Oleh Wintah HUTAN mangrove yang berfungsi sebagai penahan degradasi air laut sekarang semakin dibabat habis. Hutan di Indonesia dari wa...
Oleh Wintah
HUTAN mangrove yang berfungsi sebagai penahan degradasi air laut sekarang semakin dibabat habis. Hutan di Indonesia dari waktu ke waktu kian terancam. Datangnya pengusaha tambak baik dalam negeri maupun luar negeri telah banyak membuat keseimbangan alam semakin menurun. Perluasan pembukaan lahan untuk tambak, merupakan penyebab utama hilangnya hutan-hutan mangrove di sebagian besar kawasan pesisir pantai. Padahal, keberadaan hutan mangrove sangat penting artinya untuk mempertahankan keseimbangan ekosistem pantai.
Dari data yang dikumpulkan melalui penafsiran foto udara dan survai lapangan, luas hutan bakau di Indonesia sudah di ambang kritis. Bila keadaan yang tidak seimbang ini terjadi terus menerus, bisa dibayangkan kerusakan ekosistem yang akan terjadi mendatang akan mendatangkan kerugian yang sangat besar, bukan hanya merusak ekosistem, tapi tambak petani bisa terkena erosi pantai atau longsor.
Konversi hutan mangrove menjadi tambak secara ekonomis jelas sangat menguntungkan petani. Tapi perlu diingat, rusaknya hutan mangrove justru akan menjadi abrasi pantai. Indonesia sebagai negeri kepulauan (± 17.000 pulau), sudah seharusnya Indonesia menjaga keberlanjutan hutan mangrove. Jika fakta ini diacuhkan, maka bencana ekologis, seperti abrasi pantai dan banjir, menjadi hal yang tak terelakkan. Bahkan, tak jarang memakan korban jiwa dan kerugian materil teramat besar.
Lebih dari itu, hancurnya tata hidup ekosistem pantai. Tak kurang dari 30% hutan mangrove dunia berpusat di Indonesia. Hutan mangrove merupakan tempat bertelur dan berkembangbiaknya satwa laut, seperti udang, ikan, serta kepiting. Di samping itu, hutan mangrove mampu membentengi pantai dari erosi dan melindungi rumah nelayan serta sampan mereka dari terpaan badai dan ombak besar yang ganas.
Mengalami penyusutan
Luas hutan mangrove di seluruh Indonesia diperkirakan sekitar 4,25 juta Hektare (Ha) atau 3,98% dari seluruh luas hutan Indonesia tetapi hanya 2,5 juta dalam keadaan baik (Nontji, 2005). Permasalahan utama yang terjadi saat ini adalah banyaknya hutan mangrove yang hilang dan mengalami kerusakan karena aktivitas manusia seperti konversi lahan mangrove, penebangan liar, pembangunan di kawasan pesisir dan polusi yang berasal dari daratan. Perluasan industri pertambakan skala besar, juga telah menyebabkan hutan mangrove di Indonesia mengalami penyusutan sebesar 14%.
Seiring ekspansi industri pertambakan, luas areal hutan mangrove Indonesia tersisa 1,9 juta Ha pada 2007. Penyusutan ini meninggalkan dampak buruk bagi ekosistem dan keberlanjutan kehidupan masyarakat pesisir. Di Lampung, misalnya, dari 160.000 Ha lahan hutan mangrove, sekitar 136.000 Ha (80%) rusak akibat perluasan tambak. Banyak hutan mangrove yang ditebang dan dialih fungsikan dengan tambak-tambak ikan dan udang.
Sehingga berakibat pada kerusakan lingkungan, mulai dari musnahnya ekosistem hutan mangrove, abrasi, sedimentasi, dan penggaraman air tanah baik di dalam maupun di luar perusahaan, menurunnya kualitas perairan dan lahan, juga telah menyebabkan turunnya kualitas hidup. Hal ini dipicu oleh buangan air tambak perusahaan ke sungai hingga laut yang selama ini menjadi sandaran penghidupan warga di wilayah pesisir.
