Pada tahun 2009, negara-negara maju berjanji mereka akan mengumpulkan dana sebesar $100 miliar untuk membantu negara miskin dan berkembang m...
Pada tahun 2009, negara-negara maju berjanji mereka akan mengumpulkan dana sebesar $100 miliar untuk membantu negara miskin dan berkembang menghadapi perubahan iklim. Tapi sampai hari ini, jumlah yang benar-benar telah dikeluarkan hanya mencapai $3,5 miliar. Keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada tahun 2017 untuk membatalkan dana bantuan sebesar $2 miliar yang telah dijanjikan sama sekali tidak membantu.
Oleh: Mike Ives (The New York Times)
Ketika negara-negara industri berjanji pada tahun 2009 untuk memobilisasi dana sebanyak US$100 miliar per tahun pada tahun 2020 untuk membantu negara-negara termiskin menghadapi perubahan iklim, janji tersebut menimbulkan lebih banyak pemikiran skeptis di negara berkembang yang berpendapat bahwa negara-negara kaya harus membayar untuk berkontribusi begitu banyak pada masalah.
Namun, uang yang dijanjikan tidak segera mencair, dengan hanya US$3,5 miliar yang benar-benar dikeluarkan dari sejumlah US$10,3 miliar yang dijanjikan kepada program terkemuka Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang disebut Dana Iklim Hijau (GCF/Green Climate Fund).
Keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada tahun 2017 untuk membatalkan dana bantuan sebesar US$2 miliar yang telah dijanjikan sama sekali tidak membantu.
Pada konferensi perubahan iklim di Thailand pekan lalu, beberapa delegasi yang dihubungi melalui telepon mengatakan bahwa lokasi konferensi, yakni di jantung kawasan Asia Tenggara, sangatlah sesuai karena merupakan wilayah yang menghadapi tantangan berkaitan dengan pemanasan global. Mereka menggambarkan kekurangan program Dana Iklim Hijau PBB sebagai simbol dari janji yang tidak ditepati.
“Dana harapan kini menjadi sumber keputusasaan,” kata Meena Raman, penasihat hukum untuk Jaringan Dunia Ketiga, kelompok advokasi di Malaysia, dan mantan anggota dewan non-voting Dana Iklim Hijau.
Pertemuan Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim di Bangkok merupakan awal dari agenda yang lebih besar pada bulan Desember 2018 di Polandia, ketika negara-negara akan mencoba menetapkan aturan untuk melaksanakan kesepakatan iklim Paris tahun 2015.
Pertemuan Bangkok tidak secara khusus membahas pendanaan untuk mengurangi perubahan iklim. Namun, pertemuan tersebut terjadi dua bulan setelah ketidaksepakatan di antara anggota dewan Dana Iklim Hijau mencegah badan itu menyetujui proyek baru pada pertemuan rutin.
Beberapa pengamat mengatakan kekurangan pendanaan dana dan penyakit birokrasi telah mengurangi harapan untuk pembicaraan di Polandia, yang sudah pasti akan sulit.
“Kurangnya uang riil yang datang benar-benar merusak kepercayaan dalam negosiasi tentang bagaimana mewujudkan kesepakatan Paris,” kata Brandon Wu, direktur kebijakan dan kampanye di ActionAid USA, kelompok advokasi yang memantau pertemuan Bangkok. “Hal itu menjadi bagian besar dari situasi yang tampaknya tak terselesaikan.”
Dana Iklim Hijau dirancang untuk membantu negara-negara berkembang bersiap menghadapi bencana iklim dan mengembangkan ekonomi bahan bakar rendah fosil. Hal ini merupakan bagian dari rencana yang lebih besar, yang dipimpin oleh Hillary Clinton, sebagai Menteri Luar Negeri AS pada tahun 2009, untuk mengumpulkan dana sebanyak US$100 miliar per tahun untuk negara miskin melalui kombinasi kontribusi pemerintah dan investasi swasta.
Banyak akademisi melihat kontribusi dana oleh negara-negara kaya sebagai keharusan moral, dengan alasan bahwa dunia berkembang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim tetapi paling tidak bertanggung jawab dalam menyebabkannya.
