Siang itu sinar matahari tertutup oleh lebatnya daun-daun pepohonan dalam hutan konservasi milik perusahaan sawit PT Kayung Agro Lestari (KA...
Siang itu sinar matahari tertutup oleh lebatnya daun-daun pepohonan dalam hutan konservasi milik perusahaan sawit PT Kayung Agro Lestari (KAL) di Ketapang, Kalimantan Barat. Sambil menyibak tanaman rambat dan ranting yang dilalui, pria bernama Bambang Suriyanto sibuk memandangi pepohonan dan sesekali mencatat sesuatu di papan berisikan kertas laporan.
Pejuang Lingkungan - Bambang bukan turis ataupun peneliti. Pria berusia 27 tahun ini bertugas sebagai pemantau keberadaan Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) di hutan seluas 657 hektare itu. Ia telah menjalani tugas “pengintaian” ini sejak empat tahun yang lalu.
Tak seperti kebanyakan warga negara asing yang menjadi sukarelawan dalam konservasi orangutan di Indonesia, Bambang tak pernah menempuh pendidikan khusus untuk menjadi pemantau. Sejak hari pertama bekerja, ia bermodalkan pengalaman dari Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (IARI) dan ketepatan instingnya dalam membaca tanda alam.
Selama bertugas sebulan sekali, putra Kalimantan asal Desa Manjau ini memantau jenis makanan, perilaku serta titik yang dijelajahi orangutan.
Sudah pasti Bambang paham betul gerak-gerik orangutan. Pasalnya, dari pagi sampai malam ia terus melakukan pengamatannya.
Dari laporannya, tim konservasi bisa memperkirakan kelangsungan hidup orangutan. Jika ada orangutan yang sekiranya kesusahan hidup di alam liar, tim akan menjemput dan mengasuhnya. Baru setelah itu akan diputuskan apakah orangutan dilepaskan kembali atau diasuh dalam konservasi selamanya.
Salah satu yang juga diperhatikan oleh Bambang ialah kelestarian pohon besar yang menjadi tempat tinggal orangutan. Pohon Tebelian atau Pohon Ulin (Eusideroxylon zwageri), pohon khas yang tumbuh di Kalimantan menjadi tempat favorit orangutan untuk bergelantungan dari lahir sampai tutup usia.
Hingga saat ini, Bambang sudah menemukan lebih dari 10 orangutan di hutan konservasi PT KAL. Bak orang tua yang melihat anaknya baru lahir, ia memotret dan memberi nama untuk setiap orangutan yang ditemuinya.
“Kalau nama biasanya kami kasih sesuai nama bulan penemuannya. Misalnya ditemukan saat bulan Januari, makan namanya Januari blablabla,” kata Bambang kepada CNNIndonesia saat ditemui di hutan konservasi PT ANJ pada akhir pekan kemarin.
“Rasa lelah terbayar saat bertemu dengan orangutan yang sehat. Berarti hidup mereka sejahtera di sini,” lanjutnya sambil tersenyum.
Ada berbagai jenis orangutan dalam hutan konservasi PT KAL. Istilah ilmiahnya terlalu rumit untuk dihapal, jadi Bambang menyederhanakannya dengan orangutan kurus, orangutan berbokong gundul dan orangutan berbulu lebat.
Bekerja di luar ruangan tentu saja memberi tantangan yang berbeda. Sama juga seperti Bambang, yang walau sudah empat tahun keluar masuk hutan tapi terkadang tersesat di dalamnya. Kompas manual dan digital, senter, sepatu boot, dan helm menjadi seragamnya setiap pergi ke “kantor”.
“Yang paling sulit saat menjelajah hutan mulai sore sampai malam hari. Suasana akan sangat gelap, bahkan kami tak bisa bergantung dengan kecanggihan GPS,” ujar Bambang.
“Tapi bagi kami tak masalah, selama masih bisa menjaga orangutan,” lanjutnya.
Bambang bukan satu-satunya ‘malaikat tanpa sayap’ bagi orangutan di Kalimantan. Dalam pusat rehabilitasi, ada juga orang yang bertugas menjadi perawat sampai penghibur orangutan.
Orangutan yang diasuh bukan sekadar dikandangkan. Dengan manja, mereka bergelayutan atau berpangkuan manja dengan para pengasuhnya.
Pekerjaan mengasuh tersebut tidak semudah yang dibayangkan, karena sejatinya manusia memang tak mengerti bahasa hewan begitu pula sebaliknya. Tapi bahasa cinta dirasa cukup untuk membuat mereka saling berempati.
