Satu permasalahan kental yang men-downgrade lingkungan hidup Indonesia adalah sampah. Sekitar 55-60% permasalahan memburuknya kualitas lingk...
Satu permasalahan kental yang men-downgrade lingkungan hidup Indonesia adalah sampah. Sekitar 55-60% permasalahan memburuknya kualitas lingkungan alam dan lingkungan sosial justru muncul dari bejibunnya sampah di berbagai belahan nusantara.
Opini Lingkungan - Besarnya volume sampah, tentu tidak pernah terlepas dari masalah gaya hidup (life style) yang instan dan tingkat konsumsi yang tinggi dari penduduknya. Masyarakat Indonesia sudah terjebak pada hegemoni konsumeristik-pragmatis.
Masyarakat, baik perkotaan maupun pedesaan, bahkan sudah terjebak pada pola-pola konsumsi untuk memenuhi kebutuhan yang keliru (false needs) dan bukan memenuhi kebutuhan real (real needs).
Domain keinginan menjadi determinan dibandingkan dengan domain kebutuhan. Tak terkontrolnya gaya konsumsi dan pemakaian barang-barang fabrikatif, tentu berkontribusi pada semakin banyaknya produksi sampah di lingkungan rumah tangga maupun di masyarakat.
Lebih dari itu, penggunaan wadah berunsur plastik dan anasir lain yang sulit diurai, saat berbelanja di pasar atau mall, menjadi segmen perilaku deviatif terbesar dalam menambah ekskalasi sampah di Indonesia.
Hasil riset Jenna R. Jambeck, dkk (www.sciencemag.org 12/02/2015) mengungkapkan, Indonesia berada di posisi kedua penyumbang sampah plastik ke laut setelah Tiongkok disusul Filipina, Vietnam, dan Sri Lanka. Menurut LSM Riset Greeneration yang 10 tahun mengikuti isu sampah, satu orang di Indonesia rata-rata menghasilkan 700 kantong plastik per tahun (Kompas, 23/01/2016).
Sementara riset terbaru Sustainable Waste Indonesia (SWI), dari 65 juta ton sampah yang dihasilkan di Indonesia tiap hari, sekitar 15 juta ton sangat mengotori, berikut menganggu ekosistem dan lingkungan alam sosial. Jenis sampah yang paling banyak dihasilkan adalah organik (60%), plastik (14%), kertas (9%), metal (4,3%), kaca, kayu dan bahan lainnya (12,7%).
Lembaga riset ini menemukan fakta, sebanyak 24% sampah di Indonesia belum dikelola secara baik; 7 % didaur ulang dan 69 % berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) (CNN Indonesia, Rabu 25/04/2018). Sementara data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK-2018) menyebut, 48% sampah muncul dari sektor rumah tangga, pasar tradisional sebesar 24%, dan jalan 7%.
Untuk sementara, hampir semua wilayah di Indonesia, sampah menjadi persoalan pelik dan rumit. Karena itu, butuh perhatian dan penanganan yang serius dari semua pihak agar tidak larut dalam mengganggu keamanan hidup manusia (human security), keamanan lingkungan hidup (environmental security), dan keamanan sosial (social security) (Rivai Ras, 2018).
Selain menjadi biang (pathogen) dari bakteri, virus, protozoa, dan cacing yang menyebabkan diare, disentri, kolera, tifus, hepatitis dan penyakit lainnya, sampah juga menimbulkan bau yang mengganggu pernapasan serta merusak kenyamanan dalam beraktivitas.
Sampah yang dibuang di sungai/got tentu akan menimbulkan pencemaran dan luapan air yang menyebabkan banjir. Banjir dalam skala kecil dan besar, berpeluang menciptakan masalah fisiologis seperti kehilangan rumah dan sumber makanan; dan masalah sosial seperti disparitas, diskrepansi, kriminalitas, dll.; serta masalah psikologis, seperti trauma, depresi, dll. Faktualnya, masalah-masalah ini bersifat sistemik dan berdampak negatif pada pembangunan bangsa.
Dari perspektif pembangunan pariwisata, sampah sudah diklaim sebagai `virus' yang turut mengurangi animo para wisatawan untuk berkunjung ke suatu wilayah. Hal ini sebenarnya mempertegas adagium kondisional dalam dunia turisme: "Bila ingin memajukan pariwisata, bersihkan dulu sampahmu!".
Bahkan ada yang secara ekstrem menggambarkan pribadi seseorang atau keadaan suatu negara dari kondisi persampahannya ("Siapa engkau dan negaramu, tergantung dari seberapa banyak sampahmu")
Bila Kupang, Ruteng, Bajawa dan Waikabubak masuk dalam kategori kota terkotor di Indonesia berdasarkan penilaian Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK, 2018), maka bisa menarasikan beberapa hal:
(1) Kesadaran individual mengenai Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) masyarakat belum mengalami peningkatan yang berarti. Perilaku ini tentu berdampak pada minimnya tindakan-tindakan higienik keseharian masyarakat. Salah satunya, tindakan higienik dalam mengelola sampah rumah tangga.
(2) Kesadaran kolektif masyarakat tentang pentingnya kebersihaan dan kesehatan lingkungan belum menyentuh ambang batas, bahkan masih bergerak di titik nadir.
Rendahnya kesadaran kolektif ini berpengaruh juga terhadap cara pandang tentang dimensi-dimensi lain dari kehidupan manusia, seperti masih melihat kesehatan sebagai the second bussines, perilaku konsumptif yang uncontrolled, dan masih melekatnya keyakinan-keyakinan irasional (mitis magis, perdukunan) dalam mendalami dan menangani masalah kesehatan.
(3) Belum sinergi dan simultannya niat baik (good will) dari stakeholder (pemerintah, masyarakat, komunitas akademik, LSM, dll) di setiap daerah, dalam mengelola lingkungan sebagai sumber kehidupan manusia. Kehendak baik untuk mengurus keseimbangan lingkungan hidup, tentu tidak hadir begitu saja.
Menurut saya, perlu ada perhatian terhadap beberapa hal:
Pertama, adanya penegasan tentang pilihan dasar (optio fundamentalis) tentang keseimbangan lingkungan alam dengan mengintegrasikannya pada narasi konsep dan praksis pembangunan, dari pusat sampai ke daerah; dari hulu ke hilir.
Kedua, adanya transformasi dari hanya sekadar kepemilikan narasi besar (visi-misi-program) tentang ekologi menuju pada kemauan politik (political will), serta komitmen untuk mengejawantahkannya.
Ketiga, bekerjasama dengan berbagai lintas komunitas dalam hal promosi dan prevensi kesehatan dalam menyiapkan berbagai perangkat kebijakan (Perda, Perdes, peraturan RT/RW, dll). Perlu dipastikan, perangkat-perangkat kebijakan ini mesti berplatform `politik ekologi' dan `politik kesehatan lingkungan'.
Pemerintah pusat sudah menyiapkan beberapa instrumen hukum dalam menangani sampah seperti Undang-Undang No. 32/2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup (PPLH), Undang-Undang No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, dan Perpres No.97/2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional (Jakstranas) mengenai Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.
Menurut saya payung hukum ini mesti diderivasi dan diterjemahkan secara lebih komprehensif dan holistik dalam konteks riil kedaerahan. Karena itu, tugas dari otoritas daerah adalah memprogramkan sosialisasi secara berkelanjutan mengenai detail operasional berbagai perangkat hukum ini, agar masyarakat terinformasi dan teredukasi secara baik dan benar. Dalam hal ini, otoritas daerah wajib menyadari bahwa sampah bukan hanya masalah parsial dan tanggung jawab pihak tertentu saja, tetapi musuh bersama (common enemy).
Karenanya, intervensinya membutuhkan partisipasi elaboratif dari para pihak. Proaksi, kolaborasi dan inovasi sangat dibutuhkan dalam penanganannya, baik dari segi penyediaan infrastruktur pengolahan, sampai pada optimalisasi pelayanan sampah pada tingkat unit sosial terkecil yaitu keluarga.
Politik ekologi adalah sebuah pilihan. Sebagai sebuah pilihan, politik ini menyasar pada upaya membangun kesadaran kritis dalam diri masyarakat. Dasar dari pilihan ini adalah terjaganya relasi asimetris, antar sesama umat manusia, dan antar manusia dengan lingkungannya.
Dalam konteks permasalahan sampah ini, politik ekologi terarah pada konstruksi kesadaran kritis kolektif masyarakat tentang pentingnya prinsip sustainabilitas dan ekuilibritas.
Prinsip sustainabilitas berhubungan dengan keberlanjutan kehidupan masa-masa mendatang bagi better life of next generation. Sedangkan prinsip ekuilibritas berkaitan dengan keseimbangan ekosistem dan rantai kehidupan yang menjadi dasar dalam membangun kenyamanan dan kesejahteraan hidup di muka bumi ini.
Dalam kaitan dengan sampah, dua prinsip ini bisa dipraksiskan dalam beberapa kegiatan kecil, tapi fundamental, yakni mengurangi (reduce), menggunakan kembali (reuse) dan mendaur ulang (recycle). Kegiatan-kegiatan kecil ini untuk mendukung target nasional tahun 2025: 30% pengurangan sampah dan 70% penanganannya.*
Oleh Dr. Marianus Mantovanny Tapung
Ketua LP2M STIKes St. Paulus Ruteng
Penulis: Putra | Tribun News Kupang
Opini Lingkungan - Besarnya volume sampah, tentu tidak pernah terlepas dari masalah gaya hidup (life style) yang instan dan tingkat konsumsi yang tinggi dari penduduknya. Masyarakat Indonesia sudah terjebak pada hegemoni konsumeristik-pragmatis.
Masyarakat, baik perkotaan maupun pedesaan, bahkan sudah terjebak pada pola-pola konsumsi untuk memenuhi kebutuhan yang keliru (false needs) dan bukan memenuhi kebutuhan real (real needs).
Domain keinginan menjadi determinan dibandingkan dengan domain kebutuhan. Tak terkontrolnya gaya konsumsi dan pemakaian barang-barang fabrikatif, tentu berkontribusi pada semakin banyaknya produksi sampah di lingkungan rumah tangga maupun di masyarakat.
Lebih dari itu, penggunaan wadah berunsur plastik dan anasir lain yang sulit diurai, saat berbelanja di pasar atau mall, menjadi segmen perilaku deviatif terbesar dalam menambah ekskalasi sampah di Indonesia.
Hasil riset Jenna R. Jambeck, dkk (www.sciencemag.org 12/02/2015) mengungkapkan, Indonesia berada di posisi kedua penyumbang sampah plastik ke laut setelah Tiongkok disusul Filipina, Vietnam, dan Sri Lanka. Menurut LSM Riset Greeneration yang 10 tahun mengikuti isu sampah, satu orang di Indonesia rata-rata menghasilkan 700 kantong plastik per tahun (Kompas, 23/01/2016).
Sementara riset terbaru Sustainable Waste Indonesia (SWI), dari 65 juta ton sampah yang dihasilkan di Indonesia tiap hari, sekitar 15 juta ton sangat mengotori, berikut menganggu ekosistem dan lingkungan alam sosial. Jenis sampah yang paling banyak dihasilkan adalah organik (60%), plastik (14%), kertas (9%), metal (4,3%), kaca, kayu dan bahan lainnya (12,7%).
Lembaga riset ini menemukan fakta, sebanyak 24% sampah di Indonesia belum dikelola secara baik; 7 % didaur ulang dan 69 % berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) (CNN Indonesia, Rabu 25/04/2018). Sementara data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK-2018) menyebut, 48% sampah muncul dari sektor rumah tangga, pasar tradisional sebesar 24%, dan jalan 7%.
Untuk sementara, hampir semua wilayah di Indonesia, sampah menjadi persoalan pelik dan rumit. Karena itu, butuh perhatian dan penanganan yang serius dari semua pihak agar tidak larut dalam mengganggu keamanan hidup manusia (human security), keamanan lingkungan hidup (environmental security), dan keamanan sosial (social security) (Rivai Ras, 2018).
Selain menjadi biang (pathogen) dari bakteri, virus, protozoa, dan cacing yang menyebabkan diare, disentri, kolera, tifus, hepatitis dan penyakit lainnya, sampah juga menimbulkan bau yang mengganggu pernapasan serta merusak kenyamanan dalam beraktivitas.
Sampah yang dibuang di sungai/got tentu akan menimbulkan pencemaran dan luapan air yang menyebabkan banjir. Banjir dalam skala kecil dan besar, berpeluang menciptakan masalah fisiologis seperti kehilangan rumah dan sumber makanan; dan masalah sosial seperti disparitas, diskrepansi, kriminalitas, dll.; serta masalah psikologis, seperti trauma, depresi, dll. Faktualnya, masalah-masalah ini bersifat sistemik dan berdampak negatif pada pembangunan bangsa.
Dari perspektif pembangunan pariwisata, sampah sudah diklaim sebagai `virus' yang turut mengurangi animo para wisatawan untuk berkunjung ke suatu wilayah. Hal ini sebenarnya mempertegas adagium kondisional dalam dunia turisme: "Bila ingin memajukan pariwisata, bersihkan dulu sampahmu!".
Bahkan ada yang secara ekstrem menggambarkan pribadi seseorang atau keadaan suatu negara dari kondisi persampahannya ("Siapa engkau dan negaramu, tergantung dari seberapa banyak sampahmu")
Bila Kupang, Ruteng, Bajawa dan Waikabubak masuk dalam kategori kota terkotor di Indonesia berdasarkan penilaian Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK, 2018), maka bisa menarasikan beberapa hal:
(1) Kesadaran individual mengenai Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) masyarakat belum mengalami peningkatan yang berarti. Perilaku ini tentu berdampak pada minimnya tindakan-tindakan higienik keseharian masyarakat. Salah satunya, tindakan higienik dalam mengelola sampah rumah tangga.