“Tentu saja, negara-negara kaya harus menanggung lebih banyak beban di Dana Iklim Hijau karena mereka memiliki lebih banyak sarana dan lebih banyak hal yang dipertaruhkan,” kata Thitinan Pongsudhirak, seorang ilmuwan politik di Universitas Chulalongkorn di Bangkok. “Negara-negara kaya juga mendapat manfaat dari akumulasi kekayaan selama beberapa dekade ketika isu iklim tidak berada di garis terdepan.”
Oleh: Mike Ives (The New York Times)
Ketika negara-negara industri berjanji pada tahun 2009 untuk memobilisasi dana sebanyak US$100 miliar per tahun pada tahun 2020 untuk membantu negara-negara termiskin menghadapi perubahan iklim, janji tersebut menimbulkan lebih banyak pemikiran skeptis di negara berkembang yang berpendapat bahwa negara-negara kaya harus membayar untuk berkontribusi begitu banyak pada masalah.
Namun, uang yang dijanjikan tidak segera mencair, dengan hanya US$3,5 miliar yang benar-benar dikeluarkan dari sejumlah US$10,3 miliar yang dijanjikan kepada program terkemuka Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang disebut Dana Iklim Hijau (GCF/Green Climate Fund).
Keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada tahun 2017 untuk membatalkan dana bantuan sebesar US$2 miliar yang telah dijanjikan sama sekali tidak membantu.
Pada konferensi perubahan iklim di Thailand pekan lalu, beberapa delegasi yang dihubungi melalui telepon mengatakan bahwa lokasi konferensi, yakni di jantung kawasan Asia Tenggara, sangatlah sesuai karena merupakan wilayah yang menghadapi tantangan berkaitan dengan pemanasan global. Mereka menggambarkan kekurangan program Dana Iklim Hijau PBB sebagai simbol dari janji yang tidak ditepati.
“Dana harapan kini menjadi sumber keputusasaan,” kata Meena Raman, penasihat hukum untuk Jaringan Dunia Ketiga, kelompok advokasi di Malaysia, dan mantan anggota dewan non-voting Dana Iklim Hijau.
Pertemuan Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim di Bangkok merupakan awal dari agenda yang lebih besar pada bulan Desember 2018 di Polandia, ketika negara-negara akan mencoba menetapkan aturan untuk melaksanakan kesepakatan iklim Paris tahun 2015.
Pertemuan Bangkok tidak secara khusus membahas pendanaan untuk mengurangi perubahan iklim. Namun, pertemuan tersebut terjadi dua bulan setelah ketidaksepakatan di antara anggota dewan Dana Iklim Hijau mencegah badan itu menyetujui proyek baru pada pertemuan rutin.
Beberapa pengamat mengatakan kekurangan pendanaan dana dan penyakit birokrasi telah mengurangi harapan untuk pembicaraan di Polandia, yang sudah pasti akan sulit.
“Kurangnya uang riil yang datang benar-benar merusak kepercayaan dalam negosiasi tentang bagaimana mewujudkan kesepakatan Paris,” kata Brandon Wu, direktur kebijakan dan kampanye di ActionAid USA, kelompok advokasi yang memantau pertemuan Bangkok. “Hal itu menjadi bagian besar dari situasi yang tampaknya tak terselesaikan.”
Dana Iklim Hijau dirancang untuk membantu negara-negara berkembang bersiap menghadapi bencana iklim dan mengembangkan ekonomi bahan bakar rendah fosil. Hal ini merupakan bagian dari rencana yang lebih besar, yang dipimpin oleh Hillary Clinton, sebagai Menteri Luar Negeri AS pada tahun 2009, untuk mengumpulkan dana sebanyak US$100 miliar per tahun untuk negara miskin melalui kombinasi kontribusi pemerintah dan investasi swasta.
Banyak akademisi melihat kontribusi dana oleh negara-negara kaya sebagai keharusan moral, dengan alasan bahwa dunia berkembang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim tetapi paling tidak bertanggung jawab dalam menyebabkannya.
“Tentu saja, negara-negara kaya harus menanggung lebih banyak beban di Dana Iklim Hijau karena mereka memiliki lebih banyak sarana dan lebih banyak hal yang dipertaruhkan,” kata Thitinan Pongsudhirak, seorang ilmuwan politik di Universitas Chulalongkorn di Bangkok. “Negara-negara kaya juga mendapat manfaat dari akumulasi kekayaan selama beberapa dekade ketika isu iklim tidak berada di garis terdepan.”
Pemerintahan mantan Presiden AS Barack Obama telah mengirimkan US$1 miliar dari dana sebanyak US$3 miliar yang dijanjikan untuk program tersebut. Namun, tahun lalu, Trump, ketika mengumumkan rencana untuk keluar dari kesepakatan Paris, mengatakan bahwa Amerika Serikat tidak akan lagi membayar untuk Dana Iklim Hijau. Dia menjelaskan keputusannya dengan mengatakan bahwa sumbangan itu akhirnya dapat merugikan Amerika Serikat sebanyak “miliaran dolar hingga tak terkira.”
Raman mengatakan, meski ia masih berharap untuk melihat negara-negara maju lainnya “melangkah maju” dengan berkontribusi lebih banyak pada dana tersebut, mereka belum membuat komitmen pasti dengan jelas.
“Kami merasa sangat ngeri dengan sikap yang diambil oleh Amerika Serikat, tetapi mereka bukan satu-satunya,” katanya. “Semua negara maju bersatu mengambil posisi yang tidak jauh beda dengan AS karena tidak membuat kemajuan dalam bantuan keuangan.”
Para pemimpin dunia telah bersumpah di Paris untuk menghindari pemanasan sebanyak 2 derajat Celcius atau 3,6 derajat Fahrenheit di atas tingkat pra-industri, ambang batas yang mereka anggap sangat berisiko. Namun, terdapat banyak perkiraan tentang berapa banyak uang yang dihabiskan untuk memerangi perubahan iklim di negara miskin. Salah satu alasan perbedaan yang timbul ialah bahwa tidak ada konsensus mengenai bagaimana kontribusi harus disertakan dalam penghitungan.
Para kritikus Dana Iklim Hijau mempertanyakan mengapa banyak uang yang disalurkan telah disalurkan melalui bank pembangunan besar atau perusahaan sektor swasta yang dipimpin oleh perusahaan investasi global. Mereka berpendapat bahwa lebih banyak bantuan iklim harus diserahkan langsung kepada pemerintah di negara berkembang atau masyarakat berisiko.
“Kami menginginkan uang, tetapi kami kesulitan untuk memberikan restu penuh kami kepada proyek-proyek yang akan datang,” kata Lidy Nacpil, koordinator Gerakan Rakyat Asia tentang Hutang dan Pembangunan, sebuah aliansi regional dari organisasi nirlaba dan kelompok komunitas.
Tetapi bahkan meski para kritikus dana khawatir tentang kekurangan, dengan mengatakan bahwa hal itu menimbulkan risiko bagi orang-orang di daerah miskin dengan pemerintah yang tidak mampu atau tidak mau menghabiskan lebih banyak dana untuk adaptasi dan mitigasi iklim.
Awalnya, tujuan era Obama untuk mengamankan dana sebanyak US$100 miliar dalam pendanaan iklim dan investasi per tahun pada tahun 2020 “merupakan jumlah yang dibutuhkan oleh negara-negara untuk menerapkan ambisi mereka,” kata Neha Rai, seorang ahli keuangan iklim di Institut Internasional untuk Lingkungan dan Pembangunan, sebuah lembaga think tank di Inggris. “Namun, pada saat yang sama, terlepas dari jumlahnya, hal itu memberi sinyal kebijakan bahwa investasi yang relevan dengan iklim sangatlah berperan penting.”
Asia Tenggara adalah contohnya.
Orang-orang yang tinggal di kawasan Asia-Pasifik “sangat rentan” terhadap dampak perubahan iklim, demikian menurut Bank Pembangunan Asia pada tahun lalu dalam sebuah laporan, yang memproyeksikan Asia Tenggara akan menjadi kawasan yang “paling terpengaruh oleh peningkatan panas ekstrem” di area yang lebih luas pada akhir abad ini.