“Saya berharap populasi orangutan bisa terjaga dan terus bertambah, sehingga anak cucu saya nanti masih bisa mengamati kelincahan mereka di alam bebas,” pungkas Bambang.
Penulis: Gloria Safira Taylor
Pejuang Lingkungan - Bambang bukan turis ataupun peneliti. Pria berusia 27 tahun ini bertugas sebagai pemantau keberadaan Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) di hutan seluas 657 hektare itu. Ia telah menjalani tugas “pengintaian” ini sejak empat tahun yang lalu.
Tak seperti kebanyakan warga negara asing yang menjadi sukarelawan dalam konservasi orangutan di Indonesia, Bambang tak pernah menempuh pendidikan khusus untuk menjadi pemantau. Sejak hari pertama bekerja, ia bermodalkan pengalaman dari Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (IARI) dan ketepatan instingnya dalam membaca tanda alam.
Selama bertugas sebulan sekali, putra Kalimantan asal Desa Manjau ini memantau jenis makanan, perilaku serta titik yang dijelajahi orangutan.
Sudah pasti Bambang paham betul gerak-gerik orangutan. Pasalnya, dari pagi sampai malam ia terus melakukan pengamatannya.
Dari laporannya, tim konservasi bisa memperkirakan kelangsungan hidup orangutan. Jika ada orangutan yang sekiranya kesusahan hidup di alam liar, tim akan menjemput dan mengasuhnya. Baru setelah itu akan diputuskan apakah orangutan dilepaskan kembali atau diasuh dalam konservasi selamanya.
Salah satu yang juga diperhatikan oleh Bambang ialah kelestarian pohon besar yang menjadi tempat tinggal orangutan. Pohon Tebelian atau Pohon Ulin (Eusideroxylon zwageri), pohon khas yang tumbuh di Kalimantan menjadi tempat favorit orangutan untuk bergelantungan dari lahir sampai tutup usia.
Hingga saat ini, Bambang sudah menemukan lebih dari 10 orangutan di hutan konservasi PT KAL. Bak orang tua yang melihat anaknya baru lahir, ia memotret dan memberi nama untuk setiap orangutan yang ditemuinya.
“Kalau nama biasanya kami kasih sesuai nama bulan penemuannya. Misalnya ditemukan saat bulan Januari, makan namanya Januari blablabla,” kata Bambang kepada CNNIndonesia saat ditemui di hutan konservasi PT ANJ pada akhir pekan kemarin.
“Rasa lelah terbayar saat bertemu dengan orangutan yang sehat. Berarti hidup mereka sejahtera di sini,” lanjutnya sambil tersenyum.
Ada berbagai jenis orangutan dalam hutan konservasi PT KAL. Istilah ilmiahnya terlalu rumit untuk dihapal, jadi Bambang menyederhanakannya dengan orangutan kurus, orangutan berbokong gundul dan orangutan berbulu lebat.
Bekerja di luar ruangan tentu saja memberi tantangan yang berbeda. Sama juga seperti Bambang, yang walau sudah empat tahun keluar masuk hutan tapi terkadang tersesat di dalamnya. Kompas manual dan digital, senter, sepatu boot, dan helm menjadi seragamnya setiap pergi ke “kantor”.
“Yang paling sulit saat menjelajah hutan mulai sore sampai malam hari. Suasana akan sangat gelap, bahkan kami tak bisa bergantung dengan kecanggihan GPS,” ujar Bambang.
“Tapi bagi kami tak masalah, selama masih bisa menjaga orangutan,” lanjutnya.
Bambang bukan satu-satunya ‘malaikat tanpa sayap’ bagi orangutan di Kalimantan. Dalam pusat rehabilitasi, ada juga orang yang bertugas menjadi perawat sampai penghibur orangutan.
Orangutan yang diasuh bukan sekadar dikandangkan. Dengan manja, mereka bergelayutan atau berpangkuan manja dengan para pengasuhnya.
Pekerjaan mengasuh tersebut tidak semudah yang dibayangkan, karena sejatinya manusia memang tak mengerti bahasa hewan begitu pula sebaliknya. Tapi bahasa cinta dirasa cukup untuk membuat mereka saling berempati.
“Saya berharap populasi orangutan bisa terjaga dan terus bertambah, sehingga anak cucu saya nanti masih bisa mengamati kelincahan mereka di alam bebas,” pungkas Bambang.
Penulis: Gloria Safira Taylor