Tim ilmuwan di Jepang telah mendeteksi keberadaan oksigen di galaksi terjauh dari Bumi. Keberadaannya benar-benar jauh, yakni 13,1 miliar t...
Tim ilmuwan di Jepang telah mendeteksi keberadaan oksigen di galaksi terjauh dari Bumi. Keberadaannya benar-benar jauh, yakni 13,1 miliar tahun cahaya.

Segera setelah proses pendinginan Big Bang yang memakan waktu hingga 400.000 tahun; elemen paling ringan seperti helium, litium, dan hidrogen muncul. Sedangkan unsur yang lebih berat, seperti karbon dan oksigen dibutuhkan untuk pembentukan kehidupan. Tapi semua unsur tersebut tidak terbentuk sampai bintang-bintang pertama cukup dewasa untuk menghasilkannya.
Seperti yang diduga, saat ditemukan pertama kali pada 2012, galaksi tersebut mengandung halo hidrogen (diilustrasikan di gambar dengan warna ungu). Namun, tim ingin mengetahui lebih jauh tentang potensi keberadaan oksigen.
Dengan temuan ini, ilmuwan berharap bisa mengetahui lebih lanjut mengenai asal usul alam semesta yang disebut melalui fase reionisasi kosmik. Proses ini berlangsung selama sekitar 1 miliar tahun. Namun, para ilmuwan belum sepenuhnya yakin soal fenomena ini.
"Mencari unsur berat di masa awal alam semesta adalah pendekatan penting untuk mengeksplorasi pembentukan bintang di masa itu," ujar Akio Inoue, ilmuwan dari Osaka Sangyo University, Jepang.
Galaksi SXDF-NB1006-2 termasuk menjadi galaksi terjauh yang pernah ditemukan para ilmuwan, selain Galaksi GN-Z11. Galaksi SXDF-NB1006-2 ditemukan pertama kali menggunakan Teleskop Subaru setelah kilau hidrogen terionisasi dari sejumlah bintangnya terdeteksi.
Belakangan, para astronom menemukan kilau oksigen terionisasi juga pada galaksi tersebut. Namun ternyata Galaksi SXDF-NB1006-2 tidak mengandung banyak oksigen. Keberadaan jumlah oksigen sekitar 10 kali lebih rendah dari jumah yang ditemukan di Matahari, seperti dilansir dari Indian Express (9/6/2016).
Selain oksigen, para peneliti juga terkejut dengan minimnya temuan debu di galaksi tersebut.
"Jumlah kecil ini diperkirakan karena alam semesta masih muda dan memiliki sejarah singkat pembentukan bintang pada waktu itu," kata penulis studi Naoki Yoshida dari Universitas Tokyo dalam sebuah pernyataan. Yoseph Edwin