(2) Kesadaran kolektif masyarakat tentang pentingnya kebersihaan dan kesehatan lingkungan belum menyentuh ambang batas, bahkan masih bergerak di titik nadir.
Rendahnya kesadaran kolektif ini berpengaruh juga terhadap cara pandang tentang dimensi-dimensi lain dari kehidupan manusia, seperti masih melihat kesehatan sebagai the second bussines, perilaku konsumptif yang uncontrolled, dan masih melekatnya keyakinan-keyakinan irasional (mitis magis, perdukunan) dalam mendalami dan menangani masalah kesehatan.
(3) Belum sinergi dan simultannya niat baik (good will) dari stakeholder (pemerintah, masyarakat, komunitas akademik, LSM, dll) di setiap daerah, dalam mengelola lingkungan sebagai sumber kehidupan manusia. Kehendak baik untuk mengurus keseimbangan lingkungan hidup, tentu tidak hadir begitu saja.
Menurut saya, perlu ada perhatian terhadap beberapa hal:
Pertama, adanya penegasan tentang pilihan dasar (optio fundamentalis) tentang keseimbangan lingkungan alam dengan mengintegrasikannya pada narasi konsep dan praksis pembangunan, dari pusat sampai ke daerah; dari hulu ke hilir.
Kedua, adanya transformasi dari hanya sekadar kepemilikan narasi besar (visi-misi-program) tentang ekologi menuju pada kemauan politik (political will), serta komitmen untuk mengejawantahkannya.
Ketiga, bekerjasama dengan berbagai lintas komunitas dalam hal promosi dan prevensi kesehatan dalam menyiapkan berbagai perangkat kebijakan (Perda, Perdes, peraturan RT/RW, dll). Perlu dipastikan, perangkat-perangkat kebijakan ini mesti berplatform `politik ekologi' dan `politik kesehatan lingkungan'.
Pemerintah pusat sudah menyiapkan beberapa instrumen hukum dalam menangani sampah seperti Undang-Undang No. 32/2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup (PPLH), Undang-Undang No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, dan Perpres No.97/2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional (Jakstranas) mengenai Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.
Menurut saya payung hukum ini mesti diderivasi dan diterjemahkan secara lebih komprehensif dan holistik dalam konteks riil kedaerahan. Karena itu, tugas dari otoritas daerah adalah memprogramkan sosialisasi secara berkelanjutan mengenai detail operasional berbagai perangkat hukum ini, agar masyarakat terinformasi dan teredukasi secara baik dan benar. Dalam hal ini, otoritas daerah wajib menyadari bahwa sampah bukan hanya masalah parsial dan tanggung jawab pihak tertentu saja, tetapi musuh bersama (common enemy).
Karenanya, intervensinya membutuhkan partisipasi elaboratif dari para pihak. Proaksi, kolaborasi dan inovasi sangat dibutuhkan dalam penanganannya, baik dari segi penyediaan infrastruktur pengolahan, sampai pada optimalisasi pelayanan sampah pada tingkat unit sosial terkecil yaitu keluarga.
Politik ekologi adalah sebuah pilihan. Sebagai sebuah pilihan, politik ini menyasar pada upaya membangun kesadaran kritis dalam diri masyarakat. Dasar dari pilihan ini adalah terjaganya relasi asimetris, antar sesama umat manusia, dan antar manusia dengan lingkungannya.
Dalam konteks permasalahan sampah ini, politik ekologi terarah pada konstruksi kesadaran kritis kolektif masyarakat tentang pentingnya prinsip sustainabilitas dan ekuilibritas.
Prinsip sustainabilitas berhubungan dengan keberlanjutan kehidupan masa-masa mendatang bagi better life of next generation. Sedangkan prinsip ekuilibritas berkaitan dengan keseimbangan ekosistem dan rantai kehidupan yang menjadi dasar dalam membangun kenyamanan dan kesejahteraan hidup di muka bumi ini.
Dalam kaitan dengan sampah, dua prinsip ini bisa dipraksiskan dalam beberapa kegiatan kecil, tapi fundamental, yakni mengurangi (reduce), menggunakan kembali (reuse) dan mendaur ulang (recycle). Kegiatan-kegiatan kecil ini untuk mendukung target nasional tahun 2025: 30% pengurangan sampah dan 70% penanganannya.*
Oleh Dr. Marianus Mantovanny Tapung
Ketua LP2M STIKes St. Paulus Ruteng
Penulis: Putra | Tribun News Kupang