Dari 74 proyek Dana Iklim Hijau yang disetujui senilai US$3,5 miliar, tiga proyek diarahkan di Asia Tenggara dengan nilai gabungan hampir US$156 juta, menurut data yang disediakan oleh program. Sembilan belas proyek lainnya berada jalur program yang secara langsung menargetkan kawasan dan bernilai US$904 juta.
Nacpil mengatakan pendanaan iklim sangatlah penting di Asia Tenggara sebagian karena begitu banyak kota di daerah pesisir yang rentan terhadap kenaikan permukaan laut dan harus beradaptasi. Karena jumlah pembangkit listrik tenaga batu bara di wilayah itu diperkirakan akan meningkat, dia menambahkan, pemerintah harus didorong untuk mengubah kebijakan nasional terhadap investasi dalam energi terbarukan.
Jenty Kirsch-Wood, seorang ahli iklim dengan Program Pembangunan PBB, membela Dana Iklim Hijau dengan menunjukkan manfaatnya di Vietnam, dengan bagian dari hibah sebesar US$30 juta dari program tersebut telah mendanai distribusi perumahan gratis tahan badai untuk masyarakat di daerah pesisir yang rawan terkena bencana angin topan.
“Dana Iklim Hijau telah merevitalisasi harapan bagi negara-negara seperti Vietnam bahwa mereka dapat memenuhi target perjanjian Paris mereka, merangkul revolusi energi hijau, tetapi juga membantu warga mereka untuk beradaptasi dengan perubahan iklim,” kata Kirsch-Wood.
Namun, dana sebanyak US$30 juta sejauh ini hanya diperuntukkan bagi negara berpenduduk 93 juta orang dengan nilai ekonomi lebih dari US$200 miliar dan garis pantai yang panjang dan terbuka. Dalam rencana iklim 2015 yang diserahkan kepada Konvensi Kerangka Kerja PBB, Vietnam mengatakan bahwa investasi negara hanya dapat menyediakan 30 persen dari apa yang dibutuhkan untuk beradaptasi.
“Banyak negara berkembang telah menegaskan bahwa mereka tidak akan dapat mencapai target perjanjian Paris tanpa pendanaan iklim Internasional,” kata Oyun Sanjaasuren, direktur urusan dana Dana Iklim Hijau. “Untuk bagiannya, saluran proyek iklim Iklim Dana Hijau di negara-negara berkembang menunjukkan bahwa permintaan untuk pendanaan iklim sudah melebihi pasokan,” katanya.
Penulis: Mike Ives (The New York Times) | Mata Mata Politik
Raman mengatakan, meski ia masih berharap untuk melihat negara-negara maju lainnya “melangkah maju” dengan berkontribusi lebih banyak pada dana tersebut, mereka belum membuat komitmen pasti dengan jelas.
“Kami merasa sangat ngeri dengan sikap yang diambil oleh Amerika Serikat, tetapi mereka bukan satu-satunya,” katanya. “Semua negara maju bersatu mengambil posisi yang tidak jauh beda dengan AS karena tidak membuat kemajuan dalam bantuan keuangan.”
Para pemimpin dunia telah bersumpah di Paris untuk menghindari pemanasan sebanyak 2 derajat Celcius atau 3,6 derajat Fahrenheit di atas tingkat pra-industri, ambang batas yang mereka anggap sangat berisiko. Namun, terdapat banyak perkiraan tentang berapa banyak uang yang dihabiskan untuk memerangi perubahan iklim di negara miskin. Salah satu alasan perbedaan yang timbul ialah bahwa tidak ada konsensus mengenai bagaimana kontribusi harus disertakan dalam penghitungan.
Para kritikus Dana Iklim Hijau mempertanyakan mengapa banyak uang yang disalurkan telah disalurkan melalui bank pembangunan besar atau perusahaan sektor swasta yang dipimpin oleh perusahaan investasi global. Mereka berpendapat bahwa lebih banyak bantuan iklim harus diserahkan langsung kepada pemerintah di negara berkembang atau masyarakat berisiko.
