Banyaknya jumlah penambangan liar atau pertambangan milik rakyat tanpa izin memperbesar potensi kerusakan lingkungan pada lahan terbuka. H...
Banyaknya jumlah penambangan liar atau pertambangan milik rakyat tanpa
izin memperbesar potensi kerusakan lingkungan pada lahan terbuka. Hal
tersebut karena mereka tak punya kewajiban mengikuti mekanisme peringkat
kinerja perusahaan khusus tambang terbuka.
Sekretaris Direktorat
Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Sigit Reliantoro menyatakan kalau
status lahan tambang mereka berizin maka berkewajiban mengelola
lingkungan. “Mulai proses pembukaan lahannya, olah limbah, dan
sebagainya. Yang liar kan cuma bawa uang terus pergi, tidak peduli
lingkungan rusak," ujar Sigit ketika ditemui CNNIndonesia.com pada Rabu
(1/6).
Berdasarkan temuan inventarisasi lahan terbuka KLHK 2005,
terdapat sekitar 302 titik pertambangan milik rakyat yang tersebar di
penjuru Tanah Air. Dari 302 titik tersebut, terdapat sekitar 202 titik
pertambangan milik rakyat yang kedapatan tak mengantongi izin tambang.
Sigit menyatakan, maraknya penambangan liar tanpa izin ini
diakibatkan salah satunya karena kebijakan pemerintahan sebelumnya yang
kurang terkontrol mengenai pemberian izin tambang kepada
perusahaan-perusahaan.
"Kalau kebijakan dari awal sudah benar,
toh tidak akan seperti ini. Dulu lima sampai enam tahun lalu jor-joran
mereka keluarkan izin tambang akibatnya yang dirasakan kan baru sekarang
ini," tutur Sigit.
Menurut Kepala Seksi Penyusunan dan Kerjasama
Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan
KLHK Martadinata, minimnya pengawasan dan pembinaan bagi para perusahaan
tambang oleh lembaga pemerintah terkait, disebut menjadi alasan
maraknya kemunculan tambang liar milik rakyat.
Pemerintah daerah selama ini dinilai belum maksimal dalam membina
dan mendorong para perusahaan tambang liar ini untuk segera melegalkan
aktivitas pertambangan mereka dalam bentuk pembuatan dokumen-dokumen
perizinan.
Marta menyatakan berdasarkan peraturan Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral, pemerintah daerah berkewajiban membantu
pembuatan dokumen dan izin perusahaan-perusahaan tambang di wilayahnya.
Selain itu, pemda juga berkewajiban untuk bersama-sama memantau
perbaikan dan pemulihan lingkungan lahan tambang bersama
perusahaan-perusahaan tersebut.
Itulah kenapa sampai sekarang
sedikit pertambangan milik rakyat yang memiliki izin, karena dari
Pemerintah daerahnya mereka jadi merasa punya kewajiban untuk
pengelolaan lingkungan,” ujarnya.
Hal tersebut, lanjut Marta,
yang sedang pihaknya coba untuk membentuk aturan yang menjembatani agar
tambang liar rakyat ini bisa memiliki izin.
Kendala Pemulihan Lahan
Fokus
Kementerian LHK terkait pencegahan dan pengendalian kerusakan
lingkungan terletak pada pemulihan kerusakan lahan dan lingkungan yang
disebabkan dari penambangan-penambangan liar tanpa izin.
Sigit
Reliantoro mengatakan, dalam hal ini sebagai langkah awal KLHK berusaha
memetakan wilayah tambang milik rakyat tanpa izin yang masih aktif dan
tidak aktif beroperasi. Bagi lahan tambang yang masih aktif, KLHK
melakukan verifikasi kerusakan lingkungan.
"Kami punya tool pada
'program peringkat kinerja perusahaan' (proper) sebagai kriteria potensi
kerusakan lahan yang memverifikasi kegiatan tambang perusahaan," ujar
Sigit.
Proper ini, menurut Sigit sebagai pedoman verifikasi menentukan
kriteria kerusakan lahan akibat aktivitas lahan tambang. Penilaiannya
didasari indikator kerusakan. Jika perusahaan mendapat indikator
kerusakan lahan diatas 40%, KLHK akan merekomendasikan untuk metutup dan
pertambangan perusahaan itu.
Jika penilaian perusahaan pada
kriteria kerusakan lahan mencapai 20% hingga 40%, KLHK akan
merekomendasikan bahwa perusahaan bisa tetap berjalan dengan syarat
memperbaiki dan meminimalisasi kerusakan lingkungan. Adapun jika
penilaian kerusakaan di bawah 20%, KLHK merekomendasikan perusahaan itu
untuk memperoleh izin.
Setelah berhasil melakukan verifikasi,
KLHK bersama Pemda setempat membentuk kelembagaan di daerah pertambangan
tersebut yang nantinya memiliki fungsi pengawasan dan pemantauan guna
melegalisasi kegiatan penambangan.
Bagi lahan tambang tanpa izin
yang sudah tidak aktif beroperasi lagi, KLHK melakukan penyusunan profil
dan tata kelola pemulihan sebelum melaksanakan proses pemulihan lahan
tambang (atau biasa disebut reklamasi) di lapangan.
Lebih jauh Sigit menyatakan pihaknya masih menemukan banyak kendala
dalam proses memulihkan kerusakan lahan tambang tanpa izin ini. Ia
menyatakan, pemerintah tidak bisa serta-merta melakukan proses pemulihan
pada lahan tambang tanpa izin.
Menurut dia untuk pemulihan lahan
tambang perusahaan yang bermasalah pihaknya tidak bisa bertindak banyak
karena termasuk menyimpang penggunaan uang negara. “Pemulihan kan
kewajiban perusahaan, karena itu pendekatan kami lebih kepada akses
penegakan hukumnya dengan bantu mereka membuatkan izin," kata Sigit.
Selain
itu, Sigit meneruskan, kendala juga terletak pada terbatasnya anggaran
untuk melakukan pemulihan lahan tambang rusak. Menurut Sigit, pemulihan
lahan tambang rusak membutuhkan dana sekitar Rp46 triliun.
Sigit
menyebutkan biaya pemulihan lahan gambut sedikitnya membutuhkan Rp2,5
triliun dan pemulihan lahan tambang sekitar Rp46 triliun. Sementara
anggaran pemulihan lahan tambang hanya sekitar Rp80 miliar.
(obs)