Dosen hukum Universitas Sahid, Jakarta, Wahyu Nugroho mengajukan diri sebagai pihak terkait dalam uji materi pasal 'sakti' penjerat ...
Dosen hukum Universitas Sahid, Jakarta, Wahyu Nugroho mengajukan diri sebagai pihak terkait dalam uji materi pasal 'sakti' penjerat pembakar hutan. Dirinya beranggapan pasal 88 dalam UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup tidak perlu dihilangkan.
Politik Lingkungan - Judicial review itu diajukan oleh Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI).
"Karena UU 32/2009, terutama pasal yang di judical review (JR) itu cukup progresive dan responsive dalam penegakan hukum Indonesia," ujar Wahyu usai pendaftaran di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Gambir, Jakarta Pusat, Selasa (6/6/2017).
Selain itu, salah satu pasal yang dijudicial review juga soal norma kearifan lokal dalam perambahan hutan. Yang mana norma di dalam pasal itu tidak bertentangan dengan UUD 45.
"Kalau saya (gugatan) ambil jalan tengah harus ada perda, justru jangan hilangkan pasal kearifan lokal tetapi juga jangan biarkan kelompok masyarakat adat melakukan penyimpangan lebih dari 2 hektare, itu juga salah. Sehingga harus ada peraturan daerah melakukan pengelolaan hutan termasuk, pembakaran sesuai kearifan lokal dengan ada peraturan sendiri dalam perda," papar Wahyu.
Wahyu sendiri melihat kalau ketiga pasal di dalam UU lingkungan hidup telah komprehensif dan progresif. UU ini menempatkan pemidanaan uapa hukum terakhir.
"Kalau taat hukum perizinan tidak merembet ke perdata atau pidana tolak ukurnya pengusaha kayu kelapa sawit terhadap ketaatan hukum administrasi perizinan," pungkasnya.
Kuasa hukum uji materi 'pasal sakti' pembakar hutan, Refly Harun menegaskan tujuan uji materi bukan memberikan perlindungan kepada pengusaha lahan sawit nakal. Akan tetapi meminta Mahkamah Konstitusi (MK) untuk melakukan pelarangan aktivitas pembakaran hutan oleh siapa pun.
"Tujuan agar Yang Mulia menghapuskan kebakaran hutan, sehingga tidak ada ruang pembakaran hutan baik pemegang konsensi atau orang-orang di wilayah konsesi itu," ujar Refly dalam persidangan dengan agenda pemeriksaan pendahuluan, di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Gambir, Jakarta Pusat, Senin (29/5/2017). (edo/asp)
Penulis: Edward Febriyatri Kusuma
Politik Lingkungan - Judicial review itu diajukan oleh Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI).
"Karena UU 32/2009, terutama pasal yang di judical review (JR) itu cukup progresive dan responsive dalam penegakan hukum Indonesia," ujar Wahyu usai pendaftaran di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Gambir, Jakarta Pusat, Selasa (6/6/2017).
Selain itu, salah satu pasal yang dijudicial review juga soal norma kearifan lokal dalam perambahan hutan. Yang mana norma di dalam pasal itu tidak bertentangan dengan UUD 45.
"Kalau saya (gugatan) ambil jalan tengah harus ada perda, justru jangan hilangkan pasal kearifan lokal tetapi juga jangan biarkan kelompok masyarakat adat melakukan penyimpangan lebih dari 2 hektare, itu juga salah. Sehingga harus ada peraturan daerah melakukan pengelolaan hutan termasuk, pembakaran sesuai kearifan lokal dengan ada peraturan sendiri dalam perda," papar Wahyu.
Wahyu sendiri melihat kalau ketiga pasal di dalam UU lingkungan hidup telah komprehensif dan progresif. UU ini menempatkan pemidanaan uapa hukum terakhir.
"Kalau taat hukum perizinan tidak merembet ke perdata atau pidana tolak ukurnya pengusaha kayu kelapa sawit terhadap ketaatan hukum administrasi perizinan," pungkasnya.
Kuasa hukum uji materi 'pasal sakti' pembakar hutan, Refly Harun menegaskan tujuan uji materi bukan memberikan perlindungan kepada pengusaha lahan sawit nakal. Akan tetapi meminta Mahkamah Konstitusi (MK) untuk melakukan pelarangan aktivitas pembakaran hutan oleh siapa pun.
"Tujuan agar Yang Mulia menghapuskan kebakaran hutan, sehingga tidak ada ruang pembakaran hutan baik pemegang konsensi atau orang-orang di wilayah konsesi itu," ujar Refly dalam persidangan dengan agenda pemeriksaan pendahuluan, di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Gambir, Jakarta Pusat, Senin (29/5/2017). (edo/asp)
Penulis: Edward Febriyatri Kusuma