Lebih jauh, berkurangnya areal hutan mangrove berdampak pada bencana banjir yang terjadi di pesisir pantai. Bukan itu saja, kerusakkan hutau bakau juga telah banyak mengakibatkan proses abrasi di sepanjang pesisir pantai. Pada tahun 1999 di Kabupaten, Pemalang, Situbondo dan Rembang pernah terjadi banjir pesisir jalur pantura akibat rusaknya hutan bakau. Potret ini menjadi fakta yang dilupakannya fungsi hutan mangrove dalam menjaga keberlanjutan ekosistem dan kelestarian hidup warga pesisir.
Betapa tidak, tak kurang dari 7.000 desa terendam banjir. Bahkan, jumlahnya berlipat menjadi 12.000 desa pada 2003. Berdasar pengamatan Walhi, sekitar 90% di antaranya adalah desa yang telah kehilangan ekosistem hutan bakaunya. Padahal, jika dimanfaatkan, hutan bakau memberi kemanfaatan ekologis dan keuntungan ekonomi sebesar Rp 90 juta per Ha per tahun bagi kehidupan masyarakat pesisir di sekitarnya.
Sebagai contoh, pohon Api-api (Avicennia sp.) merupakan tempat bersarangnya lebah madu. Dari pohon ini, madu dapat dipanen langsung dan dibudidayakan. Demikian dengan ranting pohon mangrove yang digunakan sebagai bahan bakar, arang, dan cuka kayu, serta nira dari pohon nipah yang dapat dijadikan sebagai minuman segar, cuka, gula merah, madu, dan obat-obatan tradisional.
Mitigasi bencana
Merasakan langsung manfaat hutan mangrove ketika terjadinya gelombang tsunami merupakan satu bencana alam paling merusak di kawasan pantai. Tsunami di Flores 12 Desember 1992, menelan korban 2.100 jiwa, di Banyuwangi 2 Juni 1994 menelan korban 223 jiwa, dan di Biak 17 Februari 1996 menelan korban 104 jiwa (Suara Pembaruan, 11/8/2002). Ketiganya merupakan kawasan pesisir yang rapat hutan mangrove, sehingga mitigasi bencana dapat dikurangi korban jiwanya. Tragedi di Aceh 26 Desember 2004 dan Nias pada 2005, yang langsung berhadapan dengan Samudera Hindia, banyak korban hilang disapu gelombang tsunami di daerah yang minim hutan mangrove. Akan tetapi kawasan yang rapat hutan mangrove laju gelombang tsunami terhambat, sehingga dapat meminimalisir jumlah korban jiwa.
Pascatsunami Aceh-Nias, program pemerintah, BRR dan LSM/NGO yang bekerja di wilayah tsunami mulai mencanangkan program restorasi sejuta mangrove bersama masyarakat dalam mitigasi bencana. Upaya pengurangan risiko bencana ini menekankan pada desa siaga. Masyarakat dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan menghadapi bencana di masa depan. Pada 2016 ini masyarakat telah merasakan langsung terjadinya peningkatan populasi biota seperti kepiting, nener dan benur. Bahkan untuk terjangan angin dan banjir yang sering terjadi dapat dikurangi tidak seperti sebelumnya.
Pengetahuan mitigasi bencana dalam penanaman sejuta mangrove tidak hanya memperhatikan fungsi hutan mangrove sebagai sumber ekonomis akan tetapi juga memperhatikan pemanfataannya sebagai pelindung abrasi pantai dan untuk pelestarian ekosistem pesisir, termasuk mempertahankan spesies biota laut. Sebab ada jenis biota laut yang tidak dapat hidup bila tidak ada lagi hutan mangrove. Sayangnya program mitigasi bencana pengelolaan hutan mangrove sekarang ini menjadi isu pengelolaan lingkungan yang tak berkelanjutan.
Oleh karena itu, ke depan dibutuhkan kerja sama pihak-pihak terkait agar upaya konservasi hutan mangrove dapat berjalan secara berkelanjutan dan berdampak pada kelestarian ekosistem. Upaya ini, perlu komitmen bersama yang kuat, sehingga restorasi hutan mangrove sebagai mitigasi bencana perlu ditanamkan dari kultur hingga struktural. Semoga!