“Kami menginginkan uang, tetapi kami kesulitan untuk memberikan restu penuh kami kepada proyek-proyek yang akan datang,” kata Lidy Nacpil, koordinator Gerakan Rakyat Asia tentang Hutang dan Pembangunan, sebuah aliansi regional dari organisasi nirlaba dan kelompok komunitas.
Tetapi bahkan meski para kritikus dana khawatir tentang kekurangan, dengan mengatakan bahwa hal itu menimbulkan risiko bagi orang-orang di daerah miskin dengan pemerintah yang tidak mampu atau tidak mau menghabiskan lebih banyak dana untuk adaptasi dan mitigasi iklim.
Awalnya, tujuan era Obama untuk mengamankan dana sebanyak US$100 miliar dalam pendanaan iklim dan investasi per tahun pada tahun 2020 “merupakan jumlah yang dibutuhkan oleh negara-negara untuk menerapkan ambisi mereka,” kata Neha Rai, seorang ahli keuangan iklim di Institut Internasional untuk Lingkungan dan Pembangunan, sebuah lembaga think tank di Inggris. “Namun, pada saat yang sama, terlepas dari jumlahnya, hal itu memberi sinyal kebijakan bahwa investasi yang relevan dengan iklim sangatlah berperan penting.”
Asia Tenggara adalah contohnya.
Orang-orang yang tinggal di kawasan Asia-Pasifik “sangat rentan” terhadap dampak perubahan iklim, demikian menurut Bank Pembangunan Asia pada tahun lalu dalam sebuah laporan, yang memproyeksikan Asia Tenggara akan menjadi kawasan yang “paling terpengaruh oleh peningkatan panas ekstrem” di area yang lebih luas pada akhir abad ini.
Dari 74 proyek Dana Iklim Hijau yang disetujui senilai US$3,5 miliar, tiga proyek diarahkan di Asia Tenggara dengan nilai gabungan hampir US$156 juta, menurut data yang disediakan oleh program. Sembilan belas proyek lainnya berada jalur program yang secara langsung menargetkan kawasan dan bernilai US$904 juta.
Nacpil mengatakan pendanaan iklim sangatlah penting di Asia Tenggara sebagian karena begitu banyak kota di daerah pesisir yang rentan terhadap kenaikan permukaan laut dan harus beradaptasi. Karena jumlah pembangkit listrik tenaga batu bara di wilayah itu diperkirakan akan meningkat, dia menambahkan, pemerintah harus didorong untuk mengubah kebijakan nasional terhadap investasi dalam energi terbarukan.
Jenty Kirsch-Wood, seorang ahli iklim dengan Program Pembangunan PBB, membela Dana Iklim Hijau dengan menunjukkan manfaatnya di Vietnam, dengan bagian dari hibah sebesar US$30 juta dari program tersebut telah mendanai distribusi perumahan gratis tahan badai untuk masyarakat di daerah pesisir yang rawan terkena bencana angin topan.
“Dana Iklim Hijau telah merevitalisasi harapan bagi negara-negara seperti Vietnam bahwa mereka dapat memenuhi target perjanjian Paris mereka, merangkul revolusi energi hijau, tetapi juga membantu warga mereka untuk beradaptasi dengan perubahan iklim,” kata Kirsch-Wood.
Namun, dana sebanyak US$30 juta sejauh ini hanya diperuntukkan bagi negara berpenduduk 93 juta orang dengan nilai ekonomi lebih dari US$200 miliar dan garis pantai yang panjang dan terbuka. Dalam rencana iklim 2015 yang diserahkan kepada Konvensi Kerangka Kerja PBB, Vietnam mengatakan bahwa investasi negara hanya dapat menyediakan 30 persen dari apa yang dibutuhkan untuk beradaptasi.
“Banyak negara berkembang telah menegaskan bahwa mereka tidak akan dapat mencapai target perjanjian Paris tanpa pendanaan iklim Internasional,” kata Oyun Sanjaasuren, direktur urusan dana Dana Iklim Hijau. “Untuk bagiannya, saluran proyek iklim Iklim Dana Hijau di negara-negara berkembang menunjukkan bahwa permintaan untuk pendanaan iklim sudah melebihi pasokan,” katanya.
Penulis: Mike Ives (The New York Times) | Mata Mata Politik