkungan hanya dipandang sebagai objek eksploitasi dan sarana pemenuhan kepentingan ekonomi.
Aktivitas ekonomi dan pembangunan selalu memberi dampak bagi lingkungan yang pada akhirnya menyiksa kehidupan manusia. Momentum pemilihan umum ini kiranya menjadi sarana untuk menunjukkan ciri khas politik Indonesia yang kaya akan sumber daya alam. Paradigma kesejahteraan ala barat mesti dilengkapi dengan konsep kesejahteraan lokal bangsa ini. Memacu pertumbuhan ekonomi melebihi batas ekologi tidak akan menciptakan kesejahteraan, tetapi justru menciptakan kesengsaraan bagi rakyat.
Andi Suryadi mahasiswa Program Studi Ekonomi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Opini Lingkungan - Menjelang diselenggarakannya pemilihan umum seperti sekarang ini, kontestasi gagasan dan janji-janji kampanye telah bertebaran memenuhi jagat pikiran masyarakat. Susunan tim sukses atau tim pemenangan kedua kubu yang berlaga tidak terlepas dari keberadaan pebisnis atau pengusaha dan ekonom. Kita mesti meninjau kembali keberadaan penting dua aktor ini dalam pengaruhnya terhadap skenario kebijakan yang akan dirancang dan diterapkan. Tentu hal ini tidak bertujuan untuk menyudutkan pihak tertentu, hanya saja ingin membuka logika bersama sehingga mampu memahami dan menerima implikasi.
Kesejahteraan
Sejak dikemukakannya konsep pemikiran ekonomi pertama kali oleh Adam Smith, konstruksi ekonomi selalu berbicara mengenai kesejahteraan (prosperity). Kerangka pikir para ekonom setelahnya dengan ragam aliran pun membaharui dan menguatkan cara mencapai kemakmuran suatu negara (welfare state). Tujuan ekonomi utama ini melekat pada masyarakat kita sehingga sangat fundamental dalam menentukan pilihan politik.
Indikator sederhana masyarakat awam dalam menilai kinerja pejabat pemerintah adalah tingkat harga, ketersediaan lapangan pekerjaan, dan subsidi. Sebab, kesejahteraan tidak akan dicapai tanpa adanya lapangan pekerjaan dan program-program bantuan bagi masyarakat miskin, serta harga barang-barang yang mencekik rakyat. Setidaknya, ketiga faktor itu menjadi jaminan untuk bisa memperoleh kesejahteraan.
Di negara yang menganut sistem demokrasi seperti Indonesia memiliki dua kelompok penguasa, yaitu pejabat pemerintah dan pebisnis. Pejabat pemerintah mendapatkan kekuasaan dari rakyat dan memiliki tanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat (Lindblom, 2001).
Ketakutan terbesar pejabat pemerintah dalam sistem demokrasi adalah tidak terpilih kembali oleh rakyat. Hal itu menjadi alasan fundamental mengapa gagasan-gagasan dalam pertarungan politik cenderung menggunakan isu-isu seputar ekonomi untuk membentuk opini publik. Krisis ekonomi didaulat sebagai monster menakutkan bagi suatu negara sehingga perlu dilawan dengan pembangunan-pembangunan ekonomi itu sendiri.
Sementara itu, jelas bahwa pebisnis mendapatkan kekuasaan dari kepemilikan harta kekayaan (capital). Harta kekayaan pebisnis bersifat kepemilikan pribadi, sehingga tidak bisa dipaksakan bertanggung jawab terhadap kesejahteraan sosial. Modal dapat dipindahkan dan diinvestasikan dengan berdasarkan pada orientasi keuntungan (profit). Bahkan negara sekalipun tidak bisa memaksa sebuah keputusan penanaman modal. Sebagai regulator, negara hanya dapat mempengaruhi keputusan pebisnis melalui regulasi.
Biasanya, digunakan mekanisme insentif untuk mempengaruhi keputusan-keputusan pebisnis. Mekanisme ini menggerakkan roda perekonomian dan meredam gejolak di tengah masyarakat. Lapangan pekerjaan tersedia, produktivitas pemenuhan konsumsi masyarakat terjadi, dan negara mampu menjalankan fungsinya dalam meredistribusi kekayaan.
Kepentingan Ekologis
Paradigma kesejahteraan membuat kita larut dalam kesukaan di bawah perangkap keniscayaan. Salah satu implikasi siklus politik yang terjebak sistem pasar yakni dikesampingkannya kepentingan ekologis. Amanat Undang-Undang Dasar Pasal 33 memang tegas mengatakan bahwa sumber daya alam yang menyangkut hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Pasal ini ditengarai oleh melimpahnya sumber daya alam Indonesia.
Minyak bumi, mineral, dan batu bara, hutan hujan tropis, serta keragaman biodiversitas di Indonesia dapat dikatakan sebagai aset kekayaan yang tidak bisa hanya dikalkulasi secara kacamata ekonomi. Nilai ekonomi lingkungan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu kemampuan alam menyediakan faktor produksi dan nilai layanan ekologis yang menyediakan udara dan air bersih, perlindungan banjir dan sebagainya (Harris & Roach, 2018). Layanan yang disediakan lingkungan bersifat inheren sehingga akan hilang tanpa keberadaan lingkungan itu sendiri.
Melalui buku Environmental and Natural Resource Economics (2018), Harris dan Roach menjelaskan bahwa kebanyakan model ekonomi yang dikembangkan terfokus pada dua faktor produksi, yaitu capital (modal) dan labor (tenaga kerja). Land (tanah) sebagai faktor produksi ketiga seringkali luput dari perhatian mengenai faktor produksi.
Pada abad ke-18, David Ricardo memberi perhatian khusus pada tanah sebagai determinan dari produksi ekonomi. Dalam pendekatan ekologis, konsep tanah diperkenalkan kembali dengan istilah modal alam (natural capital) yang meliputi tanah dan segala bentuk sumber daya alam.
Gagasan pembangunan ekonomi yang ada dalam arena konstelasi politik seyogiyanya mengandung unsur-unsur terkait modal dan tenaga kerja. Pro-rakyat dipahami sebagai peleburan kedua faktor tersebut dalam menggerakkan perekonomian. Sangat jarang, bahkan belum ada pertarungan gagasan pro-lingkungan dalam arena politik. Wajar memang, mengingat bahwa lingkungan hanya dipandang sebagai objek eksploitasi dan sarana pemenuhan kepentingan ekonomi.
Aktivitas ekonomi dan pembangunan selalu memberi dampak bagi lingkungan yang pada akhirnya menyiksa kehidupan manusia. Momentum pemilihan umum ini kiranya menjadi sarana untuk menunjukkan ciri khas politik Indonesia yang kaya akan sumber daya alam. Paradigma kesejahteraan ala barat mesti dilengkapi dengan konsep kesejahteraan lokal bangsa ini. Memacu pertumbuhan ekonomi melebihi batas ekologi tidak akan menciptakan kesejahteraan, tetapi justru menciptakan kesengsaraan bagi rakyat.
Andi Suryadi mahasiswa Program Studi Ekonomi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta