PortalHijau - Dalam satu jam, tutupan hutan yang ada di Provinsi Jambi hilang seluas delapan kali lapangan sepak bola. Data ini diungkap...
PortalHijau - Dalam satu jam, tutupan hutan yang ada di Provinsi Jambi hilang seluas
delapan kali lapangan sepak bola. Data ini diungkapkan Komunitas
Konservasi Indonesia Warsi berdasarkan interpretasi satelit Lansat 8.
"Akibat pembalakan liar yang kemudian beralih fungsi menjadi lahan
perkebunan dan kawasan pertambangan. Kondisi ini sangat memprihatinkan
dan sangat kritis," kata Manajer Komunikasi KKI Warsi Rudi Syaf kepada
wartawan di Jambi, Jumat, 3 Juni 2016.
Pada 2012, luas tutupan
hutan di Jambi mencapai 1.159.559 hektare. Pada 2016, luasnya hanya
menyisakan 970.434 hektare atau berkurang 189.126 hektare.
Menurut Rudi, wajar saja bila musibah banjir bandang selalu melanda
wilayah Jambi. Pada 2016, terjadi lima kali banjir di provinsi ini.
Sebagian besar hutan yang rusak, kata Rudi, berada dalam kawasan daerah
aliran sungai. Antara lain daerah aliran Sungai Batanghari, Betara, dan
Hitamulu Tandas Mendahara.
Tutupan kawasan hutan yang paling
luas mengalami kerusakan berada di kawasan Taman Nasional Bukit
Tigapuluh. "Banyak dialihfungsikan menjadi kawasan hutan tanaman
industri," ujar Rudi. Kemudian kawasan Taman Nasional Kerinci Sebelat,
yang dijadikan kawasan perkebunan kopi.
Rudi mengatakan semua
itu terjadi karena pemerintah belum serius melakukan tata kelola kawasan
hutan. Dia mendesak pemerintah segera menertibkan aktivitas
pertambangan emas tanpa izin dengan mengakomodasi sistem pertambangan
rakyat sehingga gampang dikontrol.
Warsi menilai ancaman lain
kerusakan kawasan hutan gambut akibat kebakaran lahan dan hutan.
Buktinya, kawasan hutan gambut di Jambi yang semula seluas 621.089
hektare kini hanya menyisakan 179.963 hektare.
Rudi juga
mengingatkan soal indikasi adanya pelemahan upaya pemulihan gambut
karena kepentingan kapital. Hal itu merujuk pada pembahasan revisi
Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Gambut.
"Kita melihat adanya usulan untuk
melemahkan Peraturan Pemerintah Nomor 71 terkait dengan tinggi muka air
gambut. Sebelumnya diizinkan 40 sentimeter, kemudian diwacanakan menjadi
80 sentimeter," ucap Rudi.
Wacana itu berasal dari usulan
pengusaha perkebunan kelapa sawit dan akasia. Menurut Rudi, jika
disetujui, usulan tersebut akan melemahkan upaya pemulihan kawasan
gambut yang sudah hancur. Syaipul Bakhori