* Wintah, M.Si., dosen Universitas Teuku Umar (UTU) Meulaboh, saat ini sedang menyelesaikan program doktoral Ilmu Biologi di Universitas Soedirman (Unsoed) Purwokerto. Email: syuga_2006@yahoo.co.id
HUTAN mangrove yang berfungsi sebagai penahan degradasi air laut sekarang semakin dibabat habis. Hutan di Indonesia dari waktu ke waktu kian terancam. Datangnya pengusaha tambak baik dalam negeri maupun luar negeri telah banyak membuat keseimbangan alam semakin menurun. Perluasan pembukaan lahan untuk tambak, merupakan penyebab utama hilangnya hutan-hutan mangrove di sebagian besar kawasan pesisir pantai. Padahal, keberadaan hutan mangrove sangat penting artinya untuk mempertahankan keseimbangan ekosistem pantai.
Dari data yang dikumpulkan melalui penafsiran foto udara dan survai lapangan, luas hutan bakau di Indonesia sudah di ambang kritis. Bila keadaan yang tidak seimbang ini terjadi terus menerus, bisa dibayangkan kerusakan ekosistem yang akan terjadi mendatang akan mendatangkan kerugian yang sangat besar, bukan hanya merusak ekosistem, tapi tambak petani bisa terkena erosi pantai atau longsor.
Konversi hutan mangrove menjadi tambak secara ekonomis jelas sangat menguntungkan petani. Tapi perlu diingat, rusaknya hutan mangrove justru akan menjadi abrasi pantai. Indonesia sebagai negeri kepulauan (± 17.000 pulau), sudah seharusnya Indonesia menjaga keberlanjutan hutan mangrove. Jika fakta ini diacuhkan, maka bencana ekologis, seperti abrasi pantai dan banjir, menjadi hal yang tak terelakkan. Bahkan, tak jarang memakan korban jiwa dan kerugian materil teramat besar.
Lebih dari itu, hancurnya tata hidup ekosistem pantai. Tak kurang dari 30% hutan mangrove dunia berpusat di Indonesia. Hutan mangrove merupakan tempat bertelur dan berkembangbiaknya satwa laut, seperti udang, ikan, serta kepiting. Di samping itu, hutan mangrove mampu membentengi pantai dari erosi dan melindungi rumah nelayan serta sampan mereka dari terpaan badai dan ombak besar yang ganas.
Mengalami penyusutan
Luas hutan mangrove di seluruh Indonesia diperkirakan sekitar 4,25 juta Hektare (Ha) atau 3,98% dari seluruh luas hutan Indonesia tetapi hanya 2,5 juta dalam keadaan baik (Nontji, 2005). Permasalahan utama yang terjadi saat ini adalah banyaknya hutan mangrove yang hilang dan mengalami kerusakan karena aktivitas manusia seperti konversi lahan mangrove, penebangan liar, pembangunan di kawasan pesisir dan polusi yang berasal dari daratan. Perluasan industri pertambakan skala besar, juga telah menyebabkan hutan mangrove di Indonesia mengalami penyusutan sebesar 14%.
Seiring ekspansi industri pertambakan, luas areal hutan mangrove Indonesia tersisa 1,9 juta Ha pada 2007. Penyusutan ini meninggalkan dampak buruk bagi ekosistem dan keberlanjutan kehidupan masyarakat pesisir. Di Lampung, misalnya, dari 160.000 Ha lahan hutan mangrove, sekitar 136.000 Ha (80%) rusak akibat perluasan tambak. Banyak hutan mangrove yang ditebang dan dialih fungsikan dengan tambak-tambak ikan dan udang.
Sehingga berakibat pada kerusakan lingkungan, mulai dari musnahnya ekosistem hutan mangrove, abrasi, sedimentasi, dan penggaraman air tanah baik di dalam maupun di luar perusahaan, menurunnya kualitas perairan dan lahan, juga telah menyebabkan turunnya kualitas hidup. Hal ini dipicu oleh buangan air tambak perusahaan ke sungai hingga laut yang selama ini menjadi sandaran penghidupan warga di wilayah pesisir.
Lebih jauh, berkurangnya areal hutan mangrove berdampak pada bencana banjir yang terjadi di pesisir pantai. Bukan itu saja, kerusakkan hutau bakau juga telah banyak mengakibatkan proses abrasi di sepanjang pesisir pantai. Pada tahun 1999 di Kabupaten, Pemalang, Situbondo dan Rembang pernah terjadi banjir pesisir jalur pantura akibat rusaknya hutan bakau. Potret ini menjadi fakta yang dilupakannya fungsi hutan mangrove dalam menjaga keberlanjutan ekosistem dan kelestarian hidup warga pesisir.
Betapa tidak, tak kurang dari 7.000 desa terendam banjir. Bahkan, jumlahnya berlipat menjadi 12.000 desa pada 2003. Berdasar pengamatan Walhi, sekitar 90% di antaranya adalah desa yang telah kehilangan ekosistem hutan bakaunya. Padahal, jika dimanfaatkan, hutan bakau memberi kemanfaatan ekologis dan keuntungan ekonomi sebesar Rp 90 juta per Ha per tahun bagi kehidupan masyarakat pesisir di sekitarnya.
Sebagai contoh, pohon Api-api (Avicennia sp.) merupakan tempat bersarangnya lebah madu. Dari pohon ini, madu dapat dipanen langsung dan dibudidayakan. Demikian dengan ranting pohon mangrove yang digunakan sebagai bahan bakar, arang, dan cuka kayu, serta nira dari pohon nipah yang dapat dijadikan sebagai minuman segar, cuka, gula merah, madu, dan obat-obatan tradisional.
Mitigasi bencana
Merasakan langsung manfaat hutan mangrove ketika terjadinya gelombang tsunami merupakan satu bencana alam paling merusak di kawasan pantai. Tsunami di Flores 12 Desember 1992, menelan korban 2.100 jiwa, di Banyuwangi 2 Juni 1994 menelan korban 223 jiwa, dan di Biak 17 Februari 1996 menelan korban 104 jiwa (Suara Pembaruan, 11/8/2002). Ketiganya merupakan kawasan pesisir yang rapat hutan mangrove, sehingga mitigasi bencana dapat dikurangi korban jiwanya. Tragedi di Aceh 26 Desember 2004 dan Nias pada 2005, yang langsung berhadapan dengan Samudera Hindia, banyak korban hilang disapu gelombang tsunami di daerah yang minim hutan mangrove. Akan tetapi kawasan yang rapat hutan mangrove laju gelombang tsunami terhambat, sehingga dapat meminimalisir jumlah korban jiwa.
Pascatsunami Aceh-Nias, program pemerintah, BRR dan LSM/NGO yang bekerja di wilayah tsunami mulai mencanangkan program restorasi sejuta mangrove bersama masyarakat dalam mitigasi bencana. Upaya pengurangan risiko bencana ini menekankan pada desa siaga. Masyarakat dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan menghadapi bencana di masa depan. Pada 2016 ini masyarakat telah merasakan langsung terjadinya peningkatan populasi biota seperti kepiting, nener dan benur. Bahkan untuk terjangan angin dan banjir yang sering terjadi dapat dikurangi tidak seperti sebelumnya.
Pengetahuan mitigasi bencana dalam penanaman sejuta mangrove tidak hanya memperhatikan fungsi hutan mangrove sebagai sumber ekonomis akan tetapi juga memperhatikan pemanfataannya sebagai pelindung abrasi pantai dan untuk pelestarian ekosistem pesisir, termasuk mempertahankan spesies biota laut. Sebab ada jenis biota laut yang tidak dapat hidup bila tidak ada lagi hutan mangrove. Sayangnya program mitigasi bencana pengelolaan hutan mangrove sekarang ini menjadi isu pengelolaan lingkungan yang tak berkelanjutan.
Oleh karena itu, ke depan dibutuhkan kerja sama pihak-pihak terkait agar upaya konservasi hutan mangrove dapat berjalan secara berkelanjutan dan berdampak pada kelestarian ekosistem. Upaya ini, perlu komitmen bersama yang kuat, sehingga restorasi hutan mangrove sebagai mitigasi bencana perlu ditanamkan dari kultur hingga struktural. Semoga!
* Wintah, M.Si., dosen Universitas Teuku Umar (UTU) Meulaboh, saat ini sedang menyelesaikan program doktoral Ilmu Biologi di Universitas Soedirman (Unsoed) Purwokerto. Email: syuga_2006@yahoo.co.id