PortalHIjau - Burung merupakan makhluk penting yang mampu menandai adanya kerusakan lingkungan dan perubahan iklim. Peneliti dari Resear...
PortalHIjau - Burung merupakan makhluk penting yang mampu menandai adanya kerusakan lingkungan dan perubahan iklim. Peneliti dari Research Center for Climate ChangeUniversitas
Indonesia, Nurul Winarni, coba menjabarkan vitalnya peran burung
sebagai indikator perubahan iklim tersebut. Menurut Nurul, burung sangat
sensitif jika terjadi perubahan di lingkungannya.
“Ini disebabkan
burung punya keterkaitan tertentu pada habitat yang cukup spesifik atau
pada sumber makanan tertentu. Banyak jenis pohon buah atau serangga
yang jadi sumber pakannya juga dipengaruhi iklim,” ujarnya melalui surat
elektronik, Minggu, 15 Mei 2016.
Terjadinya perubahan pasokan
makanan, hal ini juga akan mempengaruhi burung. Nurul mencontohkan
bagaimana bergesernya tempat-tempat sumber pakan yang tersedia. Pada
daerah beriklim subtropis, kata pengajar biologi konservasi ini,
biasanya akan sangat mudah diamati terjadinya perubahan ini karena
perbedaan suhu antarmusim yang cukup jelas. “Ini bisa diamati dari
respon distribusi burung yang menghindar dari daerah-daerah yang suhunya
makin panas. Sturktur komunitas, biasanya juga turut berubah
karenanya.”
Para peneliti, kata Nurul, biasanya mengamati dalam jangka waktu panjang (long-term monitoring). Ini untuk memastikan bahwa respon memang disebabkan karena iklim yang berubah, bukan karena faktor lain.
Pengamatan
yang cukup mudah dilakukan adalah dengan mengamati lokasi-lokasi
perlintasan burung migrasi dan mencatat waktu kedatangan serta
jumlahnya. Dengan mencatat berkala lokasi tersebut, akan terlihat apakah
waktu kedatangannya dari tahun ke tahun mengalami pergeseran atau
tidak. Analisa ini juga, bisa ditambah dengan data stasiun meteorology
terdekat untuk melihat apakah perubahan suhu atau curah hujan
berpengaruh.
Beberapa lembaga bergandeng tangan melakukan kerja sama untuk memantau perpindahan burung tersebut. Sebut saja East Asian Australasian Flyway Partnership (EAAFP) dan Wetlands International. Salah satunya, dengan memonitor burung-burung migran yang ditandai.
Dari
penelitian dan monitoring itu, menurut Nurul, akan diperoleh sejumlah
temuan, mulai perpindahan atau hilangnya spesies tertentu. Respon juga
dapat berupa pergeseran waktu migrasi (menunda atau mempercepat) hingga
tidak melakukan migrasi sama sekali. Atau juga berpengaruh pada musim
berbiak yang bergeser hingga telur menetas lebih cepat. “Saat telur
menetas lebih cepat, kadang makanan belum tersedia sehingga menimbulkan
kekurangan pakan atau lebih banyak persaingan untuk mendapatkan pakan.”
Pada burung migran serta burung-burung pantai lainnya, perubahan habitat
juga sangat berdampak pada kehidupan mereka. Misalnya, lokasi-lokasi
yang dahulu menjadi daerah persinggahan atau tempat mencari makan,
sekarang berubah menjadi permukiman.
Menurutnya, harus ada upaya bersama
dalam melindungi satwa terhadap perubahan iklim. “Sebagai salah satu
negara penyumbang emisi karbon, perlindungan hutan dari deforestasi
sangat penting. Karena hutan selain sebagai habitat dan sumber pakan
satwa, juga merupakan penyerap karbon.”
Migrasi
Migrasi merupakan perjalanan ribuan kilometer setiap tahun yang
dilakukan kelompok burung migran yang terdiri dari burung laut, burung
pantai, dan burung hutan guna mencari habitat yang sesuai untuk
kehidupan mereka. Saat musim dingin melanda belahan bumi di Utara,
burung-burung migran ini tebang ke Selatan, dan ketika di Utara udara
kembali menghangat, burung-burung ini kembali untuk berbiak.
Pengembaraan
jauh penuh marabahaya ini harus dilakukan dua kali dalam setahun.
Petualangan tersebut, menurut Yus Rusila Noor dari Wetlands
International-Indonesia Programme, merupakan pertaruhan hidup melelahkan
demi menyambung kehidupan dan keturunan mereka. “Banyak yang tak bisa
menyelesaikan perjalanannya karena lokasi tujuan untuk mencari makan
telah hilang atau berubah fungsi,” ujarnya.
Indonesia sebagai salah satu negara yang dilewati burung air
bermigrasi di jalur terbang Asia Timur – Australasia, memiliki peran
penting dalam pelestarian burung ini. “Beberapa lokasi di Pantai Timur
Sumatera, Pantai Utara Jawa dan Nusa Tenggara, Sulawesi dan Papua
diketahui merupakan tempat persinggahan penting burung pengembara
tersebut. Indonesia memiliki tanggung jawab untuk melindungi
burung-burung tersebut karena Nusantara ini wilayah yang disinggahi
setiap tahun,” terang Yus.
Fransisca Noni dari Burung Nusantara yang mewakili panitia peringatan Hari Burung Migran Dunia (World Migratory Bird Day – WMBD) menuturkan, Indonesia pada 2016 melakukan 29 kegiatan dari Sumatera hingga Papua dengan melibatkan 700 peserta.
Jenis
burung yang teramati selama migrasi tersebut adalah biru-laut
ekor-blorok, gajahan besar, gajahan timur, trinil bedaran, trinil-lumpur
asia, cerek jawa, cerek melayu, cerek- kalung kecil, cerek-pasir besar,
cerek tilil, sikatan emas, bentet loreng, tuwur asia, sikatan bubik,
kirik-kirik laut, sikep-madu asia, gajahan pengala, trinil pantai,
trinil-kaki hijau, kedidi-leher merah, dara-laut sayap-putih, dara-laut
biasa, dara-laut tiram, dan dara-laut kumis.
Ancaman yang
dihadapi burung petualang tersebut tidak hanya datang dari kondisi alam
yang kadang tidak bersahabat, tetapi juga dari manusia yang kerap
memburu, menangkap, dan memperjualbelikannya. “Sampah dan alih fungsi
lahan makin menggenapi ancaman tersebut,” ujar Noni. (Asti Dian dan Rahmadi Rahmad - Mongabay Indonesia)