Kunjungan aktor Hollywood Leonardo DiCaprio ke hutan Aceh cukup mengejutkan masyarakat Indonesia. Namun masih kalah prestisius dibandingk...
Kunjungan aktor Hollywood Leonardo DiCaprio ke hutan Aceh
cukup mengejutkan masyarakat Indonesia. Namun masih kalah prestisius
dibandingkan dengan kehadiran perempuan Aceh ini ke Inggris sebulan
kemudian.
PortalHijau - Berbicara di panggung bergengsi di Gedung Royal Geographical Society,
London, Farwiza Farhan (30) menghangatkan tubuhnya dengan kerawang
gayo. Kain yang berasal dari daerah yang juga mengantarkannya ke Inggris
untuk menerima penghargaan internasional pertamanya.
“Kerawang gayo adalah seni perdamaian, motifnya sangat kental dengan
budaya Dataran Tinggi Gayo. Ekosistem Leuser merupakan harga diri
masyarakat Gayo dan Aceh, bagian dari identitas bangsa Aceh dan saya
bangga berdiri di panggung ini mengenakan pakaian perdamaian yang luar
biasa cantik ini,” rilisnya.
Perempuan kelahiran Banda Aceh itu baru saja dinobatkan sebagai
pemenang Whitley Award alias Green Oscar. Dia dipilih bersama 6 aktivis
dunia lainnya dari total 130 pengaju Whitley Awadr tahun 2016. Atas
konsistensinya mengupayakan konservasi lingkungan di Sumatera dan
praktik citizen lawsuit dalam upaya advokasi menyelamatkan hutan Leuser
beberapa waktu lalu.
“Hal ini mengingatkan saya pada budaya warisan nenek moyang kita,
yang mengajarkan kita pentingnya menjaga hutan kita untuk masa depan
kita. Saya cinta Leuser, dan saya cinta Aceh. Saya bangga dan merasa
terhormat telah diberikan kesempatan berbagi hal itu dengan hadirin yang
terhormat di sini,” ia terharu.
Wiza sebagai perempuan Aceh tak menduga akan menerima Green Oscar
2016. Ia menyadari jarang sekali perempuan, terutama di Aceh, yang mampu
bertahan dalam aksi lingkungannya. Karena umumnya, pegiat lingkungan
atau penjaga hutan identik dengan sifat “macho”.
“Terkadang memang agak ‘jarang’ kita melihat perempuan berkarya
sebagai pegiat lingkungan, karena bidang itu terkait erat dengan
persepsi. Tapi kenyataannya ada banyak perempuan-perempuan hebat yang
memilih hidup dekat dengan alam,” ujarnya dari Inggris kepada Pikiran
Merdeka, Sabtu (30/04/16), melalui WhatsApp.
Wiza adalah kandidat PhD untuk Cultural Anthropology &
Development Studies di Radboud University Nijmegen, Belanda.
Sebelumnya, ia menyelesaikan S2 Manajemen Lingkungan di University of
Queensland, Australia dan S1 Biologi Kelautan di Universitas Sains,
Malaysia.
“Kenyataannya Nobel Perdamaian pertama untuk pejuang lingkungan
diberikan kepada Wangari Maathai pada 2004, seorang perempuan asal
Kenya,” sambungnya.
Ia berpandangan perempuan bisa menjadi apapun yang mereka inginkan
dan pendidikan adalah unsur penting yang memungkinkan seseorang bisa
menggapai keinginan-keinginan tersebut.
Pun sebenarnya, dia menegaskan, setiap orang baik lelaki maupun
perempuan, harus punya ruang untuk berkarya. Entah itu ruang untuk
menjadi seniman, tenaga medis, atau aktivis lingkungan. Dan Wiza memilih
mengabdi di ranah lingkungan.
Pelajaran dari Lingkungan
Wiza merasa sudah dekat dengan alam sejak kecil. Namun keinginan
untuk berbuat (bergerak_red) itu hadir ketika menyaksikan sendiri
kehancuran lingkungan yang menimbulkan banyak bencana kemanusiaan dan
kepunahan satwa.
Hutan Aceh diamatinya rusak akibat pemanfaatan untuk lahan komersial.
Dari Australia, usai magang di satu perusahaan tambang, ia pulang ke
Aceh.
Bersama koleganya, ia dirikan Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh
(HAkA) pada 2012, tak lama usai Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser
(BPKEL) dibubarkan oleh Pemerintah Aceh.
Semenjak itu, HAkA aktif dalam advokasi konservasi hutan Aceh,
terutama keberadaan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) di Aceh. Pemerintah
pada 2008 menetapkan KEL sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN).
Namun, Pemerintah Aceh, lagi-lagi mengecewakan rakyat Aceh. Pada
2013, KEL dihilangkan dari daftar KSN dalam Qanun Aceh Nomor 19 Tahun
2013 tentang RTRW Aceh 2013 – 2033.
“Sungguh mengejutkan kami,” ujar Wiza, beberapa waktu lalu.
Padahal menurutnya, ia dan aktivis lingkungan lain terlibat aktif
bahkan mendorong KEL masuk dalam Qanun RTRW Aceh itu saat proses
penyusunan draf qanun tersebut.
Tahun-tahun setelah disahkannya qanun tersebut, angka kerusakan hutan
Aceh kian membengkak. Puncaknya pada akhir 2015, deforestasi semakin
menjadi-jadi di KEL, mulai dari perusakan hutan gambut Rawa Tripa di
Nagan Raya, hingga penanaman sawit di Aceh Tamiang.
Wiza tak mau hutan Aceh terus digerogoti. Ia berinisiatif menempuh
citizen lawsuit atau gugatan warga negara untuk menggugat Mendagri dan
Pemerintah Aceh—Gubernur dan DPRA.
Bersama delapan perawakilan elemen masyarakat Aceh lainnya, ia
memulai gugatan itu ke Pengadilan Negeri Jakarta, pada 21 Januari 2016.
Dengan bantuan kuasa hukum, mereka mendesak dibatalkan Qanun Aceh Nomor
19 Tahun 2013 tentang RTRW Aceh 2013 – 2033.
Usai beberapa kali mediasi dan sidang di PN Jakarta, bahkan sampai
Wiza menerima penghargaan Green Oscar di London pada akhir April lalu,
qanun tersebut masih dibiarkan. Artinya, KEL seluas 792.675 ha itu
terancam dijadikan lumbung uang bagi perusahaan sawit dan pertambangan
serta punahnya satwa terlindungi.
Miris sekali, sebut Wiza. Aktor Leonardo DiCaprio saja jauh-jauh
datang ke Leuser pada akhir Maret lalu untuk membantu konservasi KEL,
Pemerintah Aceh sendiri malah mengabaikan kelestarian hutan yang sudah
diwariskan oleh nenek moyang Aceh sendiri.
Penghargaan untuk Hutan Aceh
Farwiza Farhan adalah salah satu dari 7 pemenang Whitley Award 2016.
Penghargaan ini merupakan program tahunan Whitley Fund for Nature (WFN)
yang digelar sejak 1994. Tahun ini, setiap pemenang dihadiahi biaya
35.000 poundsterling atau Rp520 juta untuk mendanai konservasi
lingkungan.
Panitia Whitley Award dalam rilisnya menyebutkan, Wiza saat berpidato
di London pada 27 April, mempersembahkan penghargaan itu bukan untuk
dirinya semata, melainkan untuk memperkuat kerja aktivis lingkungan
dalam melindungi KEL dan advokasi konservasi hutan Sumatera melalui
citizen lawsuit.
“Saya menyadari bahwa paparan dan pendanaan dari lembaga amal
Whitley—WFN—dapat membantu menyuarakan keinginan kita dan memperkuat
kerja-kerja kita untuk melindungi Kawasan Ekosistem Leuser,” ucap Wiza.
Melalui Pikiran Merdeka, Wiza juga mengingatkan, ada dua pelajaran
penting yang diperolehnya selama berkontribusi untuk lingkungan.
Pertama, bebernya, semua orang punya peran untuk melestarikan dan
melindungi lingkungan, mulai dari hah-hal sekecil tak membuang sampah
sembarangan sampai hal-hal sebesar mendorong perbaikan kebijakan melalui
gugatan.
Kedua, ia menegaskan, pentingnya kolaborasi dan kerjasama. Tak ada
seorang pun atau satu organisasi pun yang bisa membawa perubahan tanpa
kerjasama dan dukungan dari banyak pihak.
“Kolaborasi ini bisa terjadi dalam berbagai bentuk. Namun hal yang
paling penting adalah adanya goal (target) bersama, keinginan bersama,
yang kemudian menciptakan dorongan-dorongan yang membawa perubahan.”
Siapapun menurutnya bisa merawat lingkungan sekitar, karena pada
kenyataannya manusia hidup dekat dengan alam. Kegiatan-kegiatan kecil
seperti pergi ke pantai atau ke taman adalah bentuk kedekatan manusia
dengan alam. “Namun,” tegasnya, “seringkali kita lupa betapa pentinganya
menjaga keindahan ini.”[] Pikiran Merdeka - Makmur